Pollycarpus Seorangkah Pembunuh Munir?


Sampai hari ini, saya dan mungkin banyak orang seperti saya, tidak yakin kalau hanya Pollycarpus seorang pelaku pembunuh Munir. Makanya, ketika penandatanganan berita acara persidangan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pollycarpus dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (1/8-2011), saya berharap, lewat PK tersebut akan terungkap secara tuntas kasus pembunuhan Munir tersebut.
Sampai tulisan ini dibuat (minggu keempat September 2011), kelanjutan berita PK tersebut tak terlihat di media (cetak maupun elektronik). Apakah kasus pembunuhan Munir ini kalah seru dari kasus Nazaruddin, Antasari dan lainnya? Atau memang ada “tangan-tangan” tak terlihat bekerja secara sedemikian rupa sehingga kasus Pembunuhan Munir ini hanya berhenti pada Pollycarpus seorang.

Yang pasti Jaksa Agung Basrief Arief saat menanggapi surat terbuka Amnesty International (Kompas, Selasa, 13 September 2011 Halaman 4) mengatakan, dua dimensi surat terbuka itu berbenturan dengan persoalan kewenangan Kejagung. Dua dimensi yang dimaksud Basrief adalah pidana umum dan HAM. Pernyataan Basrief itu disampaikan, seusai menerima anegerah alumni terbaik Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Minggu (11/9) malam.

Surat yang dikirimkan 6 September lalu (maksudnya 2011) kepada Basrief terutama berisikan permintaan 16 Direktur Ammesty International untuk melakukan penyelidikan baru terhadap tewasnya Munir. Basiref mengatakan, dari sisi pidana, kejaksaan bukanlah penyidik pidana umum. Dari sisi HAM, harus didahului penyelidikan oleh Komnas HAM. “Tentu juga ada peradilan ad hoc. Jadi, surat itu memang sudah terbuka untuk kita, tetapi masalahnya adalah kewenangan melaksanakan tugas tersebut,” ujarnya.

Ketika disinggung mengenai upaya peninjauan kembali kasus itu, Basiref mengatakan, bukanlah kewenangan kejaksaan.

Tanda Tanya

Munir yang tewas 7 September 2004, dikenal sebagai pejuang hak azasi manusia (HAM). Ia meninggal dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda via Singapura. Ketika itu, masyarakat Indonesia tersentak. Mengapa tidak, Munir yang pergi dalam keadaan sehat-sehat saja, lalu diberitakan meninggalkan dunia.

Pertanyaan demi pertanyaan wajar muncul seiring kepergian lelaki kurus ini. Terlebih ketika pada 10 November 2004, hasil otopsi tuntas dikerjakan, suami Suciwati ini tewas akibat racun arsenik. Siapa pelakunya?

Ketika 1 Desember 2005, Pollycarpus dituntut hukuman seumur hidup, orang-orang yang mencintai keadilan merasa tuntutan itu pantas. Cuma, terbetik juga pertanyaan, kenapa hanya Pollycarpus seorang. Tidakkah perbuatan itu dilakukan secara berkomplot (konspirasi) seperti hasil laporan TPF (Tim Pencari Fakta)? Jika memang hanya Pollycarpus, untuk kepentingan apa ia membunuh Munir?

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus divonis 14 tahun penjara. Polly naik banding. 27 Maret 2006, Pengadilan Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan vonis Pollycarpus 14 tahun penjara di PN Jakarta Pusat. Ironisnya, pada 4 Oktober 2006, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menghukum Pollycarpus dua tahun penjara atas penggunaan surat palsu. MA menyatakan, dakwaan tentang pembunuhan berencana tidak terbukti.

Tersangka Baru

Kemudian Pollycarpus dihukum 20 tahun penjara dalam sidang peninjauan kembali (PK) yang diajukan kejaksaan. Pilot bersuai 47 tahun itu jadi menghuni Penjara Sukamiskin, Jawa Barat. Segera setelah keluar putusan, polisi memburu kaitan Pollycarpus dengan Muchdi yang tercium sejak awal penyidikan.

Polisi menetapkan Muchdi Purworandjono sebagai tersangka baru kasus pembunuhan Munir. Ia ditahan dan sejumlah bukti disiapkan: hubungan teleponnya dengan Pollycarpus, surat penugasan intelijen, juga kesaksian bawahannya.

Langkah pertama, polisi mencari bukti bahwa Muchdi dan Pollycarpus saling kenal ¨C yang selama ini disangkal keduanya. Budi Santoso, bekas bawahan Muchdi, menceritakan kedekatan Pollycarpus dengan bosnya. Ia mengatakan sering ditelepon bosnya untuk menanyakan keberadaan Pollycarpus, atau sebaliknya (baca Majalah Tempo 29 Juni 2008).

Agen yang punya nama samaran Wisnu Wardana itu mengatakan pernah diminta Muchdi memberi Pollycarpus Rp 10 juta. Ia masih menyimpan catatan pengeluaran uang ini. Di situ tertulis duit untuk “Poli/Pilot?” dikeluarkan pada 14 Juni 2004. Untuk memastikan keterangan ini, penyidik kembali memeriksa Budi Santoso di Sangapura. Menurut Luthfi Hakim, keterangan-keterangan agen intelijen ini ditanyakan penyidik kepada Muchdi dalam pemeriksaan Jumat (27/6-2008).

Menurut Luthfi, Muchdi membantah semua tuduhan penyidik. “Dia membantah kenal dekat dengan Polly dan bahwa dia pernah memberi Polly uang Rp 10 juta,” katanya.

Siapa Muchdi

Awal karir militer Muchdi, yang lahir 15 April 1949, banyak dijalani di jalur prakomando. Ia diangkat menjadi Komandan Jenderal Komanda Pasukan Khusus atau Kopasus pada 1998 menggantikan Prabowo Subianto, yang naik menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Tak sampai setahun ia menduduki jabatan itu.

Munir-lah yang mengakhiri karier Muchdi. Munir dengan gigih memembuka kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa pada 1997, sehingga terbongkar peran Komando Pasukan Khusus dalam aksi itu. Sebelas anggota Tim Mawar, tim yang terlibat operasi penculikan, diadili. Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk memutuskan Prabowo dipensiunkan dini, sementara Muchdi dan dan Kolonel Chairwan, perwira yang dianggap ikut bertangung jawab, dibebaskan dari semua jabatan militer.

Muchdi disorot karena nomor telepon yang dia pakai tercatat menghubungi Pollycarpus pada hari-hari sekitar pembunuhan. Adapun nomor Pollycarpus beberapa kali menelepon Munir.

Keterangan Budi Santoso, agen (ketika itu) ditugasi sebagai diplomat di Pakistan, menjadi simpul yang menjerat Muchdi.

Bambang Hendarso Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri ¨C ketika itu ¨C mengatakan Muchdi dijerat dengan sangkaan pembunuhan berencana. Ia juga diancam dengan pasal tindak pidana penyertaan, yaitu pasal untuk mereka yang menyuruh atau memberikan fasilitas tindak kejahatan. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun.

Ternyata Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwopranjoyo, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), terdakwa pembunuh Munir Said Thalib, pada 31 Desember 2008 divonis bebas oleh majelis hakim yang diketuai Suharto di PN Jakarta. Jaksa Cyrus Sinaga dinilai tak bisa membuktikan “motif dendam”.¡¡¡¡

Bukan BIN

Maka dengan vonis bebas itu, temuan TPF bahwa pembunuhan Munir sebuah konspirasi jahat berkelindan entah ke mana. Keteribatan intelijen pun dibantah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto.

Bocoran kabel diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia yang dilansir Wikilekas menyubutkan, saat menjadi Kepala Polri tahun 2006, Sutanto bertemu Dubes AS Lynn B Pascoe dan menyebutkan keterlibatan badan intelijen dalam kasuh terbunuhnya aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.

“Dulu yang disampaikan dari hasil penyelidikan, bukan menyebutkan lembaga. Ada komunitas tertentu yang sudah dalam peroses peradilan dan terbuka di persidangan. Namun di persidangan dinyatakan tidak terbukti dan bebas,” kata Sutanto, Senin (12/9) di Kompleks Istana Merdeka.

Ia menegaskan, yang disampaikan bukanlah badan intelijen, melainkan oknum intelijen. Persoalan itu pun sudah terbuka di pengadilan dan bisa dilihat siapa orangnya. “Saya tidak sebut itu badan intelijen. Hanya oknum-oknum dan itu sudah terbuka di pengadilan dan bisa dilihat siapa-siapanya,” katanya.

Pollycarpus seorangkah, pelaku pembunuh Munir?

Penulis adalah peminat masalah sosial budaya dan Mahasiswa Fak Hukum UMA Medan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *