Tjong A Fie Mansion


APA yang menarik di Medan?  Hampir semua teman yang merespon pertanyaan saya di jejaring sosial twitter menjawab: kuliner. Seafood, bika ambon, bolu gulung, sirop markisa, adalah jenis makanan dan minuman yang banyak dirujuk. Rekomendasi kenikmatan kuliner Medan nyaris menyeragamkan selera kita dan hampir membuat saya abai pada daya tarik lain.

Untung ada Zenny, kerabat saya di Medan. “Kita ke Tong A Fie Mansion!” ajaknya. Zenny adalah Marketing Communications di sebuah radio swasta di Medan sekaligus dipercaya menjadi PR Tjong A Fie Memorial Institute. Seketika, mata saya berbinar.

Ditemani Zenny, saya akhirnya meluncur ke kawasan Kesawan. Tepatnya di jalan Achmad Yani, tak jauh dari perempatan Jalan Palang Merah. Sebetulnya, bangunan rumah yang kini menjadi museum ini bisa juga diakses dari Jalan Perniagaan, karena Tjong A Fie menempati areal dua kapling yang menyatu — yang di timur dan baratnya diapit dua jalan itu.

Dan pagi itu, di sinilah kami. Disambut patung singa di pintu gerbang yang konon berfungsi untuk menolak roh jahat. Menapaki serambi, saya sudah merasakan pusaran itu:  tersedot kembali ke masa permulaan abad 19. Ornamen, relief dan patung yang menghiasi dinding seperti ingin bercerita banyak. Sekilas saja, sudah terasa betapa megahnya rumah bernuansa hijau dan putih gading ini di jamannya. Menurut Aditya  yang memandu saya, Tong A Fie Mansion berdiri di areal seluas 6000m2, dan memiliki luas bangunan tidak kurang dari 4000m2.

 

Pluralis yang Dermawan

Siapa Tjong A Fie? Mungkin nama ini asing bagi Anda. Tapi tidak bagi warga Medan. Tjong A Fie sangat kesohor di Medan. Bukan semata karena dia seorang pengusaha sukses di jamannya, tapi juga karena sejak awal Tjong A Fie terkenal sebagai seseorang yang gigih menunjukkan sikap pluralis — ia dikenal sebagai tokoh Cina Peranakan. Namanya juga harum sebagai penderma.

Tjong A Fie yang memiliki nama kecil Tjong Fung Nam lahir pada tahun 1860 di desa Sungkow di kawasan Moyan atau Meixien, Cina Selatan. Ayahnya, seorang pemilik toko kelontong, relatif hidup sangat sederhana. Tjong A Fie merantau ke Hindia Belanda pada usia 18 tahun, menyusul kakaknya yang sudah lebih dulu menetap di Sumatera. Tekadnya, tentu, mengubah nasib.

Tak dinyana, pemuda yang berasal dari suku Khe atau Hakka ini memiliki kecerdasan dan naluri bisnis yang sangat baik. Dalam waktu singkat, ia bisa membangun kepercayaan pada berbagai pihak. Dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsjah, ia menjadi orang kepercayaan dalam menangani bisnis. Tjong A Fie kemudian menjadi orang Tionghoa pertama yang memiliki kebun tembakau dan teh di Sumatera Utara.

Yang  lebih mengesankan, Tjong A Fie banyak menghabiskan usianya dengan merawat serangkai aktivitas sosial. Ia dikenal sangat murah hati. Sepanjang hidupnya di Medan ia tak henti menyumbang bagi pembangunan pelbagai sarana sosial dan peribadatan. Tidak peduli untuk suku apa, warna kulit seperti apa, dan dari agama mana. Ia membangun masjid, gereja, klenteng, dan kuil — sepertiga dari biaya pembangunan Masjid Raya Medan, konon berasal dari pundi-pundinya. Ia mendirikan rumah sakit bagi penderita lepra, menyediakan areal untuk kompleks pemakaman, membangun sejumlah sekolah dan sekaligus menjadi donatur di sana.

 

Tiga Budaya

Sikap dan pandangan hidup Tjong A Fie, sedikit banyak tercermin dari bangunan rumahnya. Selain pluralis, ia tampaknya begitu harmoni memadukan budaya dan kepercayaan dalam sebuah bentuk arsitektur. Bangunan dua lantai yang terdiri atas bangunan utama dan paviliun ini, kaya akan relief, ornamen, patung dan lukisan yang banyak tergantung di dinding, sangat lekat mencirikan perpaduan arsitektur Melayu-Cina-Kolonial.

Arsitektur Melayu misalnya, bisa ditandai dari keberadaan serambi depan dan bentuk jendela. Di Indonesia, keberadaan serambi di rumah-rumah merupakan respon dan adaptasi terhadap iklim tropis. Areal ini lazim digunakan untuk menerima tamu.  Ciri Melayu lainnya bisa dijumpai pada kisi-kisi berbentuk lengkung seperti yang jamak Anda temukan di atas jendela rumah Melayu.

Tapi, cobalah mendongak ke plafon.  Anda akan menemukan gaya lain. Langit-langit terasa sangat tinggi — mungkin lebih dari 4 meter, khas Kolonial. Motif plafon juga khas Eropa, berpola art nuoveau — berupa kurva-kurva halus yang biasanya terinspirasi oleh keindahan flora dan fauna. Kesan Kolonial makin diperkuat dengan keberadaan sejumlah lampu kristal. Konon, lampu ini didatangkan langsung dari Austria. Gaya Kolonial juga sangat terasa pada lantai bangunan — marmer  atau teraso yang digunakan di bangunan utama berasal dari Venesia.  Sementara di bangunan sayap kanan dan kiri, lantainya dibuat dari acian halus.

Ciri khas arsitektur Cina baru bisa Anda pergoki ketika melongok ke atap bangunan yang berbentuk Renzi. Bentuk atap khas rumah Tionghoa ini tidak memiliki teritisan sebagaimana rumah-rumah Melayu. Atapnya langsung bertumpu pada dinding pemikul. Di siku dinding pemikul yang mempertemukan bilah atap, terdapat ornamen yang menyerupai bentuk ekor burung. Kabarnya, ornamen ini khas Cina Selatan — tanah leluhur Tjong A Fie.

Yang membuat saya berdecak saat menelisik bangunan ini adalah ketika menemukan hampir semua material yang digunakan masih asli. Mulai dari partisi yang memisahkan courtyard dan mainhall, railing, lukisan dan foto, hingga meubelair di sejumlah ruangan. Pagi itu, ketika saya melintasi sayap kanan, mata saya terbetot pada sebuah piano — yang dari penampilan material kayunya tak mampu menyembunyikan usianya. “Itu masih asli banget, sudah ada sejak tahun 1910,” terang Aditya yang setia menemani saya berkeliling. Sebuah grand piano lagi terdapat di hall lantai dua. Di lantai ini, tak syak lagi, Anda akan menemukan suasana yang akan menerbangkan angan Anda ke bumi Eropa di permulaan abad ke-19 — ketika para bangsawan gemar melantai, dengan gaun para wanitanya yang mengembang penuh.

Setengah ragu, saya akhirnya duduk di depan piano tua di sayap kanan bangunan itu, membuka tutupnya yang terbuat dari kayu usang, menyentuh tuts dan memainkan satu-dua nada. Saat itulah saya seperti menyaksikan deretan foto sepia di dinding berputar seperti  film, dan mendengar sesayup nada di kejauhan, di keheningan. Begitu magis… ***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *