MENGUNJUNGI AIR TERJUN BANTIMURUNG


Walaupun lahir di Makassar dan tinggal disana sampai saya berumur 11 tahun (sebelum saya pindah
ke Irian ) namun saya belum pernah mengunjungi tempat ini. Kalaupun kita libur kebanyakan
perginya ke Malino ( kayak puncak di Jakarta ) atau ke pulau kahyangan, tapi tidak pernah ke air terjun
Bantimurung ini. Karena itu saya tidak menolak ketika diajak Bhante Dipa dan family-family lainnya
kesana.

Walaupun jarak Bantimurung ini hanya 45 menit dari kota Makassar, tapi karena macet kita butuh 2 jam
sebelum sampai disana. “Apa orang-orang ini juga pada mau kesana ? “ pikir saya dalam hati. Ternyata
memang iya. Rupanya kalau weekend tempat ini akan penuh dengan manusia. Mulai dari parkir, sampai
antri untuk beli tiket, bahkan sampai masuk kesana semuanya penuh dengan orang. Melihat begitu saya
maunya pulang saja, terus terang saya tidak merasa begitu aman.

Dan benar juga tidak berapa lama kemudian datang segerombolan anak muda dengan garang melirik
pada kelompok kita dan saling bisik bisik dengan suara keras “Cina..cina… “ Tadinya sich saya mau
cuekin aja, pura-pura tidak dengar. Tapi rupanya Dindi ( adik perempuan oma saya ) yang terkenal
berani tidak bisa terima. Dia datangi anak-anak muda itu dan dengan suara keras berkata pada mereka “
Jadi kalau Cina ..kalian mau apa..” My goodness pikir gua, kalo mereka keluarkan badiknya, bisa barabe
nech.. Karena kelompok kita semuanya wanita dan anak-anak. Cuma 4 orang laki-laki termasuk saya
dan bhante Dipa, yang walaupun Biksu tapi tidak bisa berkungfu kayak biksu Shaolin. Rupanya anak-anak
muda ini kaget mendapat tanggapan yang tidak mereka sangka-sangka, apalagi dari oma-oma, tanpa
berkata apa-apa satu persatu berjalan pergi meninggalkan kita. “Puih..leganya, “

Sebenarnya tempat ini lumayan indah, banyak pohon dan kupu-kupu. Namun sayangnya terlalu banyak
orang dan bukan itu saja mereka membuang sampah seenaknya, sehingga terlihat plastik dan botol
kosong berserakan dimana-mana. Dikejauhan saya melihat air terjun dengan airnya yang kecoklatan.
Walaupun demikian kelihatannya orang-orang enjoy juga tuh Bergantian mereka membawa ban
besar dan meluncur turun mengikuti arus kearah sungai. Yang juga dipenuhi dengan orang-orang
yang berenang atau hanya sekedar berendam.. Air sungai ini walau hanya setinggi pinggang dan
kelihatannya tidak berbahaya, tapi selalu memakan korban. Konon setiap tahun ada saja orang yang
mati terbawa arus dan mayatnya ditemukan beberapa ratus meter dari tempat tsb.

Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh disekitar air terjun tsb. Kadang-kadang terdengar suara
monyet yang saling bersahut-sahutan. Saya menengadah mencoba mencari jejak dari monyet putih,
yang kata nenek saya adalah jelmaan orang-orang yang mati di Bantimurung. Tiba-tiba serombongan
kupu-kupu terbang dengan indahnya. Kupu-kupu ini banyak ditangkapi oleh orang lokal , dikeringkan
dan dijual sebagai cenderamata. Baik berupa pajangan seperti 15 ekor kupu-kupu yang ditaruh dalam
bingkai kaca, ataupun dalam rupa gantungan kunci.

“ Ce..kita ke gua yok “ Ajak bhante Dipa.Saya mengangguk dan mendahului dia menaiki tangga-
tangga yang lumayan tinggi dan dilanjutkan dengan jalan setapak menuju gua. Orang-orang yang
kita jumpai di perjalanan ke gua ini rata-rata lumayan baik. Ada yang menyapa hallo atau hanya

senyum tapi ada juga yang menatap kita kayak melihat alien . Mungkin pikirnya “Mahluk darimana
nech ..berkepala gundul dan berjubah orange.. “ Tapi bhante Dipa cuek-cuek aja mungkin dia sudah
terbiasa. “Dipa..noleh kesini..pura-puranya kamu lagi mau bertapa diatas gunung.., yup satu dua tiga
klik . Terus duduk diatas batu itu kayak semedi….dengan tangan terkatub” Seperti biasa bhante Dipa
senyum-senyum aja mengikuti perintah saya.

Di pintu gua sudah menunggu orang-orang yang akan menyewakan senter. “ Cuma Rp 10.000 pak, kalau
mau dipandu Rp 20.000 “ kata mereka. Kita putuskan untuk jalan-jalan sendiri saja dan hanya menyewa
1 senter jadi bisa lebih bebas. . Seperti gua pada umumnya , tempat ini agak lembab, becek dan dingin.
Didalamnya ada bemacam-macam stalaktit dan batu-batu yang kalau diperhatikan dengan seksama
akan mirip seperti orang sholat, kelinci, dll. My honest opinion? Okelah…lumayan..tentunya jauh kalah
dengan gua yang saya lihat di Tiongkok, yang dipenuhi dengan lampu sorot bermacam warna, sehingga
terlihat seperti gua berlian.

Kembali dari gua saya mendapati bahwa rombongan kita telah mendapatkan tempat yang lumayan
strategis di pinggir kali. Mereka semuanya duduk disebuah tikar besar sewaan sambil makan
siang. “Bhante. Silahkan .ini makananan cap caynya.(vegetarian ).” sahut mom kepada Dipa dengan
hormat. Saya juga ikut-ikutan merubah sikap ,sekarang tidak boleh memanggil nama lagi tapi harus
pakai embelan bhante untuk menjaga martabatnya di depan banyak orang. Tapi yang paling utama
supaya jangan dipelotin oleh mom.

“Ayo dindi berpantun ki “ Sahut salah seorang ai ( tante ) saya yang meminta Dindi untuk berpantun.
Oma Dindi pelan-pelan bangkit berdiri , dia menunjuk pada gelombang air yang mengalir tidak henti-
hentinya, kemudian berkata.

“Lampai kucini bella…bombang sitempa-tempa..nak kuisseng memang bombang niak pakrisikna “ (
Sejauh mata memandang .. terlihat ombak bertalu talu..taukah kamu bahwa ombakpun mempunyai
kepedihan tersendiri ). Kita semua ketawa dan bertepuk tangan. Rupanya ini adalah pantun
nolstalgia ,yang dia buat ketika cowok yang ditaksirnya kawin dengan wanita lain, gara-gara jual mahal..

Saya juga tidak mau ketinggalan , ikut bangkit berdiri dan membalas “ Punna nia tau tea pattongkona
jintu tea..pattaratana samatantang ji erokna “ ( maksud gua ..masalah nya dia terlalu jual mahal pura-
pura tidak mau walau sebenarnya mau akibatnya begitu). Sekali lagi semuanya pada ketawa. Melihat
begitu beberapa orang mulai tertarik dan mendekat untuk ikut mendengarkan.

Saya makin bersemangat, sambil menunjuk pada seorang pengemis tua yang duduk sendiri saya
sambung,

“Kodina… padek tunaiya..nikanaiya tau kasiasi ..kammana bija taumaraengmi rikatte..Susaminaserokana
bellami namangurangi..antemikamma kanalimpomi ritekne”( Beginilah nasib orang yang tak punya
yang hidup dari belas kasihan orang-orang, keluargapun akan seperti orang lain, jangankan diingat
disapapun tidak..tentu saja karena dia hidup berkelimpahan. )

Pantun-pantun kuno dengan menggunakan bahasa Makassar tingkat tinggi ini terus terang bukan

karangan saya tapi yang saya hafalkan pada waktu saya masih di SMP. Seperti biasa keluarga nenek saya
suka berpantun apalagi setelah minum ballo ( tuak ). Tertarik dengan keindahan syair dan maknanya
yang sarat dengan kata-kata bijak, pantun tersebut saya rekam dan saya hafalkan sekalian dengan
maknanya. Setidaknya ada satu orang yang cukup care supaya pantun Makassar kuno jangan hilang
tertelan jaman.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *