Kebijakan pemberian otonomi khusus (Otsus) untuk Papua mendesak untuk dievaluasi. Terlebih lagi, pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki desain besar seperti apa yang akan diterapkan di Papua, setelah Otsus nantinya berakhir. Undang-Undang No 21 tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua merupakan solusi final, tetapi ada saja kalangan maupun kelompok yang menolaknya.
“Otsus untuk Papua tidak dijalani dengan konsisten Buktinya, banyaknya uang namun tidak ada aturan yang tegas mengenai aturan penggunaan dana Otsus tersebut, kata pengamat masalah Papua Dr Neles Tebay kepada SP, Jumat (28/10) di Jayapura.
Dia mengungkapkan, tidak adanya komunikasi antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua menimbulkan saling ketidakpercayaan.  “Yang terjadi sekarang justru saling curiga, saling mempersalahkan satu sama lain. Kalau terus saling menuduh maka konflik di Papua tidak akan selesai,” tukasnya.
Oleh karena itu, Neles yang juga rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologia Fajar Timur mendorong adanya dialog pemerintah pusat di Jakarta dengan Papua. “Komunikasi antara Jakarta dan Papua sangat mendesak untuk dibangun ,” ujar pria kelahiran Godide, Kabupaten Dogiyai itu.
Menurut dia, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono sudah punya niat untuk membangun komunikasi itu.Dalam pidato kenegaraan tahun 2010, tuturnya, pemerintah menjanjikan akan membangun komunikasi dengan rakyat Papua. Lalu dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2011, Presiden SBY mengatakan bahwa pemerintah bertekad menata Papua dengan hati.
“Kalau mau membangun Papua dengan hati, itu berarti Presiden harus mengedepankan dialog. Tidak bisa mengatakan mengedepankan dialog tapi di lain pihak kekerasan-kekerasan tetap terjadi. Kekerasan-kekerasan ini terjadi karena ada masalah yang belum diselesaikan. Masalah-masalah apa yang belum diselesaikanan hingga kekerasan-kekerasan ini terjadi, ini yang perlu diidentifikasi,” tegasnya.
Dia mengusulkan, Presiden SBY segera menunjuk seorang pejabat negara sebagai utusan khusus atasa nama pemerintah pusat untuk membangun komunikasi politik dengan tokoh-tokoh di Papua maupun di Jakarta. “ Dia ini karena utusan khusus dan mewakili pemerintah bisa memberitahukan kepada tokoh-tokoh Papua bahwa pemerintah serius untuk mau berdialog dan berkomunikasi dengan kami. Ini yang dibutuhkan sekarang. Dan bila pemerintah pusat mengatakan ini urusan daerah berarti pemerintah pusat cuci tangan,” ucap Neles.
Sementara itu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua Barat Mervin S Komber mengingatkan, penyelesaian masalah-masalah di Papua tidak bisa dengan penetapan status siaga maupun pendekatan militer. “Pendekatan aspek keamanan justru akan membuat jurang antara pemerintah dengan rakyatnya. Dan tentunya ini akan semakin memperburuk situasi di Papua,” katanya.
Dia sepakat mengenai ruang dialog antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua sebagai solusi menyelesaikan permasalahan serius di wilayah paling timur Indonesia itu. Mervin berpendapat, akar masalah di Papua adalah kesenjangan ekonomi yang tajam antara pejabat dan rakyatnya.
“Juga kasus-kasus korupsi yang terbengkalai penyelesaiannya dan Otonomi Khusus yang tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh pemerintah,” imbuhnya.
Secara terpisah Direktur Forum Kerjasama LSM Papua Septer Manufandu mengemukakan, UU Otsus yang sudah berlaku hampir 10 tahun dalam pelaksanaannnya belum memberikan kontribusi signifikan terhadap persoalan hak-hak dasar warga asli Papua, terutama kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Selain itu, sambungnya, peliknya masalah di Papua datang silih berganti kendati dalam hitungan hari pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan.
“Katanya ingin menyelesaikan masalah Papua, apa betul semuanya? Begitu banyak kebijakan yang dianggapkan baik tetapi tidak pernah dijalankan konsisten,” ucapnya.
Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Hofni Simbiak meminta pemerintah pusat harus terbuka kepada masyarakat di Bumi Cendrawasih itu. “Dialog itu yang kami harapkan. Apa lagi insiden saat Kongres Rakyat Papua III, tidak ada cerita lain kecuali dialog,” tandasnya.