Tanamur Discotheque, Dunia Dugem Expatriate Jakarta 1970 – 2000 an


Tanamur Discotheque, Dunia Dugem Expatriate Jakarta 1970 – 2000 an

Jakarta, 8 Juni 2020/Indonesia Media – Bagi mereka yang sudah mencapai paruh baya, atau lebih tua, yakni 50 tahun ke atas yang masa remajanya suka ‘dugem’ (dunia gemerlap) pasti sudah familiar dengan yang namanya Tanamur Discotheque di Jakarta Pusat, tepatnya di daerah Tanahbang Timur. Kendatipun 90 persen pengunjung Tanamur, sejak berdiri November 1970 sampai tutup tahun 2006 adalah bule atau orang asing, expatriate yang bekerja di Jakarta, party goers atau remaja Indonesia pecinta dugem pasti tahu. “Semua artis yang terkenal atau baru terkenal pada medio tahun 1990 an, pasti pernah berkunjung ke Tanamur. Artis Hollywood, seperti Chuck Norris, Oscar Harris dan lain sebagainya juga pernah. Petinju Muhammad Ali, pesebakbola Ruud Gullit juga pernah,” kata Vincent, mantan DJ (disc jockey) Tanamur.

Sosok Vincent tidak lepas dari sejarah Tanamur, termasuk kepiawaian meramu lagu-lagu dugem. Kendatipun, ia sudah meninggalkan dunia dugem sejak tahun 2016, tapi masih bisa menyebutkan berbagai lagu favorit para pengunjung expatriate  di Jakarta yang suka berkunjung. Sehingga tak heran, beberapa bulan yang lalu para expatriate kembali datang ke lokasi ex. Tanamur. Mereka ‘reuni’ seadanya sambil cerita-cerita mengenang masa lalu, terutama saat ‘dugem’ di akhir pekan. Era dimana perekonomian Indonesia saat booming minyak (1974 – 1982), dan pemasukan yang cukup besar untuk negara, Jakarta dibanjiri para expat yang bekerja di sektor terkait. “Berbagai group band dari seantero dunia juga kunjungi Tanamur. Artis dunia yang datang, tidak diistimewakan. karena kami menjaga privacy. Pengunjung lain juga tidak terganggu. Kalau tempat (diskotik) lain, artis yang baru terkenal saja mungkin seperti dianggap raja-ratu,” kata pria kelahiran Tanah Papua 68 tahun yang lalu.

Awalnya Tanamur adalah bangunan tua biasa yang dikelilingi gedung-gedung pemerintahan termasuk Kementerian Pertahanan, Bank Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan lain sebagainya. Arsitektur bangunan sempat menjadi daya tarik pengunjung. Karena selain berbentuk segitiga, ada elemen kubah besar berbentuk setengah lingkaran. Kekhasan elemen arsitektur gedung tua tersebut sering ditafsirkan kombinasi bangunan Masjid dan Gereja. Bangunan bercat hitam, sekarang ini masih terlihat tulisan ‘Tanamur’ nya. Tetapi ‘discotheque’ nya sudah hilang seperti ditutupi debu-debu jalanan dan asap knalpot. Sementara pintu bercorak klasik, terutama warna catnya juga sudah mulai memudar. Minibar juga masih terlihat walaupun warnanya sudah luntur dan dipenuhi sarang gonggo “Dulu kan ada dua bagian (ruang) besar, restoran dan diskotik. Kami buka dari jam 9 malam sampai 4 dini hari. Kalau ada event, seperti Haloowen Party, Ladies Night, dan Foam Party (pesta busa), parkir mobil pengunjung mengular,” kata Vincent.

Ada 1001 kisah yang bisa diceritakan Vincent sejak menggeluti dunia DJ di Tanamur. salah satunya, sisi suka meramu berbagai lagu-lagu dengan beat tinggi. Beberapa pengunjung juga sering request lagu-lagu tertentu, yang menjadi favoritnya. Misalkan koleksi lagu Van Hallen, terutama Jump, kelompok The Doobie Brothers yang lagu-lagunya masih sangat klasik; Long Train Running, Listen To The Music dan lain sebagainya. “Tapi ada juga koleksi lagu Doobie Brothers yang agak melancholic yang di request pengunjung. Saya tetap harus memenuhi permintaan. Bahkan ada bule yang setiap kali datang, pasti meminta lagu favoritnya. Ia juga setengah memaksa. Penampilannya biasa saja, dengan mengenakan celana blue jeans, bersandal-sepatu, kaos oblong. Tapi lama-lama saya tahu, bahwa dia boss salah satu perusahaan asing ternama yang berkantor di Jakarta,” kenang Vincent.

Pada era tahun 1980 – 1990 an, sudah banyak diskotik di Jakarta termasuk Stardust, Ebony, tapi atmosfirnya sangat berbeda. Ia mengaku, meramu musik untuk membuat pengunjung eforia. Sehingga mereka bisa melepaskan berbagai kepenatan setelah bekerja dari Senin – Jumat. “Atmosfir Tanamur tidak bisa dibawa ke tempat lain. Ada Stardust, Ebony dan lain sebagainya. Tapi saya lebih merasa enjoy bermain di Tanamur. Kepuasan saya tidak bisa dinilai dengan gaji pada saat itu. Kalau pengunjung bisa menjadi ‘gila’ berdisko, saya juga bisa semakin bersemangat,” kata Vincent.

Era tahun 2000-an, Tanamur mulai ditinggalkan pengunjung terutama expatriate karena krisis moneter dan berbagai insiden seperti Bom Bali. Omzet terus menurun, dan pengelola diskotik lain juga semakin jor-joran menarik pengunjung. Pada tahun 2006, gemerlap lampu disko Tanamur semakin redup dan akhirnya padam. Debu, asap knalpot, sarang gonggo yang mendengungkan suasana, terutama interior bangunan tua tersebut. Walaupun masih ada beberapa pohon yang menghiasi halaman depan, tapi interiornya praktis seperti rongsokan. Setiap harinya, Vincent tidur di atas bangku depan mini bar di bekas restoran. “Menu utama (restoran) makanan India. Sampai sekarang saya juga nggak tahu kenapa menu India yang disajikan. Padahal, Tanamur ibaratnya tempat berkumpulnya pecinta musik dari berbagai negara di lima benua, mungkin sampai kutub utara,” katanya. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *