Tanah Pengasingan Bagian ke-29-B


Mang Karta kembali ke tempat pengasingan-lamanya dengan hati yang setengah hancur. Malu, malu dan malu pada dirisendiri! Malu kepada banyak teman dan sahabat. Sebab tentulah mereka itu akan menanyakan bagaimana rasanya pertemuan kekeluargaan yang begitu lama terpisah

Sobron Aidit - Penulis

puluhan tahun. Lalu apa yang akan dijawab dan mesti diceritakannya?! Terkadang merinding bulu kuduknya, bukannya ketakutan, tetapi karena sangat sedihnya, sangat tragisnya. Kembali bertemu dengan isteri dan anak-anaknya, tetapi “diasingkan” di kamar tersendiri! Apa artinya semua itu? Bukankah artinya dia belum diterima secara baik di kalangan keluarganya sendiri?! Dia dibikinkan jarak sedemikian rupa oleh keluarganya sendiri. Maka kembalinya Mang Karta ke tempat tanah pengasingannya ini, mencatat kesedihan yang sangat, yang sejak dulu tak terbayangkan dan tak pernah dialaminya.

Ada beberapa tahun setelah itu didapatnya kabar bahwa isterinya meninggal. Dan sekali lagi batu besar seakan menimpa dirinya lagi. Kesedihan ini, demikian pikirnya, sesudah hari tua barulah bertubi-tubi dialaminya. Dan sesudah itu timbul rasa yang sangat besar dan keinginan yang tak tertahankan, dia sangat ingin menyusul kepergian isterinya, meninggal di tanahair sendiri, mati dan dikubur di kampunghalaman sendiri. Hanya itulah keinginannya yang sangat. Seiring dengan rasa sedih-duka, umur bertambah tua, dan penyakit pada bermunculan. Operasi peluru yang bertahun-tahun masih bersarang di dalam tubuhnya, kini terasakan sakitnya bila cuaca dingin dan pada musimdingin. Tak seorangpun membayangkan, mengapa mesti terdampar begini lama di Eropa ini! Pecahan peluru yang baru dapat diambil setelah hampir setengah abad mendekam dalam tubuhnya, pertanda bukti bahwa dia memang benar-benar pejuang dan bertempur berhadapan dengan serdadu Belanda ketika zaman Revolusi Agustus dulu itu. Bukan main gagah-beraninya, kobaran semangat apinya, API Menteng 31-nya. Tetapi kini? Tetap saja semangat pulang dan berkubur di tanahairnya sendiri, menggebu-gebu, seakan tak tertahankan. Di tulisnya surat kepada anak-anaknya, keluarganya yang lain yang masih cukup dekat. Dan kepada beberapa orang temannya.

Belum lagi mendapat balasan yang tuntas, dia kini sudah bukan seperti dulu lagi, sudah menggunakan kursi-roda. Sudah perlu pertolongan orang lain secara kongkrit. Umur sudah tua, badan sudah uzur, betapapun semangat masih ada sisa apinya, tetap saja memerlukan bantuan orang lain. Tapi dia tidak perduli, ini semangat mau pulang dan mau berkubur di kampungnya sendiri bukan main menggeloranya. Mungkin dengan

Pramugari Garuda

setengah nekad, dia pulang juga dengan bantuan seorang dua orang lain sebagai pendorong dan pengiring beserta kursi-rodanya. Selama penerbangan belasan jam itu, tak lepas dari pengawasan pramugari Garuda yang memang sudah dijanjikan oleh penerbangannya. Tetapi sudah itu harus ada pula orang lain yang bertugas buat mengawal dan membantunya. Dan harus sampai ke tujuan, mencari anak-anaknya dan lalu menyekar di kuburan isterinya. Tapi bukankah semua ini, karena taruhan cinta, karena kasih-sayang kepada keluarganya? Akan dikabarkannya kehendak dan cita-cita terakhirnya kepada isterinya yang sudah almarhum itu dan juga kepada semua anak-anaknya. Semoga saja mereka, kata hatinya,akan menerima dan menyokong kehendak yang mulia ini.

Cerita duka yang tak berkesudahan dan selalu berkepanjangan ini, tetap saja masih membalut dirinya. Betapa sedih hatinya, setelah dia tahu, ada beberapa orang anaknya yang dengan sengaja menghindar untuk bertemu dengannya. Dan memang ada juga seorang anaknya yang masih mau bersedia menemuinya, menemaninya. Tetapi dia sendiri cukup bijaksana untuk mengetahui dan merasakan hati dan perasaan anaknya ini. Sebenarnya anaknya inipun tetap saja segan menemani dan menyertai ayahnya ini, dan ada kekuatiran kalau-kalau akan menyusahkan kehidupan mereka yang memang sudah mantap ini. Dan dia, Mang Karta samasekali tidak sakit hati atau menyesali perasaan dan sikap anak-anaknya. Dia hanya merasakan kesedihan dan kemalangannya saja. Alangkah sialnya nasib diri ini,- demikian dia selalu berpikir. Dalam hatinya lalu berpikir, betapa sulitnya buat hidup, tetapi juga betapa sulitnya mau matipun!

Hidup di tanah pengasingan bukannya enak dan gampang, tetapi penuh kerinduan kepada tanahair dan kampunghalaman, terasa kering tandus, miskin jiwa. Tetapi mau matipun di kampunghalaman sendiri, tetap saja sulit dan bahkan bukannya mustahil samasekali tak bisa! Dan hal ini yang sampai kini menyakitkan, menyedihkan, sampai almarhum isterinya Mak Rukayah dan anak-anaknya tetap saja belum menerima kehadirannya di tengah keluarga. Lalu bagaimanakah akan berakhirnya kehidupan ini? Sekarang bukannya hanya penguasa yang menolak kedatangan dan kepulangannya, tetapi sampai matipun isterinya dan sampai kinipun anak-anaknya, tetap saja masih menolak kepulangan dan kehadirannya di tengah keluarga sendiri! Lalu siapakah yang bersalah? Siapakah yang bernasib begini malang? Apakah hanya aku saja? Dua kali kepulanganku, dua kali kemalangan dan kesedihanku. Barangkali baik juga kalau aku memancangkan diriku begini, kalau dulu gagah berani bertempur dan berperang melawan penjajahan kolonial Belanda, kini bertempur melawan perasaan sedih, tersendiri dan sepi. Dan aku harus menang seperti dulu-dulu itu,(Paris 13 Mei 1999)(Bersambung ke edisi berikutnya)

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *