Menyusup Ring Satu Bagian ke-11


Sub Judul: Jalan Baru yang Kandas

SUATU malam, pertengahan 1950. Embun menyergap tubuh Soemarsono ketika ia bergegas keluar dari
sebuah rumah di Sentiong, Gang Tengah, Matraman, Jakarta. Bekas Gubernur Militer Pemerintah Front
Nasional Daerah Madiun itu rupanya diusir Alimin, Koordinator Departemen Agitasi Propaganda
Politbiro Central Comite Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Pertemuan di rumah anak Alimin itu
ditandai dengan perdebatan keras. “Alimin tak suka kesetiaan saya pada Djalan Baru kawan Musso,”
kisah Soemarsono kepada Tempo, awal September lalu.

Soemarsono, yang ketika itu berusia 28 tahun, datang sembunyi-sembunyi. Tentara sedang mencarinya
karena dia pelaku peristiwa yang disebut-sebut sebagai pemberontakan PKI Madiun 18 September
1948. “Alimin menguji, strategi apa yang akan saya pakai jika saya menjadi pimpinan PKI,” kata
Soemarsono.
Alimin ternyata tak sepaham dengan Musso. Untuk membuktikan Musso keliru, Alimin menceritakan
sebuah mimpinya. Suatu malam Jumat Kliwon, dia berjalan kaki menerabas hutan dari Solo ke Semarang.
Di tengah hutan, karena sangat lelah, Pono, salah satu tokoh PKI pada masa itu, menggendong dia.
Langkah mereka terhenti ketika terdengar bunyi menggelegar dari dalam tanah yang merekah. Lalu suara
Musso keras terdengar, “Min, aku salah.” Alimin menafsirkan mimpinya sebagai penyesalan Musso
karena gagal memimpin PKI.

Soemarsono tertawa mendengar tamsil itu. Alimin marah dan mengusir tamunya. Soemarsono punya
alasan membantah Alimin. “Orang komunis kok percaya yang gaib. Dulu dia juga mau ditonjok Musso
karena kurang radikal, suka main perempuan.” Kejadian malam hari di Sentiong itu merupakan potret
krisis kepemimpinan di tubuh PKI setelah Peristiwa Madiun. Pemimpin partai dan ribuan kader dibunuh
tentara Republik dan rakyat antikomunis. Penjara dipenuhi pengikut paham komunis. Mereka yang lolos
tiarap, seraya mencari hidup dengan menyamar.

Padahal tujuh belas hari sebelum aksi Madiun, PKI masih kelihatan utuh. Politbiro CC PKI baru
terbentuk. Sekretariat umum dijabat Musso, Maroeto Daroesman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman.
Departemen Buruh dikendalikan Harjono, Setiadjid, Djoko Sudjono, Abdul Madjib, dan Achmad Sumadi.
Urusan tani dipegang A. Tjokronegoro, D.N. Aidit, dan Sutrisno. Kepemudaan diurusi Wikana dan
Soeripno. Amir Sjarifoeddin memimpin Departemen Pertahanan. Agitasi dan Propaganda diurus Alimin,
Lukman, dan Sardjono. Departemen Organisasi dipegang Sudisman. Departemen Luar Negeri
dikendalikan Soeripno. Perwakilan sekretariat dijabat Njoto dan bendahara diserahkan kepada Ruskak.
Djalan Baru yang ditulis Musso di Yogyakarta pada Agustus 1948 menjadi pedoman partai. Tapi semua
berantakan begitu cepat setelah Peristiwa Madiun. Alimin, Tan Ling Djie, Wikana, Sudisman, Aidit,
Njoto, dan Lukman hanya sebagian kecil dari pentolan partai yang selamat.

PKI mendapat “napas baru” pada pertengahan 1949. Debat panjang dalam sidang Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) akhirnya memutuskan memberikan hak hidup kepada PKI. Partai palu-arit itu
diminta turut mempertahankan Republik yang hendak diacak-acak Belanda lagi. Argumen yang
berkembang di KNIP: di negara-negara Barat partai komunis dibiarkan hidup, maka di Indonesia juga tak
boleh dibinasakan. “Spiritnya berjuang bersama-sama,” kata Rosihan Anwar, wartawan koran Siasat,

yang meliput sidang-sidang KNIP. Surat keputusan pemberian maaf kepada PKI ditandatangani Menteri
Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo, 7 September 1949. Isinya: pemerintah tidak akan menuntut PKI, tapi
mereka tak boleh terlibat tindakan kriminal. Secarik kertas itu menjadi “tiket” bagi para kamerad partai
komunis untuk keluar dari gua-gua persembunyian.

PKI pun menobatkan Alimin sebagai pemimpin sementara. Pemimpin baru ini punya konsep perjuangan
yang berbeda dengan Musso. Alimin berpikiran PKI hanya perlu hidup sebagai partai kecil tapi dengan
anggota yang militan dan menyebar ke semua organisasi massa. Kemudian semua anggota dan organisasi
massa itu diikat dalam sebuah front untuk meneruskan revolusi. Konsep Alimin ini bertolak belakang
dengan Djalan Baru Musso yang radikal dan terbuka. Kaum muda, seperti Aidit, Lukman, dan Njoto,
cenderung mengikuti “kawan” Musso.

Pengikut garis Musso ini kemudian mendirikan open office di Jakarta bersama Sudisman. Sisa Politbiro
CC PKI lama, seperti Wikana dan Tan Ling Djie, tak dilibatkan. Hanya Alimin yang dijadikan formatur.
Soemarsono juga ditinggalkan karena dinilai terlalu yakin pada perjuangan bersenjata. “Tak ada yang
berani melawan Aidit. Semua yes man saja. Saya lebih senior tapi sulit berdebat dengan Aidit. Saya lebih
suka mengalah,” ujar Soemarsono mengenang suasana ketika itu. Kongres PKI pada 1951 menunjuk
Aidit-Lukman-Njoto menjadi ketua satu, dua, dan tiga Politbiro CC PKI. Kaum tua diberi jabatan tak
penting. Belakangan, Alimin mundur dan digantikan Sakirman. Sejak kongres inilah perjuangan lewat
parlemen dan akselerasi merebut hati rakyat digulirkan PKI.

Ketika Presiden Sukarno melantik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Serikat, 15 Februari 1950, PKI mendapatkan jatah kursi. Saat itu PKI membuka dialog dengan unsur
agama dan nasionalis, seperti Partai Sarekat Islam Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Nasional
Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Murba. Pada 15 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik
Indonesia terbentuk. Eksistensi PKI semakin kuat, kedudukannya di parlemen kian kukuh. Larissa M.
Efimova, dalam bukunya, Dari Moskow ke Madiun, mencatat pada waktu itu Uni Soviet tidak mengirim
ucapan selamat atas terbentuknya NKRI. Pertukaran nota dan telegram soal hubungan Soviet-Indonesia
juga tak ada. Tapi PKI tak ambil pusing.

Sikap kritis kepada pemerintah terus dikembangkan. Dalam sidang parlemen pada Oktober 1951, PKI
menolak Konferensi Meja Bundar. PKI ikut serta mendukung mosi Hadikusumo yang mengkritik
lemahnya pemerintah. Gara-gara mosi itu, Perdana Menteri Natsir akhirnya mundur. Penandatanganan
mutual security act pemerintah Indonesia-Amerika juga tak luput dari serangan PKI. Partai palu-arit
beranggapan pakta itu akan menjadi legitimasi untuk menguras sumber daya alam Indonesia.

Dalam kongres pada 1954 di Malang-ketika, konon, disediakan kursi kosong untuk Stalin, pemimpin
komunis Soviet-PKI mengamanatkan partai untuk menguasai desa, kota, dan tentara. Petani dan buruh
diperintahkan menjadi perwakilan untuk meluaskan pengaruh di desa dan kota. Semua organisasi
onderbouw PKI didorong menjadi alat propaganda partai. Hasilnya tak sia-sia. PKI menjadi pemenang
keempat Pemilihan Umum 1955 dengan meraup 16,4 persen-di bawah PNI yang meraih 22,3 persen,
Masyumi dengan 20,9 persen, dan Nahdlatul Ulama yang merebut 18,4 persen. Resep keberhasilan PKI,
menurut Harry Albert Poeze, Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia

Tenggara, adalah kepemimpinan Aidit-Lukman-Njoto yang berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dari
trauma terhadap PKI.

Dalam bukunya, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie,
1945-1949, Poeze melukiskan peran trio itu sebagai pembersih noda Peristiwa Madiun. “Pembersihan”
itu, misalnya, dilakukan lewat koran Bintang Merah yang menulis peringatan dua tahun peristiwa
Madiun. “Media yang diasuh trio Aidit-Lukman-Njoto itu menyebut Musso tidak memberontak
atau bercita-cita mendirikan negara Soviet,” kata Poeze. Tahun berikutnya, Bintang Merah memuat
artikel “Tiga Tahun Provokasi Madiun”, yang ditulis Mirajadi-nama samaran Sudisman. Departemen
Agitasi Propaganda PKI tak ketinggalan dalam proyek ini dengan menerbitkan buku putih Peristiwa
Madiun pada 1953. Kata pengantarnya ditulis Aidit. Dalam resolusinya, Aidit menuding Sukarno-Hatta-
Natsir provokatif dan kejam menyikapi Peristiwa Madiun. Gara-gara resolusi itu, Aidit diajukan ke meja
hijau 14 Oktober 1954, dengan tuduhan menghina Wakil Presiden Hatta.

Di persidangan Aidit membuat gempar dengan menyebut Musso komunis patriotis. Ruang sidang geger.
Hakim sampai memukul-mukulkan palu untuk minta pengunjung kembali tenang. Dukungan untuk
membebaskan Aidit mengalir deras. “Empat ribu surat dan telegram yang diorganisir PKI dikirim ke
pengadilan,” ujar Poeze. Tapi hakim tetap memvonis Aidit tiga bulan penjara bersyarat dengan enam
bulan masa percobaan. Menjelang Pemilu 1955, pidato pembelaan Aidit diterbitkan kembali, tapi
dirampas penegak hukum. Pemerintah melarang peringatan Peristiwa Madiun. Dalam naskah pidatonya
di sidang DPR pada 11 Februari 1957, Aidit kembali membela Musso. Alhasil, “PKI tak kenal lelah untuk
membantah tuduhan coup d’etat Madiun,” kata Harry Poeze. “Tapi saya percaya rencana itu ada.”

Djalan Baru Musso kandas di Madiun. Dan kita tak pernah menyaksikan apa yang ditulis sebagai kalimat
terakhir Djalan Baru menjadi kenyataan: “Kaum Bolsjewik Indonesia akan dapat merebut benteng yang
terancam bahaya, yaitu benteng Indonesia Merdeka”. Toh, konsep itu-seperti juga “induk”-nya, yakni
komunisme-niscaya tak pernah mati.(Bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *