Mengukur Pluralitas Wartawan


PARAMETER apakah yang pas untuk dipakai mengukur kita adalah bangsa yang plural atau tidak? Apakah plural atau tidaknya bangsa Indonesia  cukup diukur dari faktor pandangan terhadap perbedaan agama? Benarkah mayoritas wartawan di Indonesia tidak berpandangan plural dari sisi agama?

Pertanyaan itu menggelayut di benak saya ketika membaca berita mengenai hasil survei yang dibuat oleh The International Journal of Press dan Yayasan Pantau, di mana salah satu hasil survei itu menyebutkan 64,3 persen wartawan yang menjadi responden mendukung pelarangan Ahmadiyah.

Dari hasil survei itu disimpulkan bahwa wartawan Indonesia relatif tidak mendukung pluralisme, melainkan mendukung pengharaman pluralisme, liberalisme, dan sekularisme seperti difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Survei bertajuk “Misi Jurnalisme Indonesia: Demokrasi yang Seimbang, Pembangunan, dan Nilai-Nilai Islam” tersebut diluncurkan hasilnya pada 23 Agustus 2011 lalu di Jakarta, mengambil responden cukup banyak, yakni 600 wartawan berbagai media (cetak, elektronik, dan online), yang tersebar di 16 provinsi.

Persentase para responden adalah 85 persen beragama Islam, 7 persen Kristen Protestan, 4 persen Katolik, 3 persen Hindu, dan Buddha 0,8 persen. Sebanyak 0,2 persen wartawan masuk dalam kategori lain-lain.

Karena saya tidak membaca hasil penelitian itu secara utuh maka saya tak ingin berkomentar banyak. Meski ada sejumlah hal yang menggelitik terkait metode penelitian itu.

Misalnya, dalam penelitian ilmu sosial variabel agama selalu diukur dalam skala nominal, yakni skala pengukuran yang hanya memperlihatkan perbedaan dan tidak mengukur jarak atau pun skor, sehingga menggabungkan pandangan wartawan yang beragama Islam (85 persen) dengan yang lain-lainnya (total 15 persen) terhadap kasus Ahmadiyah, hasilnya mungkin saja menjadi bias.

Dengan begitu saya akan berhati-hati untuk mengatakan para wartawan Indonesia cenderung antipluralisme, karena setiap orang punya kecenderungan dan preferensi agama masing-masing.

Juga sangatlah tidak mungkin untuk berharap para wartawan di Indonesia menanggalkan atribut-atribut keagamaan mereka sama sekali kalau harus meliput peristiwa bernuansa agama.

Bisa Bubar

Kalau kita cenderung mengatakan mayoritas wartawan di Indonesia antipluralisme maka negeri ini sudah lama bubar.

Haruslah diakui, walau pemahaman pluralisme di Indonesia jauh dari sempurna, dan persekusi (penganiayaan) terhadap para pemeluk agama-agama tertentu terus terjadi di depan mata aparat pemerintah, situasi di Indonesia hari ini masih tetap lebih baik bila dibandingkan dengan yang terjadi di Pakistan, misalnya.

Tugas kita untuk memastikan bahwa kerukunan antarumat beragama di Indonesia bisa semakin baik.

Saya menilai pada umumnya media di Indonesia cukup berimbang (fair dan moderat) ketika meliput konflik-konflik bernuansa agama. Apalagi pluralisme di Indonesia juga bukan semata urusan agama, ada perbedaan ras/etnisitas, suku, bahasa, dan lain-lain, jadi faktor-faktor ini pun haruslah diperhatikan.

Untuk soal agama ini, saya selalu mengacu pada riset global yang pernah dibuat oleh Pew Research pada 2002 bahwa tingkat religiusitas di sejumlah benua (Amerika, Afrika, dan Asia) meningkat signifikan.

Agama menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan, hanya di Eropa yang merosot. Namun, meski  penduduk Eropa sekuler, kini faktor agama juga mendominasi kehidupan politik di sana.

Lihat saja apa yang terjadi di Norwegia beberapa waktu lalu. Saya menduga kalau kepada wartawan-wartawan di Eropa ditanyakan pandangan mereka tentang Islam, jawaban mereka bisa juga menjadi “antipluralisme”.

Maka, akan sangat menarik kalau penelitian-penelitian mengenai persepsi terhadap isu agama dengan responden para wartawan itu dibalik, misalnya, dengan pertanyaan yang menggali pandangan para wartawan mengenai  kerja sama apa yang bisa dilakukan antarumat beragama demi membangun kerukunan dan pluralisme? Saya yakin hasilnya akan berbeda pula.

Di berbagai newsroom di seluruh dunia, isu agama bukanlah hal yang seksi untuk diliput, namun para pengelola media umum sadar hari-hari ini isu agama berpotensi menebar konflik kalau tidak dikelola dengan baik.

Karena itu, menularkan nilai-nilai kebersamaan dan dialog ke berbagai ruang redaksi merupakan prioritas, demi mengingatkan kita akan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

Pada akhirnya saya berpendapat membangun dan mengembangkan jurnalisme profetik adalah hal yang sangat mendesak, yakni bagaimana mendidik para wartawan agar menekankan keberpihakan kepada persoalan orang-orang kecil, atau agar kaum minoritas diperhatikan dan dihormati hak-haknya oleh kaum mayoritas.

Sangatlah penting mengarahkan para wartawan di lapangan agar mampu bekerja dengan berpedoman pada kode etik jurnalistik dan profetik moral, sehingga mereka juga dapat menunjukkan arah menuju situasi yang lebih baik, tidak sekadar mengaduk-aduk situasi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *