Dialog Tragedi Kemanusiaan Mei 1998: dari Keterasingan Menjadi Karib Bagian ke-3


Memang sejak Tragedy Mei 1998 kedudukan Tionghoa di Indonesia telah mengalami kemajuan, seperti media, pendidikan, dan budaya Tionghoa diperbolehkan untuk ditampilkan di publik. Selain itu, status Tionghoa secara hukum telah disetarakan dengan “bangsa Indonesia asli”.

Walaupun demikian, bukan berarti pengusutan dan penyelesaian Tragedi Kemanusiaan Mey 1998 telah selesai dilakukan oleh pemerintah. Tetapi, sebagai suatu negara hukum, sudah selayaknyalah pemerintah menindaklanjuti setiap pembuat kejahatan, apalagi kejahatan yang diperbuat menyebabkan ribuan nyawa manusia Indonesia melayang dengan cuma-cuma.

Bagaimana supaya hal ini tidak terjadi lagi?

Untuk menghindari supaya Tragedi May 1998 tidak terulang lembali, para peserta dialog, pertama, kembali mengacu pada perbedaan sosial ekonomi. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa jika jurang perbedaan ini diperkecil maka tragedi seperti ini mungkin bisa dihindari.

Kedua, ada juga dari mereka yang melihat perlunya menerapkan dan mengembangkan pendidikan yang intinya supaya dengan pengetahuan yang diperoleh peserta pendidikan tersebut bisa mengambil keputusan yang bijaksana dan tidak berbuat kekerasan.

Sebelum melangkah lebih jauh untuk melihat siapa sajakah yang bisa membatu agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi, saya sangat tergelitik untuk membahas pemecahan masalah pertama yang diajukan di atas, yaitu memperkecil jurang pemisah sosial ekonomi antara Tionghoa dan non-Tionghoa. Saya sepenuhnya setuju dengan cara pemecahan masalah kedua di atas.

Hal pertama yang perlu ditanyakan, benarkah jurang pemisah itu menjadi sebab utama? Menurut saya bukan, tetapi ada interferance variabel lain yang menjadi pemicu utama

Untuk lebih jelasnya mari kita analisa tragedi ini dengan menggunakan kerangka variabel mempengaruhi (independent varible), yaitu jurang pemisahan sosial ekonomi yang diwakili oleh massa non-Tionghoa dan variable dipengaruhi (dependent variable), yaitu Tragedi Mei 1998 dengan target etnis Tionghoa.

Supaya mempermudah marilah kita ambil dua contoh yang lebih sempit, yaitu jurang pemisah sosial ekonomi antara khalayak massa non-Tionghoa dengan Salim Group etnis Tionghoa, dan jurang pemisah sosial ekonomi antara khalayak umum non-Tionghoa dengan Bakrie Group non-etnis Tionghoa.

Jika terjadi suatu gerakan massa dari non-Tionghoa, apakah Bakrie Group akan menjadi sasaran seperti apa yang terjadi pada Salim Group pada hal mereka sama-sama memiliki status sosial ekonomi yang tinggi? Tidak, kita tahu bahwa rumah keluarga Bakrie sama sekali tidak menjadi sasaran, tetapi rumah keluarga Salim dibakar sama rata dengan tanah dan foto keluarganya dengan isterinya dibakar massa.

Maka kita lihat bahwa ujian variabel mempengaruhi dan dipengaruhi atas kasus Salim Group mempunyai korelasi positif, artinya jurang perbedaan sosial ekonomi memegang peranan. Tetapi tidak dengan kasus Bakrie Group, jurang pemisah sosial ekonomi tidak mempunyai korelasi. Mengapa hal ini terjadi?

Jika diteliti lebih lanjut, saat ini Bakrie Group mempunnyai imaje yang buruk di mata masyarakat, yaitu dicap sebagai penyebab kasus Lumpur Lapindo dan melakukan penggelapan pajak.

Kasus Lumpur Lapindo menyababkan kerugian semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo yang disebut sebagai kejahatan korporasi dari PT Lapindo Brantas, ribuan warga kehilangan rumahnya, dan kerugian diperkirakan mencapai Rp 50 triliun belum termasuk kerugian lingkungan hidup lainnya (Suara Merdeka, 19 Agustus 2006). PT Lapindo Brantas adalah perusahaan ekplorasi minyak dan gas alam yang mayoritas sahammnya dimiliki oleh Bakrie Group.

Profesor Richard Davies dari Universitas Durham di Inggris menjelaskan bahwa lumpur panas menghembur keluar disebabkan kesalahan teknis seperti dikutip cara penggalian (AFP, Jumat, 12 Februari 2010).

Dari segi pajak, perusahaan-perusahaan batu bara di bawah Bakrie ditengarai menggelapkan pajak hingga Rp 2,1 triliun pada akhir tahun 2009. Kalau terbukti, ini rekor baru penggelapan pajak yang pernah terjadi di Indonesia. (Kompas, Rabu, 16 Desember 2009).

Walaupun imejnya yang demikian buruk, tetap saja group ini tidak diserang oleh massa dan mengalami perlakuan kekerasan. Karena itu adalah membantu jika kita menganalisa variabel interference. Salah satu variabel interference  yang bisa dilihat berpengaruh terhadap kekerasan yang terjadi adalah sentimen anti Tionghoa.

Jika kita lihat pada saat terjadinya Tragedi Mei 1998 , di beberapa lokasi terdapat tulisan seperti, “daerah pribumi”, “milik pribumi”. Orang yang menulis itu sadar betul bahwa milik atau daerah pribumi tidak akan diganggu. Atau dengan kata lain, penulis ini hendak mengatakan, “Ini bukan daerah Tionghoa atau bukan milik Tionghoa jadi jangan ganggu kami. Dengan demikian bisa dikatakan jika Group Bakrie adalah milik etnis Tionghoa, maka mereka tidak akan seberuntung sekarang.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa variabel interference yang berupa sentimen anti Tionghoa ini begitu powerful untuk dijadikan bahan pemicu utama sehingga Tragedi Mei 1998 terjadi?

Jawaban ini sebenarnya kembali ke sejarah zaman penjajahan Belanda dan Orde Baru yang memang sengaja menciptakan imej bahwa etnis Tionghoa-lah yang menjadi penyebab penderitaan rakyat banyak dan merusak negara. Secara khusus dikondisikan imeje bahwa etnis Tionghoalah yang melakukan pemerasan ekonomi. Dengan semikian, selain menggunakan etnis Tionghoa sebagai mesin ekonomi untuk kekuasaan politik mereka, etnis Tionghoa juga sebagai perisai mereka. Yang tidak kalah pentingnnya adalah penerapan politik adu domba (devide et empera atau devide and conquer) oleh kedua rezim ini, sehingga rakyat Indonsia tidak bersatu dan tidak mendongkel kekuasaan absolut mereka.(bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *