Orang Rimba Juga Ingin “Sikola”


Bepak-bepak mika, e jagon duduk bae. Kami e urang Tebo jugo. Umah sikola kami idak ado.” Kalimat ini diteriakkan belasan anak tanpa alas kaki, dengan pakaian seadanya, di halaman DPRD Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, beberapa waktu lalu.

Mereka menuntut dibuatkan sekolah khusus, sebagai sarana dan prasarana belajar di lokasi mereka.

Kondisi ini menggambarkan bahwa anak-anak yang berasal dari Suku Anak Dalam (Orang Rimba) pun ingin pintar seperti anak-anak seusia mereka yang sibuk dengan berbagai bentuk pelajaran membaca dan menulis. Mereka juga ingin mencicipi bangku sekolah, menjadi pintar, bahkan menjadi sarjana, seperti anak-anak lainnya di wilayah tersebut.

Bayangkan, dari sekitar 3.500 Orang Rimba di Jambi, baru 10 persen di antaranya yang bisa baca dan tulis. Namun apa daya, kondisi membuat mereka tidak berdaya untuk mencapai keinginan tersebut.

Pandangan sebelah mata dan sikap ketakutan masyarakat lainnya di sekitar wilayah mereka, membuat mereka enggan ikut bersekolah di sekolah-sekolah reguler yang telah dibangun pemerintah di sekitar mereka.

Mereka juga tidak mengerti dan memiliki dana untuk membayar biaya sekolah serta membeli buku pelajaran, yang terhitung mahal untuk kantong mereka.

Menurut Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Robert Aritonang, keinginan sekolah yang cukup tinggi ini disampaikan sendiri oleh anak-anak Orang Rimba, yang sejak beberapa tahun lalu, mengikuti kegiatan belajar mengajar yang diadakan KKI Warsi di beberapa lokasi tempat tinggal Orang Rimba di wilayah Jambi.

“Mereka sama dengan anak-anak lainnya. Bisa dengan cepat menyerap pelajaran yang diberikan,” ujar Robert.

Hal yang menjadi kendala, untuk dapat mengikuti sekolah reguler yang telah dibangun pemerintah di sekitar mereka, adalah lokasi sekolah yang sangat jauh. Selain itu, ketiadaan dana untuk membayar biaya sekolah yang mahal untuk mereka.

Kondisi ini diperparah lagi dengan pandangan masyarakat pedesaan di Jambi, yang memarginalkan dan selalu memandang mereka sebagai pengganggu jika mereka berada di tengah-tengah masyarakat lainnya. Ironisnya, masyarakat selalu menuduh mereka sebagai pencuri jika ada masyarakat desa yang kehilangan ternak atau hasil kebun lainnya.

“Mereka bukan pencuri, namun hanya telah terbiasa hidup dari alam. Ketiadaan ilmu dan lahan untuk diolah membuat mereka terbiasa hidup dalam situasi tersebut,” kata Robert.

Berpindah

Seperti suku terasing nomaden lainnya di Indonesia, Orang Rimba sejak dahulu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka tidak memiliki tempat tinggal untuk menetap. Mereka terbiasa hidup dari hasil alam, tumbuhan, buah dan hewan buruan yang mereka tangkap sendiri di hutan.

Jika tidak ada lagi hasil alam yang bisa mereka petik untuk bertahan hidup, mereka akan berpindah ke lokasi lainnya, mencari tempat menetap sementara yang baru. Hal inilah yang membuat mereka ditakuti dan selalu dituduh mencuri oleh warga pedesaan.

Menurut Robert, pemerintah setempat juga harus memikirkan persoalan pendidikan bagi anak-anak rimba tersebut. Di tengah laju modernitas saat ini, dikhawatirkan mereka akan terus termarginalkan dan hidup dalan situasi yang jauh dari pendidikan. Akibatnya, suku asli Jambi tersebut semakin tergerus modernisasi.

Sekolah yang dibutuhkan oleh Orang Rimba adalah berupa sekolah reguler khusus yang diperuntukkan anak-anak warga Suku Anak Dalam tersebut. Hal ini dianjurkan oleh Robert setelah beberapa tahun melakukan pendampingan.

Menurut Robert, mereka tidak akan dapat belajar dengan tenang jika digabung dengan anak-anak masyarakat umum lainnya. Selain itu, pemerintah harus mempertimbangkan untuk memperingan atau bahkan menggratiskan biaya sekolah bagi Orang Rimba.

Meski telah ada Orang Rimba yang hidup menetap dan memiliki lahan untuk diolah dengan status kepemilikan yang bersertifikat, jumlahnya hanya sedikit. Pada umumnya, etnis ini hidup terasing di pedalaman. Jadi jelas, mereka tidak akan memiliki biaya untuk membayar biaya sekolah yang cukup mahal.

Salah seorang pemuka warga Suku Anak Dalam yang telah hidup menetap dan modern, Temenggung Tarip, mengungkapkan, untuk memberikan pendidikan bagi warga Suku Anak Dalam diperlukan guru khusus yang bisa menyatu dengan warga dan sabar.

Kalau mengharapkan anak-anak dari warga Suku Anak Dalam datang ke sekolah, mungkin satu atau dua hari bisa, tetapi lebih dari itu mungkin tidak, karena keterbatasan waktu dan jauhnya lokasi tempat tinggal mereka dari sekolah reguler yang dibangun pemerintah.

Tercatat, hingga kini, baru satu orang anak Orang Rimba yang bisa menamatkan sekolahnya hingga SMP pada 2009, yakni Besudut. Besudut adalah anak rimba dari Kelompok Tumenggung Ngukir di kawasan Bukit Duabelas Kabupaten Tebo.

Meski harus berjalan kaki sejauh 10 km (tiga jam perjalanan) dengan kendaraan roda dua, Besudut tidak pernah absen mengikuti pelajaran di sekolahnya, SMP Terbuka yang berlokasi di SMP Negeri 14 Tebo.

Besudut lulus dengan mengantongi nilai 25,15, dengan nilai bahasa Indonesia 6.80, bahasa Inggris 5,60, matematika 6,50, dan IPA 6,25.

Meraih pendidikan yang lebih tinggi adalah cita-cita anak pertama dari tiga bersaudara ini sejak lama.

Besudut mulai mengenal pendidikan sejak ia ikut sekolah alternatif yang digagas KKI Warsi di kawasan Makekal Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi pada 1999. Saat ini, Besudut telah sekolah di kelas dua SMA Negeri 14 Pintas Tebo, dibiayai KKI Warsi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *