Model Bisnis Rumla antara Buyer & Pengepul Cenderung Nggak Fair


Model Bisnis Rumla antara Buyer & Pengepul Cenderung Nggak Fair

dilaporkan: Liu Setiawan

Yamdena, 30 Januari 2024/Indonesia Media – Ahmad Musthofa, penggerak budidaya rumput laut (rumla) di kota Saumlaki, pulau Yamdena, prov. Maluku melihat beberapa model bisnis yang disodori buyer/eksportir pada transaksi cenderung unfavorable kepada pengepul dan petani. Pada tahap awal ketika transaksi, pada umumnya ada Down Payment (DP atau uang muka) yang dibayarkan buyer/eksportir. Setelah itu,ada pengiriman barang dan buyer mencicil untuk pelunasan sisanya secara bertahap selama kurun waktu tertentu. “Kami di Yamdena, tidak mungkin harus menutupi modal dulu, dan harus kirim rumla ke pabrik buyer di Situbondo (Jawa Timur). Waktu ada buyer dari Hong Kong, kami bubar (rencana transaksi). (rumla) diminta masuk dulu ke gudang atau pabriknya di Situbondo, setelah itu harus disortir lagi. Seharusnya ada DP dulu. Selain (pembagian keuntungan) nggak fair,” Musthofa mengatakan kepada Redaksi.

Buyer dari Hong Kong pernah kunjungan ke Yamdena untuk transaksi rumla. Sampai sekarang, buyer tersebut masih buka kantor di Surabaya, selain kantor pusat di Hong Kong. Mereka sempat datangi sentra-sentra produksi rumla di berbagai daerah, termasuk Nunukan (Kalimantan Utara), Luwuk (Sulawesi Tengah/Sulteng), Prov. NTT dan lain sebagainya. “Mr. Lie (buyer dari Hong Kong), saya yakin perusahaan skala besar. saya yang antar kesana-kesini, didampingi penerjemahnya. Pabrik di Situbondo, menetap di Surabaya. Dia sortir rumla di tempat, Yamdena, lalu masuk container. Tapi kami maunya ada DP dulu, berapapun (nilainya). Akhirnya kami bubar saja,” kata Musthofa.

Di tempat berbeda, ekspor carrageenan (rumla) dari desa Kyoan Luwuk Sulteng yang pernah dirintis Kim To (diaspora Indonesia di Sao Paulo, Brazil) dan alm. Hedy bubar karena lalai pembagian keuntungan. “Saya dianggap lalai, lupa (dengan hak dan kewajiban) oleh almarhum Hedy. akhirnya pecah kongsi karena anggapan pembagian keuntungan yang tidak merata,” kata Kim To yang dihubungi melalui sambungan telepon.

Rumput laut Carrageenan Manufacturer PT Brasindo Gum di Desa Kyoan Luwuk. Kondisi Perusahaan; awalnya dikelola bersama Kim To dengan mitra local, Hedy. Periode tahun 2012 – 2018, hasil kongsi dengan mitranya, Brasindo berhasil ekspor ke Brazil. Nilai kontrak rumput laut mencapai 3 juta dolar AS (per tahun 2015) yang melibatkan tiga perusahaan. Kontrak tersebut terdiri dari 1,8 juta dolar AS untuk PT Brasindo Gum dengan Indobras Representacao Comercial. Serta senilai 1,2 juta dolar AS antara PT Gumindo Perkasa Industri dan Indobras Representacao Comercial. “sekarang, saya hanya buka usaha photocopy saja disini (Sao Paulo). Saya masih rutin pulang kampung karena dulu saya sempat tinggal di bilangan Palmerah (Jakarta Barat). Saya buka usaha disini(Sao Paulo) sejak 35 tahun yang lalu,” kata Kim To dengan nada pasrah.

Di sisi lain, Musthofa melihat beberapa perusahaan besar seperti PT Sutraco Nusantara Megah, Kapal Api group juga merambah bisnis pengolahan, ekspor rumla. PT Sutraco Nusantara Megah bergerak di bidang rumput laut dan rempah-rempah, lima orang pemiliknya, dan anak-anak muda duduk sebagai pengurus Direksi. “PT. Sutraco terakhir bikin (bisnis) yang mengolah porang di Madiun. Sutraco, dia punya gudang di Gresik dan Makasar untuk pool dari Kaltara dan Palopo (Sulawesi Selatan),” kata Musthofa. (LS/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *