Tionghoa Indonesia di Belanda: Dari Diundang sampai Ilegal – Bagian ke-1


Dr The-Gwan-Tjaij_sebelah kanan

Pada awal 1970an, Belanda begitu parah kekurangan dokter gigi dan dokter umum. Waktu itu banyak
dokter gigi Indonesia mendapat tawaran melamar pekerjaan di Belanda. Kebanyakan yang melamar
adalah dokter gigi keturunan Tionghoa asal Indonesia.Itulah gelombang lain kedatangan orang Tionghoa
Indonesia ke Belanda. Sesudah tahun itu Belanda makin susah didatangi, sehingga tidak sedikit orang
Tionghoa yang secara ilegal masuk Belanda. Berikut bincang-bincang bagian terakhir dengan dokter The
Gwan Tjaij, salah seorang penulis buku Indonesische Chinezen in Nederland, Tionghoa Indonesia di
Belanda.

Gigi anak-anak

Sampai tahun 1975 integrasi orang Tionghoa asal Indonesia di Belanda berlangsung lancar, karena
mereka kebanyakan berpendidikan tinggi, tingkat akademis. Jadi mereka cukup cepat menguasai bahasa
Belanda. Biasanya karena bekerja, perempuan atau laki-laki, dalam dua sampai tiga tahun sudah fasih

Perta Belanda

berbahasa Belanda. Yang di rumah mengurusi anak biasanya memang kurang.

Di sini, The Gwan Tjaij mengemukakan satu detil yang menarik. “Permulaan tahun 1970an,”
tuturnya, “Negeri Belanda kekurangan dokter dan dokter gigi.” Di lain pihak, pendidikan dokter dan
dokter gigi Indonesia pada waktu itu dinilai cukup tinggi oleh pemerintah Belanda. Akibatnya lulusan
Indonesia dengan cukup gampang bisa datang ke Belanda, sebagai dokter. Salah satunya adalah The
Gwan Tjaij sendiri.

Pada awal tahun 1970an, kira-kira 160 orang dokter gigi datang ke Belanda untuk melamar dan
dipekerjakan di school tandarts verzorging, pendidikan mengurusi gigi anak-anak sekolah. Dari tahun
1970an itu, sampai 1998, kira-kira terdapat 300-400 dokter gigi dan kira-kira 600 orang dokter umum
yang berdatangan dari Indonesia ke Belanda.

Kepada Radio Nederland, The Gwan Tjaij membenarkan bahwa kebanyakan tenaga medis yang datang ke
Belanda itu adalah orang Tionghoa Indonesia. Menurutnya, pendidikan dokter gigi di Indonesia memang
banyak mahasiswa Tionghoanya. Itu pertama. Kedua, tentu saja untuk ke mari butuh uang. Tetapi tidak
semuanya. Dokter The melihat seperempatnya orang Indonesia suku lain.

Tidak jelas

Dokter The sendiri datang ke Belanda tidak bersama kelompok ini. Pertama-tama, dengan berterus
terang, ia mengaku suka petualangan. Ia ingin melihat dunia. Tambahnya lagi, “Saya ke sini bukan
karena peristiwa G30S, waktu itu saya bekerja di Angkatan Laut, jadi tidak ada problim sama sekali
soal itu.” Masalahnya, di sini The Gwan Tjaij berubah nada bicara, menjadi pelan-pelan. “Waktu saya
melamar untuk spesialisasi bedah, tidak diterima. Alasannya tidak jelas, tapi saya rasa ya juga berlatar
belakang etnis.” The Gwan Tjaij sudah lulus kedokteran dari Universitas Airlangga, Surabaya. Dia
datang ke Belanda tahun 1971. Bagaimana ceritanya, selain petualangan itu? “Sebetulnya setelah wajib
militer selama tiga tahun, saya bekerja di missi di Flores juga selama tiga tahun, sebagai dokter. Saya
merasa sangat berterima kasih kepada Universitas Airlangga, almamater saya, karena telah mendidik
saya menjadi dokter yang bermutu.” Di sini The Gwan Tjaij merasa harus berbagi kemampuan. Ia ingin

spesialisasi bedah tapi tidak diterima di Surabaya, karena itu dia melihat-lihat lowongan di luar negeri.
Dan karena fasih berbahasa Belanda, nomer satu tentu dia ingat Negeri Belanda.

Pada zaman penjajahan dulu, memang banyak keluarga Tionghoa yang bertegur sapa dalam bahasa
Belanda di rumah. Menarik untuk mengetahui bagaimana The Gwan Tjaij bisa fasih berbahasa Belanda.
Apakah karena keluarganya berbahasa Belanda di rumah? Dokter The menyangkal. Yang benar karena
ayahnya guru bahasa Jerman. “Jadi saya diharuskan waktu masih kecil belajar bahasa Belanda dan bahasa
Jerman, terpaksa ini sebetulnya,” tuturnya polos.

Di Semarang, kota asalnya, The Gwan Tjaij pertama-tama masuk sekolah Chung hwa hwe. Kemudian
sekolah Karang Turi, yang di Jawa Tengah dikenal sebagai sekolah Gao. Tetapi ayahnya menjadi guru di
SMA negeri, bukan di Karang Turi. Sebagai guru bahasa Jerman, ia juga fasih berbahasa Belanda. The
mengenang masa kecilnya, “Ayah saya punya banyak banget buku bahasa Belanda. Jadi saya ingin sekali
membacanya, oleh karena itu dengan sendirinya bisa bahasa Belanda.”

Adakah ini berarti dokter The tidak mendapat pelajaran bahasa Belanda secara khusus dari ayahnnya?

Sampul depan buku

“Tidak,” tuturnya, “Tapi kalau keliru bicaranya langsung dikritik, dapat tuntutan dari bapak.” Dengan
latar belakang ini maka pilihan Belanda sebagai negara tujuannya untuk merantau merupakan sesuatu
yang normal saja? (bersambung ke edisi berikutnya/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *