Potensi Konflik Bukan Alasan


Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dinilai dapat memperkuat partisipasi politik masyarakat. Sebaliknya, pengembalian pilkada lewat DPRD mematikan partisipasi politik masyarakat. Alasan bahwa pilkada langsung menimbulkan konflik juga tak tepat. Kini, masyarakat semakin memahami keuntungan dan kerugian konflik pascapilkada.

Secara tidak langsung, hal tersebut menandakan kesadaran politik masyarakat mulai timbul. “Saat pilkada pertama kali dilangsungkan, memang terjadi konflik horizontal di masyarakat. Namun, skala maupun kualitas konflik itu kian menurun. Potensi konflik pilkada hanya ada di beberapa daerah,” kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, di Jakarta, Senin (8/9).

Ia menegaskan, pilkada langsung juga dapat memperkuat legitimasi daerah. Sebaliknyak, pilkada tak langsung kembali membuka permainan politik uang dan transaksi politik tetap terbuka lebar.

“Untuk menghemat biaya politik, pemilihan langsung dapat dilakukan serentak, baik itu pemilihan presiden (pilpres), maupun gubernur, wali kota, dan bupati,” ucapnya.

Politik Transaksional
Sementara, wakil presiden (wapres) terpilih, Jusuf Kalla (JK) mengatakan, kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat dan dijalankan serentak. “Saya cenderung, pemilu itu langsung dan serentak karena lebih efisien dan tidak merepotkan. Jadi, katakanlah cuma dua kali pelaksanaannya,” tutur JK di Hotel Sahid, Jakarta, Senin.

Menurutnya, pelaksanaan pilkada langsung telah berjalan baik, walaupun masih perlu dilakukan perbaikan. Sebaliknya, pilkada yang dilakukan melalui DPRD dapat menimbulkan masalah. Biaya yang dikeluarkan pemerintah memang lebih murah, namun untuk para peserta pilkada akan lebih besar. “Itu bisa menimbulkan transaksi,” ujarnya mengingatkan.

Ia mengatakan, sebetulnya baik pilkada langsung maupun lewat DPR demokratis sesuai aturan. Tapi, pengalaman dulu di zaman Orde Baru, DPRD bisa disandera kepentingan. “Dibawa ke kiri atau ke kanan,” ucapnya.

Disinggung soal Koalisi Merah Putih yang menginginkan pilkada melalui DPRD disinyalir memiliki agenda tertentu, JK menepisnya. Menurutnya, politik itu dinamis, sewaktu-waktu bisa berubah sikap.

Dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada di DPR beberapa waktu lalu, partai anggota Koalisi Merah Putih, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tiba-tiba berubah sikap dan berbalik mendukung pilkada melalui DPRD.

Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang tetap menginginkan pilkada langsung.

Biaya Besar
Ketua DPP PAN, Saleh Partaonan Daulay mengatakan, berdasarkan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Menurutnya, di sana tidak disebutkan pemilihan secara langsung. Oleh karena itu, pilkada yang dilakukan anggota legislatif tetap sah jika dilaksanakan secara demokratis.

Saleh juga menyebutkan, pilkada langsung membutuhkan biaya tidak sedikit. Biaya demokrasi yang besar seperti itu lebih baik dimanfaatkan untuk pembangunan bagi kepentingan masyarakat. Selain itu, pilkada langsung banyak menghabiskan perhatian dan energi masyarakat.

Tahun 2015, sekitar 260 kabupaten/kota akan menggelar pilkada. “Pihak yang menang pilkada belum tentu merasa nyaman sebab yang kalah sering melakukan aksi protes. Mestinya, pemerintah, anggota legislatif, dan masyarakat lebih fokus melaksanakan pembangunan. Jika ada pilkada, fokus akan terbelah,” tuturnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menegaskan, pilkada oleh DPRD akan membawa demokrasi semakin sehat. Partai politik (parpol) juga semakin didorong bertanggung jawab kepada rakyat.

Ia menilai, pilkada oleh DPRD bukan berarti melemahkan civil society, justru semakin menguatkan. “Masyarakat bisa menilai kualitas parpol atapun gabungan parpol dalam memilih kepala daerah. Jadi, parpol melalui kadernya di DPRD akan memilih calon kepala daerah yang andal. Jika tidak, masyarakat akan menghukum parpol yang bersangkutan dalam pemilu yang akan datang,” tutur Fadli Zon, Senin.

Kongkalingkong
Wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan, ia tidak sepakat dengan RUU Pilkada. Sebagai pihak yang dipilih rakyat, ia berpendapat, penerapan RUU tersebut justru rancu dengan sistem demokrasi yang dibangun di Indonesia. Penerapan RUU ini memungkinkan antara kepala daerah dan anggota DPRD berkongkalikong dalam pilkada.

“Bukan rawan korupsi, melainkan kongkalikong bermain, sapi perah. Dia (kepala daerah) nggakpernah urus rakyat, cuma urus DPRD. Tiap tahun kan ada pertanggungjawaban ke DPRD, bukan ke rakyat,” ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Senin.

Apabila ada yang mengatakan pilkada oleh rakyat justru menghabiskan anggaran cukup banyak, Ahok melihat, ini bukan dasar utama. Menurutnya, jika para anggota dewan dan kepala daerah tidak berpolitik uang, tidak akan menghabiskan banyak uang. “Terus mereka teriak lagi mestidibalikin (modalnya), salahnya di mana alasannya pembiayaan mahal. Itu kan karena politikus harus nyogok rakyat. Kamu saja bego, nyogok rakyat. Itu karena diri kamu nggak bisa dijual,” ucapnya dengan nada tinggi.

Ahok menuturkan, apabila RUU ini diterapkan, baik kepala daerah dan DPRD harus siap diperiksa hartanya. Bahkan apabila sejumlah harta tersebut tidak dapat dibuktikan alirannya, harta tersebut harus disita sebagai aset negara.

Ketua Sementara DPRD DKI Jakarta, Jhony Simanjuntak juga tidak sepakat dengan RUU Pilkada. Sebagai anggota dewan, ia melihat apabila RUU ini diterapkan, rakyat tidak diberikan ruang memilih orang yang dipercaya memimpin daerah. Jika ada kekurangan dalam pelaksanaan pilkada saat ini, seharusnya dilakukan pembenahan.

Jhony mengatakan, saat ini seharusnya rakyat diberikan pelajaran politik, bukan justru diberikan pilihan cukup berat dengan memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah di tangan DPRD

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

3 thoughts on “Potensi Konflik Bukan Alasan

  1. pengamat
    September 10, 2014 at 7:36 am

    gubernur baiknya dipilih langsung, bupati / walikota biarlah dipilih DPRD.

  2. James
    September 10, 2014 at 8:06 pm

    Semua dipilih Rakyat secara namanya Demokrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *