Kongres Rakyat Dibubarkan, Situasi Papua Tegang + Indonesian troops storm independence rally + Aparat Tuding Warga Papua Makar


Jayapura – Puluhan warga Papua dipukul hingga babak belur oleh petugas kepolisian usai digelarnya Kongres Rakyat Papua ke-III di lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Rabu sore, 19 Oktober 2011.

Polisi juga mengeluarkan puluhan tembakan ke udara untuk membubarkan massa. Dari pantauanTempo, sedikitnya empat panser TNI dan tiga mobil baracuda polisi disiagakan di lokasi kejadian.


Polisi membabi buta menembak warga sipil. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. “Anggota TNI yng disiagakan hanya untuk membantu polisi, saya kurang tahu ada korban jiwa atau tidak,” kata juru bicara Kodam 17 Cenderawasih Papua, Ali Hamdan Bogra.
Ia mengatakan, TNI tidak melakukan penembakan. TNI hanya berjaga bila massa anarkis. “Untuk info lebih jelas baiknya langsung tanya Kapolres, saya kurang tahu apa ada korban atau tidak dalam keributan di Abepura,” ujar dia. Seorang saksi mata, Maria, mengatakan puluhan warga disiksa polisi.Polisi memalang pintu masuk dan menyandera warga hingga dua jam. Dalam peristiwa ini, Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yeboisembut, dan tokoh Papua, Edison Waromi, ditahan. Sementara Ketua Panitia Kongres Papua, Selpius Bobi, masih dalam pengejaran.

Kongres Papua digelar dari Senin, 17 Oktober, hingga hari ini. Sejumlah putusan kontroversial dibuat, antara lain Papua merdeka, yang pada akhirnya memicu aksi brutal polisi yang berlangsung hari ini.

Kongres tersebut sempat diwarnai pengibaran bendera Bintang Kejora pada Senin kemarin. “Kami akan proses pelaku, kalau bersalah dan melanggar hukum, tentu tak akan dibiarkan,” kata Imam Setiawan, Kapolres Kota Jayapura.

Hingga petang ini situasi Kota Abepura masih mencekam, sebuah baracuda dengan dua anggota Brimob melepas tembakan ke udara untuk menghalau massa, warga berlarian hingga terjatuh. “Polisi kurang ajar, kami tidak salah, polisi jangan arogan dengan mengusir kami pakai tembakan, memangnya kami ini apa,” kata Paskalis, warga Abepura.

 

Indonesian troops storm independence rally

Security forces surround Papuan pro-democracy rally, dispersing crowds and arresting hundreds of participants.

Indonesian security forces have dispersed a pro-independence assembly in eastern Papua province, firing tear gas and warning shots, reports and witnesses said.

Witnesses said hundreds of people taking part in the rally were rounded up in Wednesday’s crackdown.

Hundreds of paramilitary police and army troops surrounded the estimated 5,000 participants at the rally, held at an open field in Abepura outside the provincial capital Jayapura, witnesses said on Wednesday.

Witnesses said there were no immediate reports of casualties, as police dispersed the crowd which included human rights activists, tribal and religious leaders.

“They got in and started firing tear gas, trampling and beating up the crowd with their bare fists and rifle butts until they were black and blue,” Paskalis Tonggap, a rights activist, said.

Another witness, Markus Haluk, a leader of a Papuan youth organisation, said that police and troops had surrounded the congress with anti-riot trucks and fired warning shots.

The participants were attending the Third Papuan Congress, a pro-democracy gathering for the remote eastern region’s indigenous Melanesian majority, last held in May 2000.

Referendum demanded

For decades, ethnic Papuans have rejected the region’s special autonomy within Indonesia and demanded a referendum on self-determination for Papua’s estimated 3.6 million population.

Under Indonesian law, peaceful political acts such as displaying the Morning Star flag of Papuan independence are punishable by lengthy prison terms, and the region is off limits to foreign journalists and rights workers.

The independent MetroTV showed paramilitary police beating the crowd with batons and bare fists, as military vehicles surrounded the area. It said hundreds were rounded up and bundled onto military trucks as they were taken for questioning.

There was no immediate official comment about the incident.

The region’s special autonomy status, introduced in 2001 after the fall of former president Suharto’s military dictatorship, has seen powers including control of most tax revenue from natural resources devolved to the provincial government.

However, many Papuans say it has failed to improve their rights and activists accuse the Indonesian military of acting with brutal impunity against the Melanesian population.

 

Aparat Tuding Warga Papua Makar

Kongres Rakyat Papua III di Abepura, Papua, dibubarkan oleh aparat dengan tudingan makar. Peserta mengibarkan bendera bintang kejora dan membacakan deklarasi kemerdekaan Papua.

Situasi di Abepura usai pembubaran Kongres Rakyat Papua III dikabarkan sudah kembali normal. Sebanyak 300 orang saat ini masih ditahan untuk diminta keterangannya; termasuk Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut.

Jurubicara Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Wachjono, kepada VOA, Rabu malam, mengatakan bahwa meskipun panitia telah mengantongi izin dari Polda Papua, namun sejak hari pertama kongres sudah ada tanda-tanda makar, seperti pengibaran bendera bintang kejora. Disusul kemudian dengan pembacaan deklarasi Papua Merdeka. Itulah sebabnya kongres tersebut dibubarkan.

“Ternyata pada pembukaan mereka mengibarkan “Bintang Kejora”, dan itu sudah dilakukan teguran oleh Kapolresta dan mereka mengatakan tidak akan mengulangi lagi, tetapi kemudian pada penutupan mereka membacakan deklarasi. Padahal Kongres ini kan tujuannya bukan ke sana, ternyata di balik itu semua ada agenda-agenda yang menjurus ke makar. Ada deklarasi Papua Merdeka, pembentukan negara Papua lengkap dengan Presiden dan menteri-menterinya. Itu sudah makar,” tegas Kombes. Pol. Wachjono.

Laporan dari Kontras Papua yang diterima VOA, Rabu sore, menyebutkan bahwa usai acara penutupan, tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan yang mengarah ke lokasi pelaksanaan kongres di lapangan sepak bola Sakeus, kampus STFT Padang Bulan Abepura, sekitar pukul 16.00 Waktu Papua.

Laporan dari saksi di lokasi menyebutkan aparat TNI dari arah bawah lapangan mendekati peserta kongres dan melepaskan tembakan. Lebih dari 1.000 orang peserta kongres kemudian lari menyelematkan diri, diantaranya ke lokasi seminari tinggi. Aparat keamanan dari TNI dan Brimob Polda Papua mengejar dan hendak menangkap pelaksana kegiatan Kongres yaitu Selpius Boby dan Forkobus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua yang baru saja diangkat sebagai Presiden Papua.

Kombes. Pol. Wachjono menambahkan, “Kami bukan melakukan kekerasan, kami melepaskan tembakan peringatan agar mereka menyerahkan diri. Petugas kami hanya 200 orang.”

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua, Thoha Alhamid, menjelaskan sejak awal Dewan Papua sudah menolak diadakannya acara ini. Berdasarkan pengamatannya, sejak pagi aparat kepolisian dan TNI sudah berjaga-jaga di sekitar lokasi Kongres.

“Jujur saja, sejak pagi panitia sudah tahu bahwa aparat akan masuk karena mereka berada dekat sekali. Sekali lagi kami (Dewan Papua) tidak terlibat dan sejak awal menolak proses ini, tapi peristiwa ini sudah terjadi dan kami tidak bisa lepas tangan. Kami minta mereka membuka komunikasi dan negosiasi dengan aparat, supaya jangan ada jatuh korban,” harap Thoha Alhamid.

Thoha Alhamid sangat menyesalkan insiden di Abepura. Ia mengatakan banyak menerima banyak pesan pendek dan telepon dari anak-anak, kaum ibu dan para istri yang suaminya dibawa aparat untuk diperiksa.

Thoha Alhamid menyatakan, “Saya menyesalkan itu dan sekarang ini kami lebih berkonsentrasi untuk mengumpulkan informasi mengenai teman-teman dan saudara yang belum kembali. Saya banyak mendapat sms dan telepon dari para ibu dan istri, juga anak-anak yang mengeluh orangtuanya beum kembali.”

Sementara insiden ini terjadi di Abepura, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta justru mengingatkan kebijakan khusus bagi Papua dan Aceh, yang sudah dirumuskan oleh pemerintah.

Presiden Yudhoyono mengatakan, “Mari kita pahami ada kebijakan, aturan, dan perlakuan khusus untuk Aceh dan Papua. Aceh punya UU Pemerintah Aceh, dan Papua punya UU Otonomi Khusus Papua. Tolong ini dipahami dan dijalankan, karena ini yang membikin (UU tersebut) negara. Tentu semua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh dan Papua harus tetap aman, karena keamanan itu harga mati dan harus makin maju sesuai UUD 1945.”

Namun demikian, UU otonomi khusus Papua ternyata belum menjamin keamanan yang permanen. Koordinator Kontras, Haris Azhar, mengatakan tindakan kekerasan oleh aparat Polri dan TNI dikhawatirkan akan semakin memperburuk tingkat kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Apalagi, tuduhan makar merupakan salah satu modus kriminalisasi terhadap setiap aspirasi politik dari Papua.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *