Menyusup Ring Satu – Bagian ke-9


Sub Judul: Lunglai di Rawa Klambu

RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari
di rawa dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang disentri. Bersama
rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal
angker. Mereka dikepung tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan
berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.

Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana
menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa
cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir
pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun. Amir menyerah bersama tokoh PKI
Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya,
Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. “Dalam pernyataan pertamanya,
Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang,” kata Harry A.
Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?.

Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat
Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan
Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak.
Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua
mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak
percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis
Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka seperti
orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. “Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit
sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan,” kata Suratman.

Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan
Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam
pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan
mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI
yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan
setelah Madiun direbut tentara. Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan
diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda
Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak.

Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil,
amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja
yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus,
Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah
kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po
menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain
menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh.

Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara.

Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang
belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal
ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: “Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah
diterangkan.” Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan
sekitar Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir
meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu
dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro.

Atas saran Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di
depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI
bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak
terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama
sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah
berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di
Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk.

Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota
keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah
Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik. Dua
bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan
Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang
karena serangan tentara Indonesia.

Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri,
termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono
selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian
Renville.
Kabar kedatangan mereka ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke
Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan,
Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai
mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya
mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun.

Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang
menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan
disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-
ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman
Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit
menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut
sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda.

Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah

timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono,
Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah
PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang
sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot
Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno
sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan
Internasionale. “Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia!
Aku mati untukmu!” Amir ditembak lebih dulu.

Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan
pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan Anwar
mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di
Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin
Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke
Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda.

Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko
Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18
November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November
disaksikan sepuluh ribu pengunjung. Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk
setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun
yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun
menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas. (bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *