“][JAYAPURA] Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antara warga sipil, konflik vertikal yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua, telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan merdeka dan referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora dan berlangsungnya penge mbalian Undang-Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“Melihat permasalahan ini kami akan melakukan Konferensi Perdamaian Tanah Papua 20011 dan akan mencari solusi pa yang harus sama-sama kita lakukan untuk Tanah Papua, “kata Penanggungjawab kegiatan Pastor DR Neles Tebay didamping Ketua Konferensi Septer Manufandu kepada wartawan di Sekeratariat LSM Foker (Forum Kerjasama) Papua, Waena, Rabu (29/6) siang.
” Konferensi ingin melihat konflik yang belum diselesaikan sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk lainnya antara orang asli Papua dan Pemerintah Republik Indonesia. Disatu pihak orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain orang Papua tidak mempercai pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain, dialog konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua,”ujarnya.
Lanjutnya, apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak dicairkan solusinya, maka Papua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. “Ditengah situasi konflik inilah para pemimpin agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian, “ujarnya.
Lanjut dia kampanye ini dilakukan dengan motto ‘Papua Tanah Damai’.Dan dalam perkembangannnya para pemimpin agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu diperjungkan secara bersama oleg setuap orang yang hidup di Papua. Diakuinya oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalan dari setiap orang, ermasuk orang yang hidup di Tanha Papua. Kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penring untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaiann di Tanah Papua. “Orang asli Pappua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung belum terlibaat secara penuh dalam kampanye perdamaian,”ujarnya.
Kata dia tujuan kegiatan ini adalah melibatkan rakyat Papua berpartisipasi secara katif dalam memperjuangkan terwujudnya perdaaian di Tanah Papua melalui dialog dan kerjasama dengans emua pihak yang berkehendak baik. Meningkatkan kesadaran bahwa terwujudnya Papua Tanah Damai menuntut keterlibatan dari semua pemengku kepentingan di Tanah Papua.
Sementara itu Ketua Panitia Septer Manufandu mengatakan dari hasil-hasil yang diharapkan dalam konferensi ini adalah orang Papua mampu mengidentifikasi berbagai masalah yang mesti dicairkaan solusianya secara bersama oleh Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua demi terwujudnya perdamaian di Tanah Papua.
“Orang asli Papua  mampu merumuskan konsep dan indikator dari Papua Tanah Damai. Lalu orang asli Papua menyadari bahwa dialog merupakan sarana yang bermartabat untuk mencari penyelesaian yang adil atas berbagai masalah, “kata Septer yang juga Direktur Foker LSM se-Papua.
Kemudian, orang asli Papua menyadari pentingnya keterlibatannya dalam dialog dan kerja untuk memperjuangkan terwujudnya perdamaian di Tanah Papua.
Diungkapkan, bentuk kegiatan yaitu ceramah, seminar, diskusi kelompok, pleno ini dilakasanakan dari tanggal 5 hingga 7 Juli di Audioterium Universitas Cenderawasih Abepura. Serta melibatkan 350 orang peserta dari seluruh Tanah Papua dan Papua Barat, juga 300 pengamat baik yang ada di Papua maupun luar Papua.
Kata dia, tema yang diambil adalah ‘Mari Kitong (kita) Bikin Papua Jadi Tanah Damai’ dan sub tema ‘ Rakyat Papua Bertekad Memperbaharui Tanah Leluhurnya dari Tanah Konflik Menjadi Negeri Yang Damai melalui Dialog dan Kerja’.