Cara yang dilakukan antara lain dengan melarang atau mengontrol etnis Tionghoa melalui media, pendidikan, dan organisasi yang diperkuat dengan landasan hukum formal. Sehingga karakter dan budaya Tionghoa tidak terlihat di publik. Kata Tionghoa atau Tiongkok juga diganti oleh pemerintahan Orde Baru menjadi Cina yang mengandung perendahan derajat.
Pada masa Gerakan 30 September 1965-1967, etnis Tionghoa diidentikan dengan komunis dan tidak beragama, sehinga banyak dari mereka yang dipenjara dan dibunuh tanpa diadili. Padahal pada saat itu mayoritas Tionghoa adalah warga negara Indonesia yang membela Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya sebagian kecil yang berorientasi pada Tiongkok atau Taiwan. Selanjutnya, etnis Tionghoa dibikin trauma dan sengaja tidak diberi kesempatan untuk terjun dalam bidang politik dan pemerintahan.
Selain itu, pemerintah juga menerapkan kebijakan asimilasi yang berdasarkan Piagam Asimilasi yang ditanda-tangani di Bandungan (Ambarawa) pada bulan Januari 1961. Kebijakan ini pada dasarnya tidak mengakui ke-Tionghoa-an seseorang dan dipaksa untuk lebur menjadi seperti etnis pribumi lainya. Cara yang ditempuh antara lain dengan penggantian nama Tionghoa, kawin campur, dan berusaha menjadikan mereka pemeluk agama Islam.
Imej seperti ini juga diterima mentah-mentah oleh banyak — tidak semua — kalangan mesjid yang juga ikut mempengaruhi dan memperburuk citra etnis Tionghoa di hadapan para pengikutnya melalui ceramah-ceramah yang disampaikan oleh pemimpin-pemimpinnya. Para pengikutnya jarang diinformasikan fakta lain tentang etnis Tionghao seperti keberadaan Islam sekarang juga tidak terlepas dari jasa etnis Tionghoa, di antranya kontribusi para Wali Songo yang sebagiannya adalah beretnis Tionghoa (Sumanto Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa).
Dengan demikian, tampillah etnis Tionghoa sebagai sosok yang asing, di mata kebanyakan rakyat Indonesia walaupun existensinya sudah ribuan tahun di bumi Nusantara. Bukan hanya itu, banyak juga yang melihat mereka sebagai mahluk yang rakus, oportunis dan merugikan kehidupan berbangsa. Dianggap
Cara yang tepat adalah memberikan penjelasan dan mensosialisasikan kepada publik bahwa citra buruk yang selama ini dibangun oleh baik penjajah Belanda maupun pemerintahan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa adalah tidak benar. Baik perusahaan besar, organisasi maupun perorangan perlu menunjukkan melalui media audio-visual, cetak dan dengan pendekatan pribadi, melalui perkataan dan perbuatan bahwa etnis Tionghoa tidak seperti yang Belanda atau Orde Baru citrakan.
Untuk itu, setiap entis Tionghoa perlu ikut aktif secara positif dalam segala bidang kehidupan masyarakat mulai dari lapisan terbawah seperti ikut ronda, gotong royong, menjadi ketua RT/RW dan Lurah, ikut arisan, ikut buka puasa bersama, menjadi aktivis, terjun dalam bidang politik praktis dan lain-lain tanpa perlu menanggalkan identitas ke-Tionghoa-annya.
Selain cara di atas, dalam hal tingkah laku, setiap orang dapat mengikis keterasingan etnis Tionghoa dan menjadikan citra mereka lebih karib melalui (Steps to Friendship di-retrieve 24 Mei 2010 dari www.best-advice-from-mom.com):
1.        Berbicara. Mulailah dengan menyapa siapa saja yang kita ketemu dan ajaklah memberbicarakan hal-hal yang positif dan mencari kesamaan dalam setiap topik.
2.        Mendengar. Bukan hanya sekedar berbicara, tetapi dengarkanlah teman bicara kita. Jangan hanya menjadi pihak yang memberikan informasi, tetapi juga jadilah pihak yang menerima informasi dan berusaha memahami yang dibicarakan olehnya.
3.        Beri perhatian. Memberi perhatian adalah selangkah lebih jauh dari sekedar mendengarkan. Sambil mendengar, curahkan perhatian sepenuhnya pada teman bicara kita. Hindarkan hal-hal yang mengganggu seperti melakukan sms dan mencek facebook melalui hand phone kita. Jika terpaksa dan harus melakukan hal seperti ini, minta permisi dahulu dengan teman bicara.
4.        Saling menerima. Menerima seseorang apa adanya, tanpa berusaha untuk merubahnya. Jika seseorang merubah dirinya, perubahan ini akan terjadi dengan sendirinya karena melalui tahapan belajar dari masing-masing pihak.
5.        Berempati. Menunjukkan perasaan bahwa kita juga merasakah kebahagiaan atau kesedihan apa yang teman kita rasakan.
6.        Afirmasi. Jangan ragu untuk memuji atas kebaikan dan pencapaian seseorang dan berterima kasih dengan tulus.
7.        Sentuhan. Jika memungkinkan, ungkapkan persahabatan dengan sentuhan fisik, seperti salaman, tepukan pada pundak, ciuman pada pipi, dan berpelukan.
Di samping memperbaiki citra yang sengaja dijelek-jelakan, tentu saja saya juga mendukung perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat, supaya jurang pemisah bisa diperkecil. Cara yang bisa ditempuh antara lain adalah pengusaha besar etnis Tionghoa bisa berpartner dengan pengusaha kecil non-Tionghoa sesuai dengan kebutuhan. Tidak hanya berpartner dalam mendukung dari segi keuangan, tetapi juga bisa mendukung, seperti dengan mengajarkan cara atau manajemen berbisnis yang jitu.
Selain itu, pengusaha besar Tionghoa juga bisa mendukung pemberlakuan program mikro ekonomi seperti yang diterapkan di Banglades oleh Muhamad Yunus melalui Grameen Bank-nya seperti yang ia utarakan di buku Banker To The Poor: The Story Of The Grameen Bank.
Dengan pendekatan di atas, dan perbaikan citra etnis Tionghoa dengan tindakan nyata, pendidikan dan membantu memperkecil jurang pemisah sosial ekonomi diharapkan sentimen anti-Tionghoa bisa dikikis sehingga Tragedi Mei 1998 tidak terulang lagi.
(bersambung)