SKB Tiga Menteri Ancam Pluralisme Tanah Air


JAKARTA–MI: Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

Siti Musdah Mulia mengemukakan desain Surat Keputusan Bersama (SKB)

tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah telah melanggar konstitusi

negara.

Menurutnya, pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah itu sendiri

sudah berbeda. Misalnya, umat Islam dimana-mana saja bisa beribadah

tanpa di rumah ibadah tertentu.

“Lantas kenapa umat lain ini tidak boleh? Jadi, prinsip saya dari awal

adalah keberadaan SKB 3 Menteri itu sangat bermasalah dan menganggu

teman-teman minoritas,” ungkap Siti yang ketika dihubungi sedang

berada di depan Monumen Nasional (Monas) acara ibadah bersama Forum

Solidaritas Kebebasan Beragama, Minggu (15/8).

Siti menilai ada beberapa kritik yang dapat dilancarkan terhadap SKB

Tiga Menteri. Pertama, SKB Tiga Menteri dinilai tidak masuk akal

karena untuk mendirikan sebuah rumah ibadah perlu ada izin dari forum

SKUB. “Siapa mereka?” ujar Siti kepada Media Indonesia.

Kedua, kelompok-kelompok perwakilan yang ada di forum itu hanya

berasal dari enam agama resmi yang diakui pemerintah. Hal itu

merugikan kelompok lain yang tidak punya perwakilan dan tidak dapat

menyuarakan kepentingan mereka. Ketiga, persetujuan 90 Kepala Keluarga

(KK) sebagai syarat pendirian rumah ibadah. Siti menganggap hal ini

tidak dapat dilakukan untuk tempat-tempat terpencil dimana tidak ada

populasi penduduk yang cukup memenuhi kuota.

Lebih lanjut, Siti mengasumsikan pendirian rumah ibadah kelompok

minoritas, di bawah SKB Tiga Menteri, harus mendapatkan izin dari

kelompok mayoritas.

“Kenapa sih mesti mengotak-kotakkan masyarakat ke mayoritas dan

mayoritas? Ini kan menyangkut salah satu pemenuhan hak-hak sipil yang

paling mendasar yaitu masalah keyakinan,” tandas Siti.

Di sisi lain, cendekiawan KH Sholahuddin Wahid menyatakan bahwa

keberadaan SKB 3 Menteri itu justru cukup baik. Namun, penerapan dari

SKB 3 Menteri itu masih menemui masalah. Menurut pria yang akrab

dipanggil Gus Sholah itu, pemerintah daerah perlu aktif untuk

menentukan dimana kelompok Nasrani dapat mendirikan gereja.

“Supaya mereka bisa membebaslan tanah itu lalu membangun gereja di

atasnya,” papar pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang,

Jawa Timur itu.

Gus Sholah kemudian menambahkan jumlah gereja yang dibangun harus

sesuai dengan kebutuhan dan populasi warga Nasrani.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *