PT Timah, Penggiat Lingkungan Sepakat Reklamasi Kolong dengan Phytoremediasi


unnamedPT Timah rencananya akan intens menggelontorkan dana CSR (Corporate Social Responsibility) seiring dengan penertiban praktik tambang illegal (TI) timah di pulau Bangka. Hal ini direspons positip beberapa pembudidaya ikan di kabupaten Sungai Liat, Bangka. Mereka bahkan optimis akan memanfaatkan lahan-lahan eks TI yang sering disebut ‘kolong’. Salah satu pembudidaya ikan bandeng, yakni Edi Iskandar di daerah Riding Panjang Sungai Liat sudah temu dengan Team CSR PT Timah. “Mereka sudah lihat kolong-kolong pas di belakang lahan budidaya kami. Team CSR PT Timah nantinya akan bentuk Team reklamasi. Berbarengan dengan Panen Raya tanggal 11 April, Team Reklamasi dan CSR akan berembug dengan kami untuk follow up,” Edi mengatakan kepada Redaksi.

Hal yang sama juga dijelaskan pihak PT Timah, yakni Corporate Secretary Division nya. Mereka pada prinsipnya sudah mewacanakan berbagai hal terkait dengan reklamasi kolong. “Ada Team CSR, dan sudah mulai bekerja,” Shanty Kusumawardani dari Corporate Secretary Division PT Timah mengatakan kepada Redaksi.

Edi yang dulunya penggiat lingkungan di pulau Bangka melihat pulau Bangka sebagai lumbung timah. Tetapi praktiknya, banyak benturan kegiatan perkebunan, peternakan dengan pertambangan timah Bangka. Penggiat lingkungan menerapkan falsafah budidaya (perikanan, pertanian) yakni Dewi Sri atau dewi padi dan sawah. Dewi Sri yakni pengendali bahan makanan di bumi terutama padi di pulau Jawa dan Bali. “(filosofi) Dewi Sri juga berlaku di sini, yang menyediakan makanan. Lalu mengapa harus dirusak oleh kegiatan pertambangan (timah). Kayu, tepung terigu, sagu dan lain sebagainya dari hutan. Kalau kami miskin, kami masih bisa bertahan dengan padi, terigu dan lain sebagainya, bukan dengan timah,” Edi Iskandar mengatakan kepada Redaksi.

Tidak kekurangan akal, Edi menerapkan prinsip zero waste pada kegiatan budidaya ikan. Limbah termasuk logam berat pada kolong-kolong akan direduksi. Metode yang digunakan yakni phytoremediasi. Metode tersebut sekaligus menerapkan prinsip pemanfaatan kolong-kolong eks Tambang Illegal (TI). Sebagaimana, uji coba pemulihan lahan dari kontaminasi logam berat sudah pernah diterapkan pada lahan milik Edi. Tetapi pemulihan memakan waktu lima sampai enam tahun. Konversi lahan timah juga harus dibarengi dengan penyuluhan petugas Dinas Pertambangan. “Kami menanggulangi limbah dan kontaminasinya. Pemanfaatan tumbuhan dan microba untuk mengikat, mengurai, menghilangkan racun dalam air yang terkontaminasi. Hal tersebut memungkinkan pengikatan Pb logam berat amoniak dan sebagainya.”

Sementara jenis ikan budidaya yang potensial yakni safil, patin, nila, tembikang, dll. Dalam konteks pelestarian lingkungan, penggiat lingkungan melakukan observasi pembangunan kelanjutan sektor perikanan budidaya. Terutama mengenai hasil ujicoba pemanfaatan kolong untuk budidaya bandeng, pasca pemulihan ekstraksi tambang. “Metodenya sebetulnya sangat sederhana.” Edi mengambil contoh pada penanaman tanaman air lemna minor. Ternyata, tanaman tersebut bisa hidup bahkan dalam kondisi air yang sangat asam dan kandungan logam tinggi. Lemna minor juga bisa digunakan untuk pakan alami ikan dengan kandungan protein yang cukup tinggi.

Selain itu, pelestarian lingkungan juga dengan observasi mengenai system drainase pembudidayaan berkelanjutan dimana pengaliran air hujan bisa sampai ke sungai, danau bahkan laut. Sebagaimana banjir besar awal Pebruari 2016 yang lalu, perekonomian Bangka sempat lumpuh. Beberapa kegiatan usaha termasuk perdagangan ritel, grosir, peternakan alami kerugian besar. Akibatnya, banjir bak tsunami tersebut sempat meniadakan kegiatan peternakan, pertanian selama satu minggu. Momentum panen raya yakni pengembangan perikanan budidaya di Bangka, khususnya lagi di Sungailiat Bangka. “Harapan kami ke depan, lumbung Timah di Bangka tidak lagi menjadi benturan dengan perekonomian daerah.”

Dua tahun belakangan ini, kondisi pulau Bangka sekarang ini ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Pertama, polemik masalah tambang illegal (TI) timah. Kedua yakni, banjir besar awal Pebruari yang lalu. Akibat banjir, perekonomian Bangka sempat lumpuh. Beberapa kegiatan usaha termasuk perdagangan ritel, grosir, peternakan alami kerugian besar. “Banjir di sini seperti tsunami.  Seminggu lebih, tidak ada kegiatan peternakan, pertanian. Mereka perlahan-lahan bangkit kembali berusaha untuk kelangsungan hidup.”

Aparat di Bangka sempat memberangus puluhan alat tambang, berupa ponton timah milik penambang ilegal yang membandel. Tindakan itu dilakukan, setelah aparat mengeluarkan surat peringatan ketiga, agar para penambang timah illegal hengkang dari perairan Kabupaten Bangka Selatan. Dalam razia ini, petugas  gabungan menggunakan kapal perang KAL Belinyu milik TNI Angkatan laut.

Satu persatu dari puluhan alat tambang timah illegal dibakar petugas tim gabungan yang menertibkan kawasan perairan Bangka Selatan Maret 2016 yang lalu. Para penambang timah tidak mengindahkan surat peringatan pertama sampai ketiga. Surat tersebut meminta pembongkaran peralatan tambang illegal, serta menghentikan aktivitas menambang timah secara illegal di perairan tersebut. Beberapa anggota masyarakat di Bangka yang ditemui Redaksi mengaku dilematis antara kegiatan tambang timah dan lingkungan. Setiap kali penambang menjual timah, roda ekonomi Bangka berpacu lebih cepat. Karena masyarakat lebih intens bertransaksi, berbelanja dari hasil dulang timah.

“Kalau saya sudah mantap, menernak ikan patin, nila, bandeng, lele, dan lain sebagainya di sini (Riding Panjang). Saya adalah generasi ketiga. Sebelumnya (generasi kakek, bapaknya) banyak gagalnya (budidaya ikan). Usaha mereka tidak ada yang sampai panen, tidak ada uang dijual. Saya sudah bertekad mau membesarkan usaha ternak di sini, menerapkan ilmu yang saya dapat di bangku kuliah.”

 

Di atas lahan sekitar 2,5 hektar untuk budidaya ikan miliknya juga ‘bertetangga’ dengan lahan eks tambang illegal (TI) timah. Sebagaimana pertimahan di Bangka belum mencapai satu solusi terbaik. Penataan yang baik terutama terhadap kegiatan TI diharapkan bisa mengena pada seluruh masyarakat Babel. Timah di satu sisi memberi kontribusi nyata bagi pemerintah. Tetapi di sisi lain, muncul permasalahan baru akibat penambangan baik legal maupun illegal. “Banjir di Bangka (awal Pebruari 2016) karena TI di belakang (lahan budidaya), yang sangat eksploitatif dan cenderung merusak. Dalam sejarah pulau Bangka, belum pernah banjir besar seperti bulan Pebruari yang lalu.”

 

Akibatnya, ikan-ikan ternakan ludes terbawa banjir bandang. Edi mengaku, kerugian akibat ludesnya ikan sampai puluhan juta. Ia meyakini bahwa salah satu penyebab banjir tersebut, yakni kegiatan TI. Sebelum ada pembebasan kegiatan TI, sistem drainase di kampung-kampung masih eksis. Drainase tersebut mengalirkan air hujan sampai ke sungai, danau bahkan laut. Tetapi kegiatan TI ataupun yang legal membuat kubangan air, istilah orang Bangka, yakni kolong. Bahkan ketika pesawat mulai mendarat, terlihat dari ketinggian, ‘wajah’ pulau Bangka penuh lubang dan lekuk. “Drainase, parit di areal kami tersumbat, ditutupi bekas galian. Sungai menjadi dangkal. Kolong timah tersebut dibiarkan begitu saja. Kedalaman bisa sampai sepuluh meter. Banjir besar menenggelamkan rumah-rumah penduduk, dan menggerus ternak kami.”

 

Baginya, tidak ada istilah menyerah untuk berusaha. Setelah alami kerugian besar, ia kembali lagi beli bibit-bibit ikan. Ia tidak muluk-muluk untuk merambah pasar di Batam, Palembang ataupun kota-kota besar di pulau Jawa. Ia mengaku, bahwa aktivitas budidaya ikan di Merawang adalah passion. Ia juga membudidaya ikan alam yang sudah langka yakni sepat siam. “Ikan alam bisa diternak (derajat keasaman) pH rendah, pH tinggi. Ikan sapil juga ikan alam, dan sudah hampir punah. Ini juga tidak lepas dari dampak eksploitasi tambang timah yang jor-joran. Rawa-rawa habis, beberapa spesies menjadi langka.”

 

Biaya ternak ikan, yang paling besar yakni pakannya. Tetapi hal tersebut bisa disiasati, termasuk dengan prinsip zero waste (nir-limbah). Pakannya dengan pellet tetapi tidak harus dengan protein tinggi. Ia membeli limbah ayam potong di beberapa pasar tradisional di Pangkalpinang dan Sungailiat. Salah satunya, yakni limbah usus ayam. Pedagang ayam di pasar mengiris, dan hanya ambil daging dan kepalanya. “Saya rebus ususnya, dicampur dengan pelet harga murah. Dua ember setara dengan 20 liter untuk (campuran) 20 kilo pakan. Perbandingan sekitar satu – dua. Kalau saya beli pellet dengan kandungan protein tinggi, biayanya nggak bisa sampai titik impas, alias rugi. Masaknya dengan kayu bakar yang berserakan.”

 

Semua komponen biaya sudah ditekan, sehingga usahanya bisa efisien dan menguntungkan. Sementara usulan untuk memanfaatkan kolong-kolong bekas TI, masih sangat sulit. Banyak pekerja tambang, termasuk inspektur tambang mewacanakan pemanfaatan kolong-kolong TI tersebut untuk budidaya bandeng. Tetapi hal tersebut bukan perkara mudah, karena rawa-rawa sudah terkontaminasi logam berat. Selain, derajat keasaman sangat tinggi. “Pemulihan bisa sampai lima, enam tahun. Konversi lahan timah untuk peternakan juga tidak dibarengi dengan penyuluhan petugas (Dinas Pertambangan). Sebaliknya, mereka membiarkan saja. Kalaupun ada dana reklamasi kolong, juga tidak jelas juntrungannya. Dananya mungkin ada, tapi menjadi siluman. Masyarakat yang usaha TI bisa cepat dapat uang, tapi kerusakan lingkungan sampai pada anak cucu. Pagi menambang, sore sudah dapat duit. Buat perekonomian Bangka, memang bagus. Tapi buat kelangsungan kehidupan, belum tentu.”(Setiawan Liu / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *