Sulfikar Amir, pengajar sosiologi di Nanyang Technological University (NTU) di Singapura
Indonesia tidak lahir dari tanah. Darahnya tidak mengalir dari mata air di kaki gunung. Ruhnya tidak ditiup oleh Sang Pencipta di atas sana. Dan seluruh takdirnya di masa lalu, kini, dan masa depan tidak tertera dalam kitab-kitab suci masa lampau. Indonesia adalah anak sejarah yang senantiasa mendekap dalam pelukan sang bunda kala yang mengandung dan membesarkannya. Sebuah ikatan yang membentuk wajah dan watak Indonesia yang penuh dinamika dan diwarnai oleh ambivalensi.
Seratus tahun kebangkitan nasional mungkin terdengar gagah. Setidaknya untuk menakut-nakuti negara tetangga yang masih belia (namun berlari kencang). Tetapi Indonesia bukanlah anak kandung bumi pertiwi. “Indonesia” adalah imposisi identitas kaum intelektual Eropa yang kebingungan harus memanggil apa bangsa di kepulauan ini. Dari “kebingungan” itulah Indonesia mungkin terjadi yang kemudian mengalir melalui gagasan modernitas kaum elit Jawa yang ingin mengecap apa rasanya menjadi orang moderen. Inilah awal paradoks nasionalisme Indonesia. Paradoks karena dia tidak pernah ada tetapi ada. Sebuah wujud tanpa bayangan masa lalu. Sebuah diskontinuitas.
Tetapi bukankah bangsa Indonesia telah ada sejak 5000 tahun yang lalu seperti Muhammad Yamin pernah bercerita? Ideologi selalu berdiri diatas mitos dan mitos seperti kita pahami tidak segaris dengan realitas. Setiap masyarakat yang memiliki identitas memiliki mitos. Karena identitas adalah mitos yang terinstitusionalisasi. Nasionalisme dimanapun selalu berpijak pada mitos. Dia dapat merujuk pada ancaman, utopia, atau superioritas ras. Adolf Hitler, Sukarno, Deng Xiao Ping, Lee Kuan Yew, Fidel Castro, hingga George W. Bush adalah aktor-aktor yang sangat lihai mengeksploitasi mitos demi tujuan-tujuan politik kebangsaan. Mitos-mitos nasionalisme dilengketkan pada seremoni kenegaraan dan diidentikkan dengan patriotisme dan heroisme.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme dengan cetakan masa lalu. Eksitensi bangsa kepulauan ini dibingkai oleh mitos tentang kerajaan-kerajaan masa silam seperti yang diajarkan oleh guru-guru sejarah di sekolah. Dalam wacana ini, “Indonesia” adalah sebuah kerumuman orang-orang yang sama tuanya dengan tanah dan air di negeri ini. Pada titik ini, diskontinuitas sejarah seakan-akan sirna oleh sebuah mitos yang dihidupkan untuk menghubungkan Indonesia moderen dengan “Indonesia” masa lalu yang jaya, gemah ripah nan sejahtera seperti dalam penggambaran Majapahit yang begitu kental dengan aroma romantisisme.
Kenyataannya, nasionalisme seperti ini membuat Indonesia masa kini terbelenggu oleh keterbatasan imajinasi ke depan. Nasionalisme bukanlah wacana yang mencari sebuah harmoni melainkan hegemoni. Karenanya tidak heran jika nasionalisme menjadi alat institusi negara yang efektif untuk memobilisasi dukungan massa sekaligus menjadi alat legitimasi untuk memberangus musuh-musuh negara yang dianggap tidak nasionalis. Dalam wacana nasionalisme ala negara, kekuasaan menjadi tujuan utama di mana gagasan-gagasan alternatif tentang makna kebangsaan dikungkung dalam ruangan sempit dan gelap. Itulah nasionalisme Indonesia hasil konstruksi sejarah Orde Baru yang hingga sekarang masih kuat mencengkeram dalam kepala-kepala kita. Sebuah nasionalisme yang berpusat pada praktek terorisme negara, begitu kata Ariel Heryanto.
Nasionalisme Orde Baru yang hegemonik tentu saja tidak muncul dari Cendana tetapi berakar pada sejarah Indonesia sebagai suatu politi moderen yang penuh kontestasi. Kontestasi antara nasionalis-sekuler vis-Ã -vis nasionalis-relijius, sosialisme vis-Ã -vis kapitalisme, elit vis-Ã -vis rakyat jelata, Jawa vis-Ã -vis non-Jawa, pribumi vis-Ã -vis non-pribumi, individualisme vis-Ã -vis kolektivisme. Konflik multi dimensi ini menghasilkan ambivalensi yang menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebenarnya belum, dan mungkin tidak akan pernah utuh sempurna.
Jika memang harus tetap ada, nasionalisme Indonesia harus didekonstruksi. Tantangan generasi saat ini adalah menciptakan nasionalisme dengan cetakan yang menghadap ke depan, tidak kebelakang. Imajinasi-imajinasi tentang masa lampau yang masih erat menempel pada materi nasionalisme Indonesia seharusnya dipasang pada tempat yang sepantasnya yang memungkinkan terjadinya interpretasi dan reinterpretasi akan makna nasionalisme, sebuah nasionalisme pasca Majapahit. Sebagai bangsa moderen, bangunan nasionalisme Indonesia seharusnya dibangun di atas tanah yang masih segar, bukan diatas kuburan masa lampau yang kering dan gelap.
Nasionalisme Indonesia masa depan melihat Indonesia bukan sebagai tanah warisan tetapi tanah harapan (the land of promise). Artinya, semua orang adalah pendatang yang terikat pada satu komitmen membangun tanah air ini tidak dengan identitas hegemonik tetapi dengan identitas multikultural. Dalam wacana demikian, tidak ada satupun yang memegang otoritas sebagai penterjemah tunggal nasionalisme. Pada saat yang bersamaan, semangat globalisasi harus diakomodasi ke dalam jiwa nasionalisme Indonesia tanpa harus terjebak ke dalam agenda-agenda globalisme. Bagaimanapun, sejarah Indonesia ke depan dibentuk arus global yang diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Dipersimpangan inilah nasionalisme Indonesia yang moderen dan beradab dapat berdiri menatap jaman.