Pengrajin, Arsitek Kalteng Manfaatkan Kayu Kreasi Mainan Anak


Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) akan terus meningkatkan fasilitasi industri kreatif mainan anak yang berbasis pemanfaatan kayu dan rotan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Pemprov Kalteng membangun fasilitas Balai Latihan Kerja (BLK) beberapa bulan yang lalu. Sehingga beberapa industriawan memanfaatkan balai tersebut untuk bengkel kerja pembuatan mainan anak. “Industri kami dengan nama Haga sudah berjalan enam bulan. Kami buat wahana (mainan) outdoor berbasis kayu untuk seluruh Indonesia,” Ronald Valentino, pengrajin kayu dan arsitek dari Kalteng mengatakan kepada Redaksi (1/9).
Beberapa jenis wahana outdoor antara lain double toddler swing, climbing, dan lain sebagainya. Sebagian besar wahana ditempatkan di areal bermain anak-anak. Luas lahan disesuaikan dengan jenis dan ukuran wahananya. Misalkan jenis Ananda, lahan yang diperlukan sekitar 12 meter persegi. Tetapi jenis lain Jerry atau Dora, butuh lahan sampai 16 meter persegi. Kayu untuk pembuatan wahana mainan outdoor kokoh dan tidak roboh. “Produk kami sudah memenuhi standard SNI-ISO 8124, sehingga sudah bisa diekspor. Kayu pada wahana outdoor kami juga tidak menggunakan kayu dengan zat kimia yang berbahaya.”
Haga didirikan atas inisiatif Ketua Umum Konsorsium Mainan Anak Indonesia (KMAI) Pusat. Konsorsium tertarik dan antusias dengan potensi pengembangan mainan berbasis pemanfaatan kayu. Setelah enam bulan berjalan, hasilnya luar biasa. Banyak pengelola sekolah, taman bermain di seluruh Indonesia yang memesan wahana outdoor.“Kami di Haga memang fokus pada (pemanfaatan) kayu. Tetapi kalau ada limbahnya atau bahan-bahan yang sudah terbuang, masih bisa dimanfaatkan untuk mainan indoor.”
 
Pengrajin juga memanfaatkan limbah kayu untuk kreasi lain misalkan kotak tissue, baki/talam, mandau, mandau dan lain sebagainya. Tetapi sebagian besar, limbahnya dibuat untuk mainan indoordengan keragaman kreasi. Misalkan limbah dari kayu jenis Alau yang kering digunakan untuk balok abjad, balok unit, mainan kereta, kotak pintan, puzzle, dan lain sebagainya. Pengrajin mengolah limbah dari berbagai macam dan jenis kayu. Kayu pinus, kayu dari pohon karet yang banyak di Kalimantan, sangat ekonomi. Tetapi kayu Alau yang selama ini paling bagus kualitasnya. “Selain ringan, dan kalau sudah dikeringkan, kayu Alau mudah diwarnai. Sehingga bentuknya atraktif untuk mainan anak. Pewarnanya yang aman, no toxic atau tanpa racun.”
Melihat potensi dan prospeknya, Kantor Dinas Perindag sudah membangun sekolah khusus untuk pengrajin kayu dan rotan. Sekolahnya sudah enam bulan berjalan, bersamaan dengan pendirian BLK di kabupaten Katingan, Kalteng. Fokusnya masih tetap pada kayu, tapi ke depannya akan memanfaatkan rotan juga. “Pengembangan (industri mainan anak) di sekolah kami di Katingan juga sudah mulai menggunakan rotan. Kebetulan, saya arsitek dan mengajar di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Katingan. Respons murid-murid saya terhadap pelajaran Kreasi Kayu juga bagus.”
Sementara itu, beberapa pengrajin kayu dan rotan di Jawa Tengah (Jateng) terutama Klaten, Solo berharap ada sistem perserikatan ala koperasi dengan pengepul, buyers (pembeli) dan eksportir. Sistem koperasi diharapkan bisa mengurangi resiko keterlambatan pembayaran buyerskepada pengrajin. Situasi ini terjadi ketika krisis moneter (krismon) 1997 – 1998 mengimbas industri kerajinan kayu di Jateng dan sekitarnya. “Eksportir sudah kirim, tapi pembayaran terkatung dan tergantung buyers. Dulu, ada ekspor ke Perancis. Mereka (eksportir) bayar, tapi buyers yang memerantarai tunggak pembayaran ke pengrajin. Mereka, ibaratnya pengepul fiktif. Mereka tidak punya pilihan, hanya kerja-kerja saja,” Yoyok Soedarmin, pengurus koperasi pengrajin kayu Klaten mengatakan kepada Redaksi (1/9)
Waktu masih suasana krismon, salah satu pengurus koperasi pernah menjalin kontak secara intens dengan eksportir asal Perancis. Lambat laun, eksportir mengetahui kondisi di lapangan seperti apa. Sebagian memanfaatkan kondisi ini, dengan terjun langsung ke lapangan. Mereka terlibat dan pembelian langsung dengan pengrajin, tanpa melalui perantara lagi. Bahkan eksportir asal Perancis tersebut menjalin ‘kawin’ dengan beberapa perempuan di Klaten. Sebagian mulai membangun bangunan pabrik menampung pengrajin. “Secara kasat mata, (bangunan) kelihatan seperti pabrik. Tapi fungsinya seperti pengepul juga.”
Desa Serenan, kecamatan Juwiring, Klaten dulunya sempat dikunjungi beberapa eksportir asal Perancis. Mereka mengumpulkan kayu, rotan dari Surabaya, Cirebon, Solo dan lain sebagainya. Mereka kerjasama dengan pengrajin untuk pengerjaan menjadi furntiure. Bentuk asalnya, ada rotan dengan batangan kecil. Tahap pekerjaan, mulai dari menekuk rotan sesuai dengan desain. Lalu setelah ditekuk, rotan tersebut dipanasi dan diikat dengan baut. Lalu rangka rotan  dengan anyaman, kadang kombinasi dengan plastik. “Modalnya relatif kecil, untuk ukuran eksportir. Karena selisih US Dolar terhadap Rupiah tinggi. Satu dolar sempat menyentuh Rp 15.000.”
 
Kondisi sekarang, kayu dan rotan dari Jateng masih menjadi incaran para desainer (interior, produk) dan arsitek. Dari sekian banyak jenis kayu, hanya kayu jati yang semakin sulit ditemukan.  Jati adalah jenis kayu yang paling usang dan tua. Kendatipun demikian, kayu jati sudah jauh lebih mahal ketimbang rotan. Perbedaan harga, ibaratnya bumi dengan langit. Kondisi hutan di Indonesia yang terus tergerus, pohon jati pun semakin berkurang. Otomatis, kayu jati semakin langka. Sementara rotan masih mencukupi terutama untuk kebutuhan industri dalam negeri. Sementara untuk pasar ekspor, krannya sudah ditutup Pemerintah sejak dua tahun yang lalu. “Pohon jati juga lama tumbuhnya, puluhan tahun. Kalau rotan, mungkin hanya hitungan dua, tiga tahun. Kalau kayu jenis mahoni yang masih banyak dicari. Kalau di Jakarta, di daerah Ciputat, Kemang (Jakarta Selatan), masih banyak yang jualan,” kata seorang desainer di bilangan Kemang, tanpa mau menyebutkan namanya, kepada Redaksi.
Produk kayu termasuk jenis kamper, meranti dan lain sebagainya selalu khas dengan urat, tekstur dan matanya. Urat kayu yang berbentuk rapih, sering diekspos arsitek dalam setiap desainnya. Urat kayu termasuk teakwood sering dipoles lagi, sehingga mengkilap. Tetapi ada satu hal lagi yang sering menjadi pertimbangan desain artistik yaitu mata kayu. Beberapa desainer suka dengan dengan mata-mata kayu. Semakin banyak matanya, semakin bernilai tinggi kayunya. Tetapi praktik di lapangan, beberapa desainer sering menggunakan finishing HPL. “Untuk pengerjaan desain produk atau elemen arsitektur dengan bahan kayu, sering ada pertimbangan cost. Biasanya, cara yang paling praktis sekarang, desainer sering menggunakan finishing HPL. Desain tersebut, seperti tempelan lapisan kayu untuk finishing. Sehingga kerangka dalam tidak kelihatan. Sebaliknya kayu HPL dengan tekstur, urat dan mata kayu artistik, bisa terekspos. Cost bisa lebih rendah.”
Tren desain minimalis, klasik, country, post-modernisme (postmo) pernah mewabah di beberapa kota besar di Indonesia. Tren country yang cenderung mengekspos kayu, kendatipun lebih dominan kayu sintetis atau buatan. Kayu-kayu untuk finishing HPL mensiasati kerangka bangunan untuk ekspos desain ala country. Berbeda dengan tren postmo yang desainnya lebih banyak bermain pada bentuk, rupa dan warna. Penggunaan kayu pada desain postmo, hanya pernik atau komplementer dalam sebuah desain besar. “Sekarang trennya masih minimalis. Penggunaan kayu pada desain besar minimalis, masih dominan dengan finishing HPL.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *