KUA tak boleh mempersoalkan, “Kenapa kamu nikah sama ini?”
Mantan Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra, menganalogikan fungsi Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia seperti Kantor Urusan Agama dalam persoalan pengesahan kepengurusan partai politik. Sebagaimana KUA, lembaga Menkumham tidak berhak mencampuri urusan antara calon mempelai yang hendak menikah.
“Menkumham persis seperti kepala kantor KUA kecamatan. Ada orang mau nikah, sudah sesuai persyaratan harus disahkan. Dia tidak boleh mempersoalkan. Lho kenapa kamu kawin sama ini?” kata Yusril dalam perbincangan dengan tvOne, Jumat 3 April 2015.
Yusril yang juga pakar hukum tata negara ini menegaskan bahwa KUA tidak bisa ikut campur siapa orang yang mau menikah. Apakah antara Si A dengan Si B, ataukah Si A dengan Si C.
“Nggak bisa dia ikut campur siapa yang mau nikah. Dia hanya mengesahkan, memberikan legalisasi,” kata dia lagi.
Dalam kasus Partai Golkar dan juga PPP, Yusril yang menjadi kuasa hukum Partai Golkar melihat kepentingan politik dari politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Yasonna Hamonangan Laoly, yang tengah menjabat sebagai Menkumham tidak bisa ditutup-tutupi.
“Kalau dilihat dari aspek politik, sejak hari pertama Yasonna jadi Menkumham, kelihatan pada waktu mengesahkan kepengurusan PPP. Terburu-buru, supaya ada dukungan kepada Koalisi Indonesia Hebat untuk memecah Koalisi Merah Putih yang lebih banyak jumlahnya di DPR supaya mendukung Jokowi,” terangnya.
Pengadilan
Yusril menegaskan bahwa dalam konflik Partai Golkar saat ini, instrumen yang harus dipegang adalah putusan pengadilan. Karena, pengadilan menilai kepentingan-kepentingan yang berbeda, lalu melihat pada aspek hukum.
“Hukum menyelesaikan konflik di masyarakat secara adil, damai dan bermartabat. Semua pihak harus mematuhi hukum ini. Jangan dibolak-balik. Putusan Kemenkumham bisa di lawan di pengadilan yang putusannya mengikat semua pihak,” kata Yusril.
Yusril mengakui bahwa putusan yang dikeluarkan oleh PTUN pada Rabu 1 April 2015 lalu adalah putusan sela, berisi penundaan Surat Keputusan Mebkumham atas kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Dengan demikian, SK Menkumham itu tidak dibatalkan, atau masih ada.
“Tapi tidak boleh digunakan sampai ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Jadi tunggu saja semua. Pak Agung sudah tidak dapat lagi bertindak atas nama DPP Partai Golkar. Sekarang diputarbalikkan bikin kacau,” ucapnya.
Kepemimpinan Golkar
Lantas, dengan penundaan atas SK Menkumham itu, siapa yang berhak memimpin Partai Golkar? Yusril memiliki penjelasan.
“Pak Yasonna itu coba ingat-ingat. Pada tanggal 5 Februari, beliau mengirim surat ke DPP Partai Golkar, satu-satunya DPP Partai Golkar yang tercatat di Kemenkumham adalah Partai Golkar hasil Munas Riau. Belum kadaluarsa. Memang periode 2009-2014 tapi ada perpanjangan pada bulan Oktober, sampai tahun 2015,” ujar dia.
Pada 23 Februari, lanjut Yusril, Yasonna memang mengeluarkan SK untuk Agung. Dengan demikian, pengurus Riau terhenti. Namun kemudian, SK itu kemudian ditunda oleh PTUN.
“Jadi kembali ke posisi semula. Kenapa Pak Yasonna bingung? Kadaluarsa dari mana? Tidak ada mandat kadaluarsa,” imbuhnya.
Menteri Sekretaris Negara pada pemerintahan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menambahkan, Golkar tidak bisa dibiarkan vakum kepemimpinannya. Kepengurusan Munas Riau adalah pengurus yang berhak memimpin Golkar kecuali ada putusan pengadilan lain.
“Tidak usah ada keragu-raguan. Siapa yang harus memimpin Golkar ya Munas Riau. Pak Aburizal sebagai ketua umum, Pak Idrus sekretaris jenderal. Pak Agung boleh hadir dalam rapat-rapat karena dia wakil ketua umum,” tutur Yusril.