Satyanegara dorong aplikasi zoom untuk studi bedah saraf, peningkatan kualitas dokter


Satyanegara dorong aplikasi zoom untuk studi bedah saraf, peningkatan kualitas dokter

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 11 September 2022/Indonesia Media – Prof. DR. Dr. Satyanegara, Sp. BS melihat kemajuan sarana teknologi informasi melalui aplikasi zoom (video conference) efektif dan efisien menunjang kegiatan studi para peserta program dokter spesialis/pendidikan bedah saraf. Sehingga sektor kesehatan di Indonesia khususnya tindakan pembedahan terhadap pasien dengan gangguan sistem saraf bisa terus meningkat. “Covid juga blessing in disguise (berkah terselubung). Budaya zoom terbentuk, sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas perkuliahan (belajar mengajar) peserta program ahli bedah saraf. Aplikasi zoom meeting ternyata digunakan maksimal peserta pendidikan spesialis bedah saraf,” Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.

Peningkatan pelayanan dokter spesialis bedah saraf masih terkendala dengan rasio per 1000 (seribu penduduk) di Indonesia. Idealnya, setiap 1000 penduduk harus dibarengi dengan satu ahli bedah saraf. Apalagi kondisi di daerah 3T atau daerah yang tertinggal, terdepan, dan terluar, rasio ahli bedah saraf masih sangat kecil. “(jumlah ahli bedah saraf) masih kurang terutama untuk di daerah terpencil, terluar, tertinggal. Kalau (fakultas kedokteran) UGM Yogyakarta, sering ahli bedah saraf (dikirim) ke luar kota, daerah terpencil untuk kegiatan operasi. Kondisi ini, harus dibarengi tujuh universitas lainnya yang setiap tahun melahirkan (meluluskan) dokter spesialis bedah saraf,” kata Satyanegara saat ditemui di Rumah Sakit di bilangan Sunter, Jakarta Utara.

Dengan aplikasi zoom atau video conference untuk kegiatan belajar mengajar, para peserta bisa saling interaktif, diskusi. Kegiatan pengajaran/belajar bisa intens diskusi mendalami ilmu bedah saraf. Melalui zoom, dokter (peserta pendidikan) tidak perlu harus ke Luar Negeri. Banyak yang bisa dilakukan oleh dokter-dokter muda, ahli bedah saraf yang masih muda. “Hasilnya bagus, online maupun offline (tatap muka). Kalau sistem offline, pembimbing langsung mengawasi di samping peserta (program pendidikan spesialis bedah saraf). Kalau offline, (hasilnya) memang lebih mantap, lebih sempurna. Tapi minimal, ada pengalaman di dalam negeri (di Indonesia), dokter bisa langsung konsultasi dengan mudah melalui zoom dengan para ahli (bedah saraf) di luar negeri. Hal ini (zoom/video conference) juga membantu pasien, dokter. Zaman kami, (ahli bedah saraf) yang sudah tua, belum ada budaya zoom meeting,” kata Satyanegara yang sudah menerbitkan Buku Ilmu Bedah Saraf edisi VI

Semakin intens mengikuti pembelajaran, teknik-teknik dokter muda tentunya semakin meningkat. Mutu/kualitas para dokter/ahli bedah saraf yang baru selesai studi akan sangat melesat. Keterampilan dan keahlian dalam mendiagnosis dan melakukan tindakan pembedahan terhadap pasien dengan gangguan sistem saraf bisa semakin meningkat. “Selain, dokter (peserta program studi spesialis bedah saraf) harus sering melakukan workshop, simposium, dan lain sebagainya. Melalui sistem pendidikan dalam dan luar negeri, budaya zoom (video conference) bisa mendorong ahli bedah saraf yang junior,” kata Satyanegara.

Setelah menyelesaikan studi program spesialis bedah saraf, dokter muda masih harus melanjutkan kerja. Biasanya 1-2 tahun bekerja, ia baru bisa diterima menjadi dokter spesialis bedah saraf di Indonesia. Di Indonesia, pusat pendidikan (fakultas kedokteran dengan program spesialis) bedah saraf juga terbatas. Hanya ada tujuh fakultas kedokteran dengan program spesialis bedah saraf, yakni UI (Depok), Airlangga (Surabaya, Jawa Timur), Unpad/Padjadjaran (Sumedang, Jawa Barat), Undip/Univ. Diponegoro (Semarang, Jawa Tengah), Unhas/Univ. Hasanuddin (Makassar, Sulawesi Selatan), USU/Univ. Sumatera Utara (Medan, Sumut), UGM Yogyakarta, UNUD/Universitas Udayana (Denpasar, Bali). “FK (fakultas kedokteran) di berbagai universitas (negeri, swasta) di Indonesia tidak semua mendidik bedah saraf. Yang diijinkan utk mendidik bedah saraf, hanya 7 universitas (USU, UI, Airlangga, Undip, Unpad, UGM, UNUD). Setiap semester, FK hanya terima 4 orang (peserta). Di UI, 4, di Unpad 4 peserta, di Udayana, Airlangga, Hasanuddin, USU, 4 orang. Shg 24 orang ahli bedah saraf dilahirkan setiap tahun. Jumlahnya (lulusan program spesialis bedah saraf) dari tujuh universitas tersebut masih belum ideal dibanding negara lain, terutama Jepang. Ada 8 ribu ahli bedah saraf di Jepang. sementara kita hanya punya 445 orang (ahli bedah saraf). Di sisi lain, Pemerintah mengharapkan agar semua ahli bedah saraf tidak terpusat di kota-kota besar, tapi harus ada penempatan ahli bedah saraf di luar kota. pendidikan (ahli bedah saraf) yang baru-baru ini, banyak yang belajar (mengikuti program spesialis bedah saraf) dengan dukungan pemerintah daerah. Kondisi di Indonesia, pada dasarnya, tangannya (ahli bedah saraf) bagus (terampil), tapi harus terus diasah,” kata Satyanegara. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *