Sosok Budi Gunawan kembali menjadi sorotan. Kali ini kinerjanya sebagai Kepala Badan Intelijen Negara ( BIN) menuai kritik dari aktivis antikorupsi.
Sebab, BIN di bawah kepemimpinan jenderal purnawirawan polisi bintang empat itu dinilai gagal mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Sugiarto Tjandra.
Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Kurnia Ramadhana pun meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Budi Gunawan. “Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia ,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Selasa (28/7/2020).
. Kurnia menilai, kasus Djoko Tjandra menunjukkan bahwa BIN tidak punya kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kasus Cessie Bank Bali itu.
Ketidakmampuan itu terlihat mulai dari saat Djoko Tjandra masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik, hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Itu semua menurut dia membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal. Kurnia membandingkan dengan kinerja BIN saat dipimpin Sutiyoso.
Ia mencatat, saat itu BIN sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi. Keduanya yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 dan Samadikun Hartono yang ditangkap di China pada 2016.
“Namun berbeda dengan kondisi saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN,” lanjut Kurnia. Ia menilai, mudahnya koruptor lalu lalang di Indonesia menjadi tamparan keras bagi penegak hukum. Ia meminta Presiden Joko Widodo mengambil langkah tegas.
“Presiden Joko Widodo harus segera memberhentikan Kepala BIN Budi Gunawan jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum,” kata dia.
Sesuai SOP Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto menegaskan, dalam kasus Djoko Tjandra, pihaknya sudah bekerja sesuai standar operasional prosedur.
Begitu juga dalam membantu penegak hukum memburu buronan koruptor lainnya.
“Hingga saat ini, BIN terus melaksanakan koordinasi dengan lembaga intelijen dalam dan luar negeri dalam rangka memburu koruptor secara tertutup,” kata Wawan.
Ia menyampaikan, berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri.
Selain itu, BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, sehingga laporan BIN langsung ke presiden serta tidak perlu disampaikan ke publik.
Berdasarkan undang-undang tersebut, ia menyadari bahwa BIN berwenang melakukan operasi di luar negeri. BIN juga memiliki perwakilan di luar negeri, termasuk dalam upaya mengejar koruptor. Kendati demikian, tidak semua negara ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Untuk itu, dilakukan upaya lain bila buron kabur ke negara-negara tersebut. Baca juga: Jokowi Revisi Perpres, BIN Punya Deputi Intelijen Pengamanan Aparatur Berdasarkan informasi yang diperoleh Wawan, rata-rata para terdakwa kasus korupsi masih melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
“Demikian juga masalah Djoko Tjandra, masih mengajukan PK. Hal ini menjadi kewenangan yudikatif untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru (novum) yang dimiliki,” kata Wawan.
“Jika ada pelanggaran dalam SOP proses pengajuan PK, maka ada tindakan/sanksi. BIN tidak berkewenangan melakukan intervensi dalam proses hukumnya,” sambung dia.
Bukan Pertama Kali Bukan kali ini saja sosok Budi Gunawan menuai sorotan. Pada awal Januari 2015 lalu, sosok mantan ajudan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu juga ramai dibincangkan publik.
Saat itu, Budi Gunawan sudah diajukan Presiden Joko Widodo kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri.
Namun tak lama kemudian,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. KPK menduga ada transaksi mencurigakan atau tidak wajar yang dilakukan Budi Gunawan.
Ia diduga menerima hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lain di kepolisian.
Meski uji kepatutan dan kelayakan Budi Gunawan sebagai Kapolri di DPR berjalan mulus, namun status tersangka yang disandangnya menjadi batu sandungan.
Setelah muncul gejolak penolakan di masyarakat, Presiden Jokowi pun akhirnya mengajukan Badrodin Haiti sebagai calon kapolri. Belakangan, Budi Gunawan mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK.
Hakim Pengadilan Jakarta Selatan memutuskan penetapannya sebagai tersangka tidak sah. Baca juga: BIN Punya Deputi Intelijen Pengamanan Aparatur, Apa Tugasnya? Budi Gunawan pun akhirnya kembali diajukan Jokowi sebagai calon kepala BIN menggantikan Sutiyoso pada Februari 2016.
Langkah Budi Gunawan kali ini berjalan mulus. Pada September 2016, Jokowi melantik Budi Gunawan di Istana Negara, Jakarta. Dalam acara pelantikan itu, Jokowi sekaligus kenaikan pangkat Budi dari komisaris jenderal menjadi jenderal.
Meski tidak pernah menjadi Kapolri, namun Budi Gunawan menyandang bintang empat di pundaknya.( Kps / IM )