Tjan Hok Tjong; Polisi yang dikenang terus karena membaur secara alami (bagian II)


 Tjan Hok Tjong; Polisi yang dikenang terus karena membaur secara alami (bagian II)

 dilaporkan: Setiawan Liu

Nganjuk, 7 Oktober 2022/Indonesia Media – Masih ingat dengan kebijakan pembauran yang dibuat pada masa orde baru (Orba)?, kebijakan mengasimilasi Tionghoa Indonesia melalui strategi organisasi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom – PKB) 1977 – 1998. Sebelum kebijakan tersebut dibuat, orang Tionghoa Indonesia sesungguhnya sudah mengasimilasi, membaur secara alami, tanpa intervensi pemerintah. “Itu kakek saya, Tjan Hok Tjong sangat membaur, sangat dicintai, dan dikenang terus. Kalau masih ada generasi (tua & muda) terutama di Jawa Timur, yang mengenang kehidupan polisi Tionghoa, Om Tjong (sapaan akrab al. Tjan Hok Tjong; 1925 – 1977) pasti masih ingat,” cucu Om Tjong, Franci Lintang Chandra mengatakan kepada Redaksi.

Hok Tjong pernah ditempatkan di pos polisi di desa Ngoro di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Awalnya, beliau berkarir di Brimob Surabaya, Jawa Timur. Lalu berpindah-pindah selama menjalankan tugas sebagai anggota Polri (kepolisian Republik Indonesia). Ketika beliau pindah ke Ngoro, pembauran dengan masyarakat sangat intens dan berjalan alami. Ngoro merupakan penempatan terakhir sebelum memasuki masa pensiun. Sewaktu masih bertugas di Surabaya, sebetulnya ada lima anggota Polri yang keturunan Tionghoa. Di antara lima orang tersebut (anggota Polri), Hok Tjong yang memiliki kompetensi berbahasa mandarin. Literasinya tinggi untuk lisan dan tulisan (bahasa Mandarin). Sehingga ketika kantor imigrasi di Surabaya sedang membutuhkan tenaga penerjemah untuk surat-surat penting, Hok Tjong yang diperbantukan dari kepolisian. “Kalau sekedar bisa bertutur (percakapan biasa), banyak (anggota kepolisian) yang bisa. tapi kemampuan skala formal, tulis menulis, hanya segelintir yang mampu (bahasa mandarin). kakek saya yang diperbantukan,” kata Franci Lintang Chandra melalui sambungan telepon.

Peristiwa kaburnya tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) kelas I Surabaya, suasana keamanan sangat genting. Karena Lapas tersebut merupakan yang paling tua di Surabaya. Hok Tjong pada saat suasana chaos, ditugaskan bersama anggota lain kepolisian Surabaya. Ia mengamankan para perusuh terutama yang sempat kabur dari lapas. Peristiwa tersebut berlangsung sekitar tahun 1965/1966, suasana peralihan dari pemerintahan Orde Lama (Orla) ke Orba. Dengan pengabdian kepada institusi kepolisian, sampai pernah bertaruh nyawa, ia tidak punya warisan untuk anak-anak, cucu-cucunya. “Ini sangat miris. Sampai ia meninggal, tidak ada rumah keluarga. Fasilitas dari pemerintah sebagai seorang pensiunan kepolisian, tidak ada sama sekali. kebetulan sekarang ada isu terkait dengan kepolisian, terutama kasus Sambo vs. Brigadir J, saya sempat merasa miris juga. Saya terdorong untuk angkat cerita pengabdian alm. Hok Tjong. Harapan saya, semoga hikayat (pengabdian Tjan Hok Tjong) inspiratif, minimal masyarakat bisa membandingkan dengan suasana pengabdian polisi zaman dulu,” kata Franci Lintang Chandra. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *