MEMBAHAS RITUAL BAKAR TONGKANG BAGAN SIAPI-API


Perayaan pembakaran kapal tongkang telah merupakan atraksi wisata

unggulan di Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Bagan Siapi-
api, Riau, ini merupakan ritual keturunan Tionghoa Hokkian setempat

yang sudah berlangsung lebih dari seratus tahun disana. Setelah mengalami

hiatus sekitar 30 tahunan semasa Orde Baru, sejak tahun 2000 mulai

diselenggarakan lagi sehingga tambah membara setiap tahunnya.

Konon hampir 2 abad lalu ada sekelompok Tang-lang (Tionghoa keturunan

Hokkian) yang mendarat diwilayah yang sekarang Kota Bagan Siapi-api.

Ceritanya mereka semula adalah perantau yang berlayar dari Hokkian ke

Laut Selatan untuk mencari hidup yang lebih layak di Nanyang, dan telah

tiba di Songkhia, Thailand pada tahun 1825, tetapi kemudian terpaksa

melarikan diri untuk menghindari musibah yang sedang melanda disana.

Kaum pengungsi tersebut menggunakan 3 tongkang, yaitu perahu yang

dasarnya rata untuk mengangkut pasir atau hasil tambang yang biasa

dipergunakan dipertambangan di Malaysia dan sekitarnya, 2 tongkang

diantaranya tenggelam dilanda badai, tetapi satu tongkang terachir berhasil

menemukan daratan dan berlandas dengan selamat disuatu pantai yang

penuh kunang-kunang dimalam hari. Kelompok warga yang aman mendarat

itu terdiri dari 18 lelaki dan wanita dari Marga Ang asal Kabupaten Tong-
an didaerah Xiamen. Mereka mulai menggarap tanah tersebut untuk menetap

disana, dan mereka temukan juga diperairan sana pun kaya dengan sari laut,

karenanya patut mereka juga meneruskan pecarian hidup mereka sebagai

nelayan.

 

 

 

 

 

 

Tongkang jaman sekarang.

Mengingat ada dua arca dewa-dewa Tuan Raja (Ong Ya) yang menyertai

dalam perantauan mereka, Tai Sun Ong Ya dan Kie Ong Ya, yang dianggap

telah menyelamatkan mereka itu, maka didirikan klenteng Taoisme Ing

Hok Kiong demi tetap mendapatkan perlingdungan keselamatan dan

kemakmuran warga mereka disepanjang masa, sehingga mereka telah

menemukan penghidupan baru yang bahagia disana. Bagan yang penuh

kunang-kunang dimalam hari yang ditemukan pada tanggal 16 bulan 5 Imlik

ditahun 1826 Masehi tersebut, kemudian menjadi Kota Bagan Siapi-api.

Dengan ketekadan untuk menetap ditanah-air baru ini, mereka tidak lagi

akan meninggalkannya maupun kembali ke Tiongkok, maka dibakarlah

tongkang semula yang pernah mengangkut mereka itu.

Begitulah hikayat pembakaran tongkang oleh pendatang Tanglang

dipedusunan nelayan Rokan Hilir waktu dulu itu. Sekarang bisa timbul

3 pertanyaan yang bersangkutan dengan ritual Bakar Tongkang yang

dirayakan di Bagan Siapi-api jaman ini.

1. Apakah pembakaran “tongkang semula” merupakan dasar yang

menjadi tradisi Bagan Siapi-api sekarang ini?

2. Apakah benar Bakar Tongkang Bagan Siapi-api merupakan tradisi

yang unik hanya satu-satunya di dunia?

3. Apalah makna sebenarnya ritual Bakar Tongkang itu?

PERTAMA:

Warga Ang membakar tongkang yang pernah mengangkut mereka dengan

selamat, bisa jadi ini disebabkan mereka dibawah pimpinan tau-ke Ang Mie

Kui (Ang Nie Kie) bersemangat tetap berjuang terus ditempat ini setelah

tongkang dibakar, karena mereka berketetapan hati untuk tidak akan pindah

dari Bagan setelah berhasil hidup makmur dalam usaha penangkapan ikan

disana. Tetapi hal pembakaran kapal itu juga serupa dengan tradisi yang

sudah ada didaerah Tong-an Xiamen di Hokkian ratusan tahun sebelumnya,

disana disebut upacara “Sang Ong Chun” (Mengantar Kapal Raja), dan

kebetulan semua 18 warga Ang tersebut juga berasal dari sana. Hanya saja

bakar kapal tidak dilanjutkan sampai setengah abad setelahnya.

Karena disana berlimpahan sumber perikanan sehingga juga mendatangkan

lebih banyak nelayan-nelayan dari Hokkian di Bagan pada achir abad 19

dan permulaan abad 20, dan mereka ini yang membawa tradisi “Sang Ong

Chun” dari Xiamen, maka bisa jadi pembakaran tongkang oleh warga

Ang semula telah memberi inspirasi pendatang baru, yang dikemudian

hari Bagan telah merupakan kota yang makmur sebagai penghasil ikan

yang besar, untuk mereka melanjutkan adat leluhur ritual bakar kapal

sebagaimana di Tong-an Xiamen, dan ditayangkan sebagai Bakar Tongkang

“Sio Ong Chun” Bagan Siapi-api sekarang ini. Hanya saja perayaannya

disesuaikan dengan peringatan hari tibanya ke-18 warga Ang semula pada

tanggal 16 bulan 5 Imlik yaitu Goh-cap-lak setiap tahunnya.

KEDUA:

Selain di Bangko juga ada perayaan Bakar Tongkang Hok Tek Kiong

Panipahan di Rokan Hilir, bahkan jauh sebelumnya, di Taiwan pun sudah

ada. Maka Bakar Tongkang Bagan Siapi-api bukanlah satu-satunya didunia

yang seperti pernah dinyatakan.

Taiwan merupakan negara pulau yang terletak diseberang selat dari

Hokkian, sedikit-dikitnya ada 5 kawasan secara tradisi menyelenggarakan

upacara “Ong Chun Ki” (Sembahyang Kapal Raja) disana, terutama yang

di Klenteng Tong Liong Kiong, Kecamatan Donggang Kota Pingdong yang

membuat kapal sangat mewah untuk dibakar.

Kapal Raja yang mewah sedang diarak didepan Tong Liong Kiong.

Penyelengaraannya berlainan dengan Bakar Tongkang Bagan Siapi-api,

di Taiwan diselenggarakan setiap 3 tahunan, yaitu pada tahun-tahun Sapi,

Liong, Kambing dan Anjing. Bukannya pada Goh-cap-lak, tetapi pada bulan

9 Imlik yang tanggalnya ditentukan dengan melemparkan 2 keping kayu,

yang berbentuk kacang mente warna merah, didepan altar dewa-dewa untuk

menanyakan hari baiknya “Ong Chun Ki” tersebut.

Pawai kapal raja di Pingdong”, Taiwan.

Setelah ditetapkan hari baiknya, mulai mengumpulkan sumbangan dana

dari masyarakat, dan secara gotong royong sebuah kapal kayu mewah

dibuat ditempat pabrik kapal raja yang tertentu. Perayaan bakar kapal

tersebut akan berlangsung selama 7 hari. Hari pertama dikatakan hari

penyambutan Dewa Tuan Raja, dari hari kedua selama 4 hari berturut-
turut akan mengarak-arakkan Dewa Tuan Raja keliling kota untuk

masyarakat sepanjang jalan bersembahyang minta diberkati selamat, pada

hari keenam kapal diperdiamkan dihalaman depan klenteng, dan pada hari

ketujuh diarak kepantai untuk ditaburi kertas sembahyang mas (kim) yang

biasanya menumpuk seperti bukit mengitarinya, dan pada petang hari yang

telah ditetapkan itu diadakan upacara mengantar Dewa Tuan Raja yaitu

pembakaran kapal secara meriah sebagaimana suasana di Bagan Siapi-api.

Sembahyang Kapal Raja di Donggang, Pingdong, Taiwan.

KETIGA:

Ritual bakar kapal adalah perayaan menghormati Ong Ya, sedangkan

asal muasal legenda dewa raja-raja Ong Ya tersebut ternyata juga masih

membingungkan, diantara beberapa versi yang telah bermunculan, hanya

satu ini yang bisa dipercaya dan masih beredar dimasyarakat sekitar Xiamen

dan Taiwan.

Menurut kepercayaan bahwa Dewa Tuan Raja, Ong Ya, semulanya adalah

mahasiswa-mahasiswa jaman Dinasti Tang, maka mereka adalah orang Tang

yaitu Tang-lang. Konon pada suatu pertempuran, Kaisar Tang Tai-zong Li

Shi-min (598-649 AD) terkepung dalam kebahayaan, ada pengawalnya yang

bernama Oen Hong memimpin 35 sesama mahasiswa lainnya menekadkan

diri meraka untuk menolong sehingga Kaisar diamankan. Setelahnya, ke-

36 mahasiswa tersebut masing-masing diberi gelar raja yaitu Ong Ya (layak

sultan) dan mereka ditugaskan sebagai jaksa untuk berkeliling mengamati

keamanan diwilayah negeri Tang. Pada suatu ketika sedang melakukan

tugasnya diperairan Hokkian Selatan, kapal yang ditumpanginya tenggelam

dalam kecelakaan sehingga semua Ong Ya tersebut tewas bersama. Pada

saat itu dikatakan ada yang menyaksikan suatu cahaya cerah dari permukaan

laut yang menuju kelangit, maka dianggap bahwa ke-36 Ong Ya telah

menjadi dewa-dewa. Setelah Kaisar menerima kabar naas tersebut segera

mengabadikan ke-36 Ong Ya tersebut masing-masing sebagai Dewa Tuan

Raja, dan memerintahkan membuat satu kapal besar bernama “Oen Ong

Chun” (Kapal Raja Oen) untuk memuat arca-arca mereka, gunanya untuk

tetap mewakili Kaisar keliling mengamati keselamatan rakyatnya dan

memburu kejahatan, “Tee Tian Sun Siu”. Selain itu diperintahkan bahwa

pemerintah daerah dan rakyat setempat harus memberi sesajian dan hormat

kepada para Dewa Tuan Raja dimana saja tibanya kapal tersebut.

Dari dasar cerita inilah dipercaya tempat kelahiran ritual Bakar Kapal Raja

adalah didaerah Xiamen, di Hokkian Selatan kira-kira 500 tahun lalu, disana

dilaksanakan setiap 4 tahun yang terpaksa terputus selama kurang lebih 40

tahun gara-gara Revolusi Budaya, sekarang masih ada tiga dusun yang mulai

menyelenggarakannya lagi sejak tahun 2006. Bakar Kapal Raja di Xiamen

ini dinamakan “Sang Ong Chun” (Mengantar Kapal Raja) yang tata prosesi

penyelanggaraannya selama 7 hari sebagaimana yang telah disebarkan ke

Taiwan dan menjadi “Ong Chun Ki” itu.

Dari semula “Oen Ong Chun” dijaman Dinasti Tang, lalu digelarkan sebagai

bakar kapal yang disebut “Sang Ong Chun” di Xiamen dan “Ong Chun Ki”

di Taiwan sejak jaman Dinasti Ming, sampai “Sio Ong Chun” di Bagan

Siapi-api sejak 1878, adalah ritual sembahyang pada Dewa Tuan Raja, yang

dalam kepercayaan bahwa dewa raja-raja seperti Tai Sun Ong Ya dan Ki

Ong Ya yang dibawa ke Bagan waktu dulu itu adalah Wali Kaisar jaman

dulu yang masih berkeliling untuk menjaga tertib keamanan dan memburu

kejahatan didaerah (Tee Tian Sun Siu), maka dewa-dewa raja diundang

datang dan dikelilingkan dikota untuk dihormati oleh rakyat disekitarnya,

lalu diantar kembali dengan kapal bersama tumpukan bukit sesajian kertas

mas yang dibakar, itu semuanya merupakan suatu ritual rakyat jelata

Tanglang yang menyandarkan rohani mereka kepada dewa-dewa Taoisme

demi keselamatan mereka diperantauan.

Pendatang semula 18 orang warga Ang adalah berasal dari Tong-an Xiamen

dan mereka membawa dua arca Ong Ya, semestinya mereka sadar adanya

ritual bakar kapal yang memang berasal dari tempat asal mereka di Tong-an

itu juga. Sedangkan apakah pembakaran tongkang semula yang dilakukan

mereka itu sekedar unjuk rasa tekad untuk tidak akan pindah keluar dari

Bagan, ataukah karena mereka berasa sukur kepada para Ong Ya yang telah

menyelamatkan mereka hidup di Bagan, lalu mereka menyelenggarakan

Bakar Kapal Raja dengan caranya sendiri, entahlah sekarang, namun tradisi

bakar kapal tidak diteruskan oleh mereka sebelum adanya pendatang

Tanglang lainnya dan keturuan mereka yang dikemudian hari memulai

melaksanakan ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, dan sekarang

menjadikan Goh-cap-lak sebagai fosil hidup ritual Hokkian disana.

Tahun ini Go-cap-lak jatuh pada tanggal 13 Juni 2014.

‘Utlub il ‘ilma wa law fis-Sin. “Strive for knowledge even as far as China”.

Monterey Park, 30 Mei 2014.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *