Soeharto


Duar! Ada Ledakan Saat Makam Soeharto Digali
Bulu Kuduk Merinding…

“Yang tidak kangen sama Orde Baru itu tidak punya hati. Tapi yang mau Orde Baru berkuasa lagi tak punya otak.”

 
MINGGU Wage, 27 Januari 2008. Jarum jam menunjuk angka 15.30. Azan Asar terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Suasana Astana Giribangun redup kala itu, Matahari entah ke mana. Tak ada awan, juga tiada tanda gerimis bakal jatuh.

Sejumlah orang berkumpul, mengelilingi sebidang petak tanah makam yang siap digali. Mereka melakukan upacara Bedah Bumi yang bertujuan agar penggalian berjalan lancar. Yang memimpin Begug Purnomosidi, Bupati Wonogiri.

Lalu linggis dihujamkan ke  tanah. Tak ada apapun yang terjadi. Begitu pula tikaman yang kedua. Namun, bulu kuduk sontak merinding saat linggis mengoyak tanah  untuk kali ketiganya. “Tiba-tiba, duar! Terdengar suara  ledakan yang sangat keras bergema di atas kepala kami,” kata Sukirno, juru kunci makam keluarga Soeharto di Astana  Giribangun.  Sukirno menceritakan kembali pengalamannya menggali makam  Soeharto dalam buku Pak Harto The Untold Stories yang diluncurkan di Jakarta, Rabu, 8 Juni 2011.

Menurut Sukirno, para penggali makam dan orang-orang di sekitarnya kaget. Mereka berpandangan. Bingung. Coba mereka-reka dari mana asal suara menggelegar itu. “Bukan bunyi petir, lebih  mirip suara bom besar meledak di atas cungkup Astana Giribangun,” katanya. Aneh. Tak ada yang porak-poranda, tak satupun benda yang  bergeser karena ledakan itu. Mereka menduga itu suara gaib. Semua diam, terpaku. Lalu suara Begug memecah keheningan. “Bumi  mengisyaratkan penerimaan terhadap jenazah beliau,” tutur  Sukirno  menirukan kalimat Bupati Wonogiri tersebut.

Sukirno adalah satu dari 113 orang yang menceritakan kisahnya dalam  Pak Harto The Untold Stories — buku yang diluncurkan tepat pada peringatan kelahiran Soeharto ke-90 tanggal 8 Juni 2011 lalu. Peluncuran buku tersebut berlangsung hanya tiga pekan setelah masyarakat Indonesia dikejutkan dengan hasil survei lembaga Indo Barometer yang menunjukkan 36,5 persen responden (dari total 1.200) memilih Jenderal Besar Soeharto sebagai presiden yang paling disukai. Selanjutnya  20,9 persen memilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 9,8 persen memilih Presiden Soekarno, 9,2 persen memilih Megawati Soekarnoputri, 4,4 persen memilih BJ Habibie, 4,3 persen memilih almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Mayoritas responden juga menilai Orde Baru lebih baik daripada Orde Reformasi. Hanya pada bidang hukum, Orde Reformasi dianggap lebih baik. Sementara pada banyak sisi kehidupan lain, terutama ekonomi dan sosial politik, dominan responden menyatakan ketidakpuasan terhadap pemerintahan saat ini. Masa kepemimpinan Soeharto lebih memuaskan. Wow! Karuan saja banyak yang sewot.

Reaksi keras datang dari Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Pemerintahan SBY-Boediono menegaskan, masa pemerintahan Orde Baru tidak bisa dibandingkan dengan kondisi saat ini karena suasananya jauh berbeda. Juga dipertanyakan validitas data serta metodologi survai Indo Barometer. Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha menilai data responden membingungkan karena tidak dicantumkan secara detail subyek pertanyaan dan parameter yang lengkap.
SBY sendiri pernah membandingkan zaman dia dengan Soeharto. “(Di zaman Soeharto) pemerintahan top down. Presiden bisa berbuat banyak,” kata SBY.  Dia juga membandingkan bisnis zaman Soeharto dengan saat ini. “Bisnis dulu bisa diatur dan ditata, belum berlaku otonomi daerah seperti sekarang ini,” kata SBY.

Orang bisa berbeda pandangan merespons hasil survei tersebut. Dan, itu wajar saja. Yang pasti dalam keseharian tuan dan puan mungkin pernah menangkap suara-suara masyarakat yang merindukan kondisi stabil dan aman seperti di masa Orde Baru (Orba). Rakyat di level akar rumput tidak peduli apakah Era Reformasi lebih demokratis dibanding Orba. Ukuran mereka simpel saja yaitu bagaimana kemudahan mendapatkan sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) dengan harga  terjangkau. Untuk urusan ‘kampung tengah’ alias perut ini agaknya masa Soeharto lebih mudah. Zaman Soeharto, Indonesia swa sembada beras. Impor pangan hampir nihil. Sekarang bahkan garam dapur pun impor. Begitu kira-kira persepsi umum di tengah masyarakat. Jadi bisa dimengerti bila ada yang kangen dengan Orde Baru. Dan, Orde Baru identik dengan Soeharto!

Survei Indo Barometer pun menyeruak di tengah beragam keganjilan di ini negeri. Sebut misalnya kasus Bank Century, berbiaknya gerakan Negara Islam Indonesia (NII), pembakaran rumah ibadah, penyerangan tiada henti terhadap kelompok agama minoritas serta ingkar janji pemerintah terhadap sejumlah program pro rakyat yang oleh tokoh agama dilukiskan sebagai kebohongan.

Survei itu juga bergulir di tengah drama politik yang menyakiti hati rakyat seperti studi banding, gedung mewah DPR, kasus anggota Dewan kepergok nonton video porno dalam rapat paripurna hingga kasus Partai Demokrat lewat M Nazaruddin yang masih berada di Singapura dan membangkang terhadap panggilan KPK dalam kasus proyek SEA Games 2011. Drama itu menambah rasa tidak puas masyarakat.

Begitulah tuan dan puan. Memori kolektif rakyat Indonesia seolah “lupa sejenak” bahwa Soeharto dan kepemimpinannya selama 32 tahun penuh kontradiksi. Mulai dari pengambialihan kekuasan tahun 1965, kasus G 30S PKI hingga jargon KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Meski banyak tuduhan, Soeharto tak pernah diadili sampai wafat 2008 atau sepuluh tahun setelah lengser keprabon.

Buku Pak Harto The Untold Stories  cuma mengisahkan sisi positif Soeharto. Lalu siapa yang akan menceritakan hal-hal kelam dari zaman itu? Bukankah sisi negatif mantan presiden bisa menjadi pembelajaran agar bangsa Indonesia jangan terperosok pada lubang yang sama? Bangsa besar ini agaknya belum dewasa.

Benar peringatan Ikrar Nusa Bakti. Semua kenikmatan Orde Baru adalah hasil hutang luar negeri yang mesti ditanggung rakyat, penyerahan kekayaan sumber daya alam kepada asing serta mengebiri kebebasan hak asasi individu. “Kita jangan lupa bahwa stabilitas saat itu diperoleh dengan tangan besi. Di bawah pijakan sepatu lars, di ujung moncong senapan!” kata Ikrar. Seorang kawan menimpali. “Yang tidak kangen sama Orde Baru itu tidak punya hati. Tapi yang mau Orde Baru berkuasa lagi tak punya otak.” He-he-he...

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *