Suratkabar tersebut, Herald, yang diterbitkan Gereja Katolik Malaysia, menerjemahkan kata “God” menjadi “Allah”, ‘terjemahan yang salah karena kata itu umum diasosiakan dengan agama Islam,’ menurut Che Din Yousoff, seorang pejabat senior Unit Kontrol Publikasi Kementerian Keamanan Dalam Negeri Malaysia.
“Umat Kristen tak dapat menggunakan kata Allah karena kata ini hanya bisa diterapkan pada agama Islam. Allah hanya untuk Tuhan Muslim. Terjemahan yang salah ini bisa membingungkan umat Muslim,” kata Chen Din.
“Mingguan (Kristen) itu sebaliknya harus menggunakan kata ‘Tuhan’ sebagai terjemahan ‘God’,” tegasnya.
Isu-isu agama sangat sensitif di Malaysia, negara dengan 60 persen dari 26 juta rakyatnya adalah Melayu Muslim. Etnis China, yang umum beragama Budha dan Kristen, mencapai 25 persen dan etnis India, yang umum beragama Hindu dan sedikit Kristen, mencapai 10 persen.
Kelompok minoritas di Malaysia sering mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapatkan kemerdekaan penuh dalam beribadah, Kelompok minoritas ini sering sulit mendapatkan izin membangan rumah ibadah dan warga Hindu akhir-akhir ini sering marah karena peruntuhan kuil oleh pihak berwenang.
Mingguan Herald, yang memiliki sirkulasi 12.000 eksemplar untuk anggotanya, diterbitkan dalam empat bahasa: Inggris, Malaysia, Mandarin dan Tamil.
Pendeta Lawrence Andrew, editor mingguan itu, mengatakan penggunaan kata ‘Allah’ pada media mereka tak dimaksudkan untuk menghina warga Muslim.
“Kami merujuk pada Injil. Injil dalam bahasa Malaysia menerjemahkan ‘God’ menjadi ‘Allah’ dan ‘Lord’ menjadi ‘Tuhan’. Dalam doa dan kegiatan gereja, kami menggunakan kata ‘Allah’,” tegasnya.
“Ini bukan hal yang baru. Kata ‘Allah’ telah digunakan di Malaysia sejak lama. Tak ada yang membingungkan di sini,” katanya.
Tapi Che Din mengatakan umat Kristen tak menggunakan kata ‘Allah’ dalam versi bahasa Inggris, ‘jadi sebaiknya juga tak menggunakan kata itu dalam versi Malaysia.
Tegas Din, ada empat kata yang hanya bisa digunakan umat Islam, dan tak bisa dipakai agama lain, yaitu: Allah untuk nama Tuhan, Sholat untuk sembahyang, ‘Ka’bah’ dan Baitullah.
Pejabat Malaysia Larang Alkitab Dalam Bahasa Setempat
Kontroversi itu dimulai pertengahan April lalu ketika seorang pejabat dalam Departemen Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Mohd Nazri Abdul Aziz Nazri, mengatakan bahwa Alkitab dalam Bahasa Malaysia dan Bahasa Indonesia dilarang konstitusi sejak kemerdekaan negara itu pada tahun 1957. Karena itu, ia beralasan, kebijakan menentang penyebaran agama selain Islam berakar pada piagam konstitusi.
Surat kabar nasional seperti The Star dan The Sun melaporkan bahwa Datuk itu ingin memperbarui larangan melarang Alkitab dalam bahasa Malaysia untuk “mencegah Alkitab digunakan untuk mengkonversi orang kedalam ke-Kristenan.”
The Sun menambahkan, Nazri menyatakan siapapun yang ditemukan dengan Alkitab dalam edisi bahasa lokal harus “dibawa ke pengadilan.”
Namun, pejabat lain dari Departemen Perdana Menteri, Tan Sri Bernard Dompok, berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa “bahasa nasional dapat digunakan untuk tujuan apapun, termasuk beribadah.”
Malah faktanya, kata Dompok, saat ini Alkitab dalam bahasa lokal dapat masuk ke negeri itu jika terlebih dahulu mendapat otorisasi Kementrian Keamanan Dalam Negeri, sementara edisi bahasa Inggris dapat beredar tanpa halangan.
Isu ini ditanggapi umat Kristiani di sana dengan keresahan yang luar biasa. Wong Kim Kong, sekjen Persekutuan Kristiani Injili Nasional (National Evangelical Christian Fellowship/NECF) Malaysia mengatakan bahwa larangan itu “tidak konsisten dengan kebijakan Perdana Menteri Badawi untuk mempromosikan keharmonisan beragama di negeri ini.”
Wong mengatakan ini sama saja dengan memidanakan semua umat Kristiani Malaysia yang tidak berbicara bahasa Inggris, dimana setengahnya di tinggal di bagian timur dan menggunakan Alkitab yang diterjemahkan. “Pernyataan Nazri menyebabkan kebingungan dan kegelisahan di komunitas Kristiani,” katanya.
Malaysia memiliki 53 umat Muslim dari 25 juta warganya, sedangkan umat Kristiani terdiri dari 6,5 persen.