Maraknya aksi saling hujat di media sosial (medsos) bahkan menjurus isu SARA menjadi cermin rendahnya tingkat toleransi masyarakat. Hal itu sangat terlihat pada momen-momen pemilu dari pilres sampai pilkada. Tak heran, Presiden Jokowi mengaku geleng-geleng kepala melihat sarana medsos yang tidak digunakan dengan baik.
Pengajar Pascasarjana Komunikasi di UI, STIK-PTIK, dan Unhan, Puspitasari menganggap situasi tersebut sebagai wujud pengabaian pemerintah mengedukasi masyarakat akan pentingnya sikap toleransi. Implikasinya dapat dilihat pada saat-saat sekarang ini.
Menurutnya, sikap intoleransi bukan hanya terjadi pada level masyarakat mayoritas tetapi tumbuh subur pada masyarakat minoritas. Menariknya, konservatisme mulai muncul menjadi fenomena global dengan terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden AS.
“Masyarakat kita secara sosio-kultural memiliki kerapuhan. Sudah saatnya sekarang mulai meredefinisikan ulang, menyusun regulasi untuk membentuk karakter, konteks, dan konsep Kebhinekaan,” kata Puspitasari dalam diskusi bertema “Media Sosial dan Kegaduhan Politik” yang digelar di Kantor Para Syndicate, Jakarta, Jumat (18/11).
Dikatakan, permasalahan toleransi di Indonesia terekam dalam perkembangan sejarah bangsa dari tahun 1920 sampai sekarang. Tahun 1920 Muhammadiyah dipelopori KH Ahmad Dahlan mulai menyusun konsep pembedaan antara agama sebagai sikap sosial dengan agama sebagai identitas. Namun pada saat bersamaan karena intrik kolonial terjadi pembantaian terhadap etnis Tionghoa.
“Di satu sisi ada pemahaman tentang Kebhinekaan namun di sisi lain ada sentimen SARA. Ketegangan tahun 20-an hingga kini belum selesai,” jelasnya.
Puspitasari menilai, rapuhnya sosio-kultural masyarakat membuat banyak pihak dengan mudah memanfaatkan medsos untuk mencampuradukan emosi publik dengan tujuan negatif. Polarisasi sangat kentara di medsos yang isinya banyak menebar provokasi berdasar kebencian.
Bisnis
Ketua Program Studi Massa Akademi Televisi Indonesia Agus Sudibyo menilai, medsos selaku institusi bisnis seharusnya mulai memikirkan dampak meresahkan dari pengguna-pengguna yang tidak bertanggung jawab. Celakanya, pakar komunikasi Indonesia hingga kini belum mampu mendefinisikan medsos apakah tergolong model komunikasi massa, kelompok, atau publik.
“Sosmed punya tanggung jawab menciptakan ruang publik, dunia maya, yang beretika dan beradab,” kata Agus.
Agus mengatakan, Indonesia bisa mengambil contoh negara-negara pencipta teknologi seperti AS atau negara-negara di benua Eropa yang memasukan literasi digital sebagai kurikulum. Hal ini penting untuk membuat pemilik medsos beretika.
Menurut Agus, pemilik akun Facebook di dunia sebanyak 1,23 miliar. Facebook mengambil keuntungan dari pemilik akun dengan merekam data perilaku bahkan memuat iklan digital yang bisa dengan mudah masuk ke ruang privat penggunanya. Karena mengambil keuntungan seharusnya medsos turut bertanggung jawab dengan isi kontennya.
“Tahun 2016 belanja iklan digital di Indonesia Rp 13 triliun. Rp 8,5 triliun diambil Google, Facebook, Twitter, dll. Raksasa global mengambil banyak dan tidak membayar pajak. Mereka tidak mendidik pengguna medsos,” tegas Agus.( sp / im )
ini bukti sudah terjadi Perpecahan di NKRI ini