“Meritokrasi”


Penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) terkait tindak pidana kasus korupsi berkembang menjadi isu-isu politis. Awalnya kasus Akil

Mochtar ini menyeret kasus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Lebak, Banten, karena timbulnya

kecurigaan bahwa ada permainan di belakang putusan sengketa tersebut. Kemudian kasus sengketa Lebak

ini menyeret seseorang bernama Tubagus Chaeri Wardhana (Wawan) yang menjadi tersangka karena

terlibat serah terima uang suap pada Akil Mochtar.

Wawan ternyata adalah suami dari Airin Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan, dan adik dari Ratu

Atut Chosiyah, Gubernur Banten. Melihat adanya hubungan keluarga antara para pejabat pemerintah

tersebut akhirnya terkuaklah “rahasia umum” mengenai keberadaan dinasti politik di Banten. Diberitakan

ada delapan orang anggota keluarga besar Atut Chosiyah yang menjadi pejabat pemerintah, anggota DPR,

DPD dan DPRD.

Melihat kadernya menjadi bulan-bulanan sorotan negatif masyarakat, Partai Golkar menyatakan bahwa

dinasti politik di Indonesia bukan hanya ada di Banten dan di dalam partai tersebut. Salah seorang

kader Golkar, Bambang Soesatyo, bahkan menyatakan bahwa dinasti politik Atut masih lebih baik

daripada dinasti politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden Indonesia saat ini. Menurutnya,

dinasti politik Atut terjadi lewat proses pemilihan umum, sementara dinasti politik SBY terjadi atas

dasar penunjukan langsung oleh SBY berdasarkan kekuasaannya sebagai presiden dan ketua umum

Partai Demokrat. Bambang mencatat ada 15 nama calon anggota legislatif (DPR) yang masih memiliki

hubungan kekerabatan dengan Keluarga Cikeas (SBY dan istrinya, Ibu Ani Yudhoyono).

Ribut-ribut masalah dinasti politik ini memunculkan pertanyaan: “Apa yang salah dengan dinasti politik?”

Berbicara mengenai hal ini saya menjadi teringat pada Keluarga Kennedy di dalam sejarah politik

Amerika Serikat. Kennedy adalah nama yang paling mudah kita ingat dalam hubungannya dengan dinasti

politik karena keluarga ini memiliki nama-nama seperti John F. Kennedy (Presiden AS ke-35), Robert

F. Kennedy (Jaksa Agung AS dan calon Presiden AS) dan Edward “Teddy” Kennedy (Senator AS dari

Massachusetts selama 47 tahun).

Masih ada beberapa nama anggota dan kerabat Keluarga Kennedy lainnya yang kini mudah kita temukan

lewat Wikipedia. Ada yang jadi US Representatives, ada pula yang jadi Duta Besar (Ambassadors).

Melihat nama-nama mereka dan kemudian membandingkannya dengan dinasti politik di Indonesia

membuat kita mampu menemukan perbedaan mendasar diantara keduanya. Sementara dinasti politik di

Indonesia mayoritas terbentuk berdasarkan nepotisme, dinasti politik Kennedy terbentuk berdasarkan

prestasi individu masing-masing.

Tidak dapat dibantah bahwa, misalnya, keberhasilan John F. Kennedy untuk memenangi kursi US

Representative dan jabatan Senator tidak terlepas dari campur-tangan ayahnya. Tidak dapat dibantah

bahwa kedua posisi tersebut membawa JFK ke pentas politik nasional yang menyiapkannya maju menjadi

calon presiden AS dari Partai Demokrat. Tapi tidak ada yang bisa membantah bahwa keberhasilannya

memenangi kampanye melawan Richard Nixon adalah kemampuannya sendiri untuk mengeksploitasi

keunggulannya dalam debat antar-calon presiden AS yang disiarkan oleh televisi untuk pertama kalinya

dalam sejarah AS.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, saya pribadi tidak memiliki masalah dengan keberadaan dinasti politik

di Indonesia. Yang menjadi masalah adalah apabila proses terbentuknya dinasti politik tersebut akibat dari

KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), penyakit-penyakit akut yang menggerogoti kehidupan berbangsa dan

[Type text]

bernegara yang baik di tanah air. Seharusnya dinasti politik di Indonesia terbentuk berdasarkan “merit” –

berdasarkan prestasi individu yang bisa secara objektif dinilai lebih baik dibandingkan lawan politiknya.

Jadi, seharusnya dinasti politik di Indonesia bukan melalui jalur demokrasi (yang seringkali ternoda

karena adanya politik uang dengan membeli suara massa), namun melalui jalur meritokrasi.

Salah satu anggota keluarga besar Kennedy yang terjun ke dunia politik adalah Joseph P. Kennedy III,

cucu dari Robert F. Kennedy, yang tahun ini berusia 33 tahun. Ia dikenal orang sebagai lulusan Stanford

dan Harvard Law School, dan saat ini menduduki jabatan di US Congress sebagai US Representative dari

4th

District Massachusetts. Sebagai US Representative, ia duduk dalam komite Hubungan Luar Negeri

dan komite Science, Space and Technology. Ia pernah aktif dalam Peace Corps.

Wawan, salah satu anggota keluarga besar Atut Chosiyah, adalah suami dari Airin Rachmi Diany,

walikota Tangerang Selatan. Ia adalah kolektor mobil-mobil mewah, diantaranya Ferrari F430 (USD

200,000), Ferrari FF (USD 300,000), Lamborghini Aventador (USD 450,000), Nissan GT-R (USD

175,000) dan Bentley Continental (USD 280,000). Ia tinggal di negara dimana para buruhnya sedang

berjuang memperoleh upah minimum Rp. 3.000.000 per bulan (USD 300).

Saya tidak mengatakan bahwa kekayaan Wawan itu semua merupakan hasil dari KKN. Tapi dengan

fakta tersebut di atas dan kenyataan yang ada di tanah air sekarang, saya tidak mau keluarga Wawan

dan keluarga-keluarga sejenis lainnya menjadi dinasti politik yang mengatur kehidupan masyarakat

Indonesia. Karena rakyat sedang membutuhkan kehidupan yang layak, bukan dinasti politik yang tidak

peka terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. (RO – Twitter: @iamwongkampung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *