[SIARAN PERS] CARA BERFIKIR KORUPTIF, DISKRIMINATIF & REPRESIF MEWARNAI PEMBAHASAN REVISI UU MD3


apat-Paripurna-DPR-704x318CARA BERFIKIR KORUPTIF, DISKRIMINATIF & REPRESIF MEWARNAI PEMBAHASAN REVISI UU MD3

SIARAN PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PERUBAHAN UU MD3

Saat ini DPR RI sedang membahas RUU Revisi UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD [MD3]. Bahkan pada pertengahan Juli 2014 ini pembahasan ditargetkan selesai untuk kemudian akan disahkan melalui Rapat Paripurna. Namun berdasarkan pemantauan koalisi, proses pembahasan yang dilakukan oleh DPR cenderung “ngawur” dan tergesa-gesa sehingga banyak muncul “substansi liar dan berbahaya” tanpa didasari argumentasi yang layak. Bahkan cenderung mencerminkan tindakan culas para anggota DPR. Sejauh ini ditemukan tiga persoalan dalam naskah revisi UU MD3.

Pertama, birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR. Pasal 220 naskah revisi UU MD3 memuat ketentuan yang cenderung membuat anggota DPR sulit untuk disentuh proses hukum. Ketentuan pemanggilan dan permintaan keterangan [baca: pemeriksaan] anggota DPR RI harus dengan seizin Presiden khususnya berkaitan dengan tindak pidana khusus semisal korupsi bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Ketentuan ini juga akan berimplikasi pada proses hukum yang semakin berbelit dan menimbulkan celah penghilangan atau perusakan alat bukti. Bahkan akan membuat proses hukum terhadap anggota DPR macet. Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang meliputi keseluruhan proses [penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan hukuman]. Lebih aneh lagi, aturan ini juga diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.

Kedua, dihapusnya ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam sejumlah pasal yang mengatur tentang pimpinan Alat Kelengkapan DPR [AKD]. Dihapusnya keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi tanpa penjelasan utuh merupakan sebuah upaya kemunduran dalam mendorong perempuan yang didukung sebagai pembuat kebijakan. Padahal pada periode 2014-2019 jumlah anggota DPR perempuan. Bukannya membuat kebijakan yang mampu menambal situasi tersebut,  namun DPR justru semakin mempersempit peran perempuan dalam posisi strategis di parlemen. Situasi ini tentu merupakan hambatan nyata bagi kiprah perempuan dalam bidang politik.

Ketiga, menguatnya usulan hak anggota DPR untuk mendapatkan dana aspirasi atau daerah pemilihan [dapil]. Jika pada awal naskah revisi UU MD3 mengenai usulan hak dana aspirasi/dapil ini berbentuk hak mengusulkan program, kemudian dalam perkembangan pembahasan terbaru usulan berubah menjadi hak untuk mendapatkan jatah alokasi dana dengan jumlah tertentu berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah. Semakin parah karena usulan ini tanpa disertai dengan mekanisme implementasi dan pertanggungjawaban yang jelas. Sehingga rawan dari sisi akuntabilitas. Lebih aneh lagi ketentuan ini hanya untuk anggota DPR, bukan untuk DPD dan DPRD.

Berdasarkan tiga persoalan dalam naskah revisi UU MD3 tersebut, Koalisi Masyarakat untuk Perubahan UU MD3 merekomendasikan:

  1. Pansus Revisi UU MD3 kembali kepada prinsip-prinsip konstitusional yaitu setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama. Sehingga Pansus harus menghapus pasal-pasal yang cenderung membuat anggota DPR sulit untuk disentuh proses hukum, khususnya pidana khusus termasuk korupsi.
  2. Pansus seharusnya menggunakan revisi UU MD3 sebagai pintu masuk untuk meningkatkan kinerja akuntabilitas anggota DPR sebagai upaya membersihkan parlemen dari perilaku koruptif.
  3. Tetap mempertahankan pasal di mana pimpinan AKD tetap memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota setiap fraksi.
  4. Dalam AKD yang bersifat adhoc sebaiknya unsur pimpian memperhatikan keterwakilan perempuan dengan memperhatikan kompetensi, rekam jejak, integritas dan perspektif gender.
  5. Menghentikan pembahasan usulan hak anggota DPR untuk mendapatkan dana aspirasi atau daerah pemilihan [dapil] yang kental dengan aroma penjarahan anggaran negara ketimbang peningkatan kinerja anggota DPR.
  6. Mengembalikan optimalisasi kinerja anggota DPR dalam menjalankan ketiga fungsi utamanya melalui pembuatan undang undang yang berkualitas, politik anggaran yang pro rakyat dan pengawasan kinerja anggaran pemerintah terutama implementasinya dalam mencapai target pembangunan di setiap daerah pemilihan.
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *