Mahfud MD Sebut Politik Uang Selalu Ada di Setiap Pilkada


Praktik money politic atau politik uang disebut tidak dapat dihindari di ajang pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini kerap terjadi, baik pemilihan kepala daerah melalui DPRD maupun secara langsung.

Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam sebuah diskusi virtual mengenai pilkada, Sabtu (5/9). Mahfud mengakui praktik politik uang ini bukan hal yang mudah diatasi.

“Apakah di dalam pilkada itu ada money politic? Selalu ada. Ketika kita bicara kembali saja ke DPRD, money politic ada. Ketika sekarang pemilihan langsung, ada,” kata Mahfud.

 

Menurut Mahfud, politik uang hanya berubah bentuk dari pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun pemilihan kepala daerah secara langsung dipilih rakyat. Jika pemilihan melalui DPRD, maka uang yang diberikan secara borongan, namun jika pemilihan secara langsung, maka politik uang yang diberikan berupa eceran.

“Kalau lewat DPRD itu borongan, kita bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat, bayar ke rakyat pakai amplop satu per satu. Tinggal kita mau eceran apa borongan, sama-sama tidak bisa dihindari pada waktu itu,” ungkapnya.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan soal permasalahan politik uang itu menurutnya bukan hanya bagi-bagi uang ke masyarakat. Menurut dia, sejak awal pencalonan praktik ini kerap terjadi.

Sejumlah anggota Panwaslu mengikuti deklarasi tolak politik uang dan SARA di Lapangan Ahmad Kirang, Mamuju, Sulawesi Barat. (ANTARA FOTO/Akbar Tado)Sejumlah anggota Panwaslu mengikuti deklarasi tolak politik uang dan SARA di Lapangan Ahmad Kirang, Mamuju, Sulawesi Barat. (ANTARA FOTO/Akbar Tado)

Khoirunnisa mengatakan beberapa kali terdengar isu para pasangan calon harus memberikan mahar politik jika ingin diusung oleh partai tertentu.

“Soal politik uang ini terjadi bukan sekadar pada masa kampanye ada bagi-bagi uang ke masyarakat, bahkan kita juga banyak mendengar, ketika masa pencalonan pun kita mendengar ada istilahnya uang mahar,” tutur Nisa dalam diskusi yang sama.

Lebih lanjut, dia juga menilai bahwa praktik politik uang ini juga tidak hanya dilakukan peserta pemilu ke masyarakat. Menurut dia, politik uang juga bisa melibatkan penyelenggara pemilu.

“Ketika sudah selesai proses pemungutan dan penghitungan suara, melakukan tahapan selanjutnya, rekapitulasi suara, ada proses jual beli suara yang melibatkan penyelenggara pemilu,” tuturnya.

Namun demikian, kata dia, praktik politik uang ini sangat sulit untuk dibuktikan. Menurutnya, pihak yang ingin mengetahui praktik tersebut biasanya takut akan keselamatan dirinya.

“Yang jadi masalah, politik uang ini terkadang sulit untuk membuktikannya, yang melaporkan khawatir kalau dilaporkan justru dikriminalisasi balik, atau ya susah saja,” jelas Nisa.

“Kita hanya bisa dengar cerita, tapi tidak bisa diusut. Dari sisi waktu proses penyelesaian juga sangat singkat, sehingga tidak bisa menjerat aktor kunci,” kata dia menambahkan.

Sementara itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan praktik ini biasanya dilakukan karena para calon memanfaatkan kondisi ekonomi rakyat. Ia pun meminta praktik-praktik seperti ini dihindari oleh para peserta pilkada demi kualitas demokrasi yang lebih baik.

“Memang masyarakat ada yang tidak mampu, masih menghadapi kemiskinan dan sebagainya, tapi jangan lah kesengsaraan masyarakat itu dieksploitasi dengan uang receh. Tolong ini ditegakkan juga,” kata Siti.( CNN / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *