Eyang Sosrokartono: Wartawan Perang Dunia Pertama


Tanggal 9 Februari, wartawan Indonesia merayakan acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Benteng Malbourgh, Bengkulu, bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sehari sebelumnya, 8 Februari, adalah genap 62 tahun wafatnya seorang wartawan Perang Dunia Pertama, putra Indonesia, tokoh intelektual dan spiritual, Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono.

Sosrokartono adalah wartawan Perang Dunia Pertama (1914-1918) dari surat kabar The New York Herald Tribune, Amerika Serikat (AS), yang bertugas di Eropa. Terlahir dengan nama Kartono di Mayong, Jepara, Jawa Tengah, tanggal 10 April, 1877, ia adalah kakak kandung RA Kartini, tokoh pergerakan perempuan Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Hari kelahiran kartini, 21 April, selalu kita peringati. Ayahnya adalah RM Samingun Sosroningrat, terakhir menjabat Bupati Jepara. Ibunya MA Ngasirah, putri Kiai Mudirono.

Sosrokartono adalah lulusan Fakultas Sastra dan Bahasa-bahasa Timur di Universitas Leiden, Belanda, 1908, dengan gelar Drs (Doctorandus ) in Osterische Talen. Ia menguasai secara aktif 26 bahasa, terdiri atas 17 bahasa Eropa dan sembilan bahasa Timur. Karena kemampuannya menguasai banyak bahasa, banyak orang menyebutnya genius.

Selesai studi, Sosrokartono bekerja sebagai wartawan. Pada 1917, ia terpilih sebagai wartawan perang setelah melewati ujian berat dan mengalahkan para pesaing dari berbagai negara. Demi kelancaran tugas jurnalistiknya, Sosrokartono diberi pangkat mayor.

Sebagai wartawan perang ia sangat terkenal, terhormat, dan terpercaya berkat kecakapan, kecekatan, keberanian, dan ketenangangan dalam menghadapi bahaya maut serta “kewaskitaan” atau kemampuannya mengetahui sesuatu sebelum terjadi (clear-voyance).

Ketika Perang Dunia Pertama hampir berakhir, diadakan perundingan perdamaian. Tidak setiap orang, termasuk wartawan, boleh mendekati tempat perundingan itu dalam jarak 1 kilometer (km). Semua hasil perundingan amat dirahasiakan karena “embargo”, tidak boleh disiarkan tanpa persetujuan resmi. Tapi, The New York Herald Tribune berhasil menyiarkan hasil perundingan itu, lengkap dengan kode “bintang tiga”. Kode itu milik koresponden Sosrokartono.

Kisah itu dapat dibaca dalam buku Menapak Perjalanan Hidup Sosrokartono karya Romo Prof John Tondowidjojo yang diterbitkan Yayasan Sanggar Bina Tama, Surabaya, 2012.

Tokoh Spiritual
Di samping sebagai wartawan perang, Sosrokartonpo selama 28 tahun tinggal di Eropa (1897 -1925), mencatat berbagai prestasi luar biasa. Itu di antaranya sebagai anggota Instituut voor Land en Volkenkunde, lembaga studi kebudayaan suku bangsa Nusantara, juru bahasa Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu PBB, dan atase kebudayaan Kedubes Prancis di Belanda.

Ia juga salah satu pendiri “Indische Vereniging” (Persatuan Hindia Belanda), organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia di Belanda, 179 hari sebelum Boedi Oetomo berdiri 20 Mei 1908.  Tangga itu kini kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sebagai mahasiswa, Kartono tercatat sebagai pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda pada 1899 di Gent, Belgia. Ia berpidato dengan judul “Het Nederlandsch in Indie” atau Bahasa Belanda di Hindia Belanda. Intinya, ia menuntut pemerintah Belanda memberi pelajaran bahasa Belanda kepada rakyat Indonesia sebagai kunci pembuka gudang ilmu pengetahuan.

Kembali ke Tanah Air, Sosrokartono terlibat aktif dalam berbagai gerakan untuk kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi guru dan tokoh spiritual dan dianggap “guru” oleh banyak tokoh Indonesia. Bung Karno menyebutnya “sahabat karib”. Karena kelebihan ilmu spiritualnya, Sosrokartono dipanggil eyang. Ia juga dikenal sebagai dokter “air putih” karena bisa mengobati penderita sakit hanya dengan minum air putih yang telah dibacai doa olehnya.

Ajaran spiritualnya yang banyak dikutip para tokoh republik ini, termasuk Pak Harto, adalah “Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” atau “Kaya tanpa harta, sakti tanpa ajian, menyerang tanpa pasukan, dan menang tanpa menghinakan”.

Ada lagi kata-kata mutiaranya untuk mencapai kedamaian hidup sebagai berikut, “Trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langggeng tan ana susah tan ana sudah, anteng mantheng jeneng”. Artinya, menerima penuh apa pun dengan penyerahan diri, tiada pamrih jauh dari rasa takut, abadi tiada duka dan suka, tenang, memusat, selamat, bahagia.  Ajaran itu ia peroleh karena rajin melakukan kontemplasi, semadi, berpuasa, dan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang sunyi. Sampai wafat, Sosrokartono hidup membujang.

Kembali ke HPN, jika kepada Presiden SBY Dewan Pers dan PWI memberi piagam Sahabat Pers, selayaknya Sosrokartono diberi gelar Perintis Pers.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *