DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan (5, 6 , 7 )


DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan (5)

Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara.

Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

“Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara.

Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri.

“Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.

Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin.

Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup.

“Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.

“Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur.

 

Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat (6)

Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. 

“Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.

Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo.

Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas.

Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga menanggung biaya kematian.

“Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya.



Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.

“Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

 

Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit (7)

Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan.

Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.
Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota.

Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

“Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya.

Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati.

Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS.

Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

“Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya. (ben)

TAMAT

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *