Sapta Ronggo, untuk misi kemanusiaan dengan falsafah hidup jalan lurus (Bagian II)


Sapta Ronggo, untuk misi kemanusiaan dengan falsafah hidup jalan lurus (Bagian II)

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 15 Agustus 2021/Indonesia Media – Kisah perjalanan hidup almarhum Suhu Acong tidak ujuk-ujuk membangun Wihara Sapta Ronggo di Jl. Petojo VIJ III Jakarta Pusat, tetapi sempat mengalami berbagai serpihan perjuangan. Seperti yang diceritakan pegawai Sapta Ronggo, yang sudah bekerja sejak tahun 1966 sampai sekarang, ibu Ujang. “Babah (panggilan Suhu Acong sebelum mengenakan jubah ke-bhiksu-an) kan kelahiran Tiongkok, dan merantau ke Indonesia. Abangnya sudah lebih dulu (merantau), tiba di Jakarta dan berdagang tekstil, baju di Pancoran Glodok,” kata ibu Ujang.

Ia pun mengikuti jejak abangnya, berjualan di emperan Jl. Pancoran Glodok. Barang jualannya juga sama, yakni baju-baju. Sebagaimana falsafah hidup orang Tionghoa, seorang kakak/abang yang sudah lebih dulu sukses, berbagi modal kerja untuk adiknya. “Budaya orang Tionghoa, (Babah) diminta kerja sendiri, berdagang sendiri. Tapi abangnya kasih modal. Tidur di kontrakan murah, hanya beralas koran bekas,” kata ibu Ujang.

Kalau sedang senggang di Wihara, Suhu sering bergurau sambil bercerita kepada para karyawan dan anak-anak asuhnya. Kenangannya merantau dari Tiongkok, naik kapal laut selama beberapa hari. Satu waktu, babah bermimpi temu dengan Eyang Djoego Gunung Kawi. Dari ‘pertemuan’ tersebut, ia disuruh pergi ke Gunung Kawi untuk misi kemanusiaan, membantu manusia yang sedang dalam segala kesulitan. Sehingga, Suhu Acong sering membantu mengobati banyak orang. “Ceritanya Suhu Acong kepada saya dan anak-anak asuh, (dalam mimpinya) ada kata-kata yang berbunyi ‘… Kamu kan masih muda, bisa menyembuhkan orang. Jalani saja (aspek kehidupan) ini, nantinya kamu banyak yang sayangi dan kasihi. Nggak usah lagi dagang di emperan toko, di pinggir jalan…’ sejak itu Suhu dipercaya banyak orang untuk pengobatan,” kata ibu Ujang.

Sekembali dari dari Gunung Kawi ke Jakarta, salah seorang pengusaha di Jakarta datang temui babah. Ia mengaku sakit selama bertahun-tahun dan belum sembuh. Lalu ia diberikan air, ternyata langsung sembuh. Karena merasa sangat berterima-kasih, ia menghibahkan rumah di Jl. Petojo VIJ III yang merupakan cikal bakal Wihara Sapta Ronggo. “Orang yang sembuh tersebut juga merenovasi rumah yang dibeli dari warga Petojo VIJ. Kebetulan pemilik rumah (cikal bakal Sapta Ronggo) orang Batak, tetapi sudah meninggal. Anaknya masih tinggal di Petojo VIJ III dan aktif sebagai pengurus, ketua RT. Setelah bangunan Sapta Ronggo berdiri, dibuatkan juga ruang Eyang Djoego Gunung Kawi,” kata ibu Ujang.

Dari perjalanan hidup Suhu Acong dan sejarah berdirinya Sapta Ronggo, ada hal yang sangat prinsipil terkait dengan keberadaan Eyang Djoego tersebut. Semua orang yang datang bersembahyang diingatkan untuk menjalani kehidupan dengan ‘bersih’ serta ‘jalan lurus’. Sehingga, berbagai keinginan duniawi terutama ‘ingin menjadi kaya’ dengan cara yang salah, harus dihindari. Kalau falsafah dan nasihat tersebut dijalani, setiap manusia bisa melewati setiap langkah kehidupan dengan tenang dan senang. “Alhamdulillah, setiap orang yang datang untuk minta penyembuhan (dari penyakit), berhasil. Saya kan juga sering disuruh ke Gunung Kawi untuk ambil air. Tapi saya kan tetap menjalankan ajaran agama Islam yang saya anut,” kata ibu Ujang. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *