Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menegaskan bahwa tidak ada rencana pencabutan subsidi BBM, melainkan hanya upaya pengendalian alokasi subsidi supaya tepat sasaran. Upaya pengendalian, antara lain dengan menerapkan pembatasan penyaluran di wilayah Jakarta Pusat (Jakpus). Sistem pembatasan dengan klusterisasi, di Jakpus bisa efektif, mengingat tingkat kesejahteraan dan intensitas bisnis yang lebih tinggi. Wilayah tersebut dipadati oleh 26 unit SPBU (stasiun pengisian bahan bakar), terutama jalan-jalan utamanya. “Jakpus, termasuk (kecamatan) Menteng merupakan tempat tinggal orang-orang kaya. Pengendalian solar, premium bersubsidi harus diterapkan. Karena subsidi lebih ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Tetapi kalau warga Menteng, mungkin punya mobil mewah dan lebih dari dua atau tiga,” Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan kepada Redaksi.
Setelah pembatasan di Jakpus, masyarakat yang menggunakan mobil mewah tetap bisa membeli solar atau bensin. Tetapi mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal, yaitu Rp 12.000 per liter. Harga tersebut adalah harga standard, yang tidak disubsidi oleh pemerintah. Tetapi kalau ada yang tetap ngotot mau dapat BBM bersubsidi, terpaksa harus cari di luar Jakpus. “Kalau kelas menengah ke bawah, mobilnya tidak mewah dan mahal, cari BBM bersubsidi di Jakarta Utara, Jakarta Barat.”
Pengendalian dan pembatasan BBM bersubsidi adalah siasat untuk menutupi tingkat konsumsi yang tinggi. Hingga semester pertama tahun 2014, realisasi penyaluran subsidi mencapai 22,91 juta kilo liter (KL). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari kuota yang direncanakan, yaitu 22,81 juta KL. Sebagai perbandingan, para periode yang sama tahun 2013, kuotanya sebesar 22,74 juta KL.
Sistem pengendalian dengan klusterisasi juga efektif diterapkan di provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Karena provinsi tersebut marak dengan kegiatan usaha pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Selama ini, ada beberapa oknum atau warga yang menjual BBM bersubsidi kepada pengusaha pertambangan, perkebunan. K-ESDM menegaskan bahwa sektor pertambangan, perkebunan tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi. “Ada aparat Pertamina yang mengendalikan, mengawasi. Jangan sampai premium, solar bersubsidi diambil masyarakat (usaha) yang mampu. Itu adalah hak masyarakat yang kurang mampu.”
Di sisi lain, K-ESDM menyoroti pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Hal ini, otomatis mendorong tingkat konsumsi BBM bersubsidi. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam tiga tahun terakhir ini, terjadi lonjakan volume penjualan. Selain kendaraan roda dua (motor), masyarakat juga membeli mobil-mobil baru. Rata-rata angka penjualan mencapai 1,1 juta unit per tahun (mobil) dan 7,6 juta unit (motor). Untuk tahun 2014, target penjualan mobil mencapai 1,25 juta unit. Sementara untuk motor, target penjualan di-setting sampai delapan juta unit. Melihat tren pertumbuhan kendaraan baru, K-ESDM melihat tidak ada cara lain untuk membatasi. Pengendalian (BBM bersubsidi) tidak berlaku untuk seluruh SPBU di Indonesia. Pengendalian lebih difokuskan di kota-kota besar di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali. Tetapi tidak semuanya, misalkan di Aceh (Sumatera) tidak ada penerapan pembatasan. “Hanya 12 persen (SPBU), dan terbatas hanya di Kaltim untuk pulau Kalimantan. Ada di Sumatera, misalkan kota Palembang. Di Jawa juga tidak semuanya. Untuk jalur logistik, (SPBU) tetap buka seperti biasa. Yang penting, penerapan ini bisa efektif sampai 31 Desember 2014. Karena kita harus bisa mencukupi sisa kuota (BBM bersubsidi) yang sudah ada, yaitu 22 juta kiloliter.”
Di saat bersamaan, walaupun telah dilakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada Juli 2013 yang lalu, tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan non subsidi masih menjadi ganjalan. Karena banyak anggota masyarakat yang bermigrasi, dari pengguna BBM non-subisi ke BBM subsidi. Di saat bersamaan, masih sering terjadi penyalah-gunaan BBM bersubsidi khususnya jenis minyak solar. “Prioritas BBM subsidi termasuk nelayan kecil. Mereka adalah prioritas untuk kegiatan menangkap ikan di laut. Tapi BBM subsidinya diarahkan pada nelayan yang punya kapal kecil, (kapasitas) di bawah 30 GT (gross-ton). Pemilik kapal besar tidak boleh.”
Pemerintah telah menerapkan kebijakan pengendalian tertentu untuk implementasi Peraturan Menteri ESDM No. 01/2013 tentang Pengendalian Penggunaan BBM. Implementasinya, ada larangan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas, pertambangan, kehutanan, perkebunan, transportasi laut non pelayanan rakyat dan non perintis. Perkiraan penghematan dari implementasi Permen No. 1/2013 adalah 0,46 juta KL. Rinciannya, 0,15 juta KL untuk bensin, dan 0,31 juta KL untuk solar. Secara simultan, BPH (Badan Pengatur Hilir) Minyak dan Gas (Migas) juga sudah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk penguatan persiapakn implementasi Permen. Sehingga, efektivitasnya, sejak tanggal 1 Agustus pelarangan penjualan BBM bersubsidi di 26 SPBU di Jakpus. “Kita bisa hemat sekitar 9.000 kiloliter kalau pembatasan BBM subsidi pada 26 SPBU (wilayah Jakpus) berjalan. Pembatasan mulai dari jam 8 sampai 4 sore. Keseluruhan SPBU di Indonesia sekitar 7.400 unit.”
BPH Migas juga akan melakukan pengawasan dengan target penghematan penggunaan BBM bersubsidi jenis minyak solar sebanyak 0,50 juta KL. Program konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) juga diperkirakan akan menghemat penggunaan premium sebesar 0,09 juta KL. Saat ini, terdapat 27 stasiun pengisian BBG (SPBG). Dua MRU (mobile refueling unit) di Jabodetabek, Jawa Timur dan Palembang juga beroperasi. Selain itu, pengurangan Nozzle BBM PSO yang dilaksanakan di 59 kota/kabupaten, angka penghematan sebesar 0,95 juta KL. Rinciannya, bensi sebesar 0,67 juta KL dan solar sebesar 0,28 juta KL. “Kami memberlakukan pencabutan penyaluran BBM premium di seluruh jalan tol. Jumlah SPBU di jalan tol di seluruh Indonesia mencapai 28 unit. Penjualan premium di 28 SPBU di rest area, sekitar 750 kiloliter per hari, lebih banyak solar.”