Sebanyak 19 orang mahasiswa ditangkap ketika aksi menentang otonomi khusus (otsus) plus di Universtas Cendrawasih, Jumat (8/11) kemarin. Sampai hari ini Sabtu (9/11), 19 mahasiswa tersebut ditahan dan diperiksa di Reskrim Polresta Jayapura.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat Papua menolak Otonomi Khusus plus karena selama ini pemerintah tidak mempertanggungjawabkan kegagalan pelaksanaan otonomi khusus. “Kepemimpinan Lukas Enembe justru tidak menjalankan rekomendasi dari tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama,” jerlasnya.
Padahal menurutnya rakyat Papua menginginkan adanya dialog antara Jakarta dan Papua agar kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kesepakatan bersama. “Rencana isi dialog sudah diusulkan oleh Jaringan Damai Papua yang dipimpin oleh Pastor Neles Tebay, tapi pemerintah tidak punya minat untuk dialog,” ujarnya.
Ia melaporkan 19 orang mahasiswa yang ditangkap oleh Dalmas Polresta Jayapura diantaranya adalah Agus Kadepa (23), Sabda Nawarsa (21), Usman Pahabol (21), Nelius Wenda (23), Leo Himan (24), Wepi Wakla (21), John Douw (21), Manuel Wenda (23), Frans Takimai (22), Sodorus Tebai (21), Daud Giay (18), Benny Hisage (22), Alvares Kapisa, (16).
Sementara itu Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigay kepada SH menjelaskan bahwa penolkan terhadap otonomi khusus plus, konsep tersebut merupakan jiplakan dari Aceh.
“Didalam dokumen otonomi khusus plus masih tertulis kata-kata ‘Aceh’, ‘ berkomunikasi berdasarkan Islam’. Lah ini kan gak bener,” tegasnya di Jakartam Sabtu (9/11).
Menurutnya seharusnya konsep otonomi khusus yang sudah dilaksanakan memang perlu ada evaluasi agar ada perbaikan. “Tapi smeuanya itu dihasilkan dari dialog dong. Masak dipaksakan harus diterima tanpa dialog,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa saat ini dunia internasional menunggu adanya dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Jakarta. “Yang aneh justru rektor menentang tuntutan mahasiswa itu. Gubernur juga menentang. Padahal ini semua untuk kepentingan semua pihak,”ujarnya