KKP Garis-bawahi Potensi Laut Nasional melalui RUU Kelautan


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggaris-bawahi beberapa hal yang signifikan terkait dengan Rancangan Undang Undang (RUU) Kelautan, terutama pengaturan dan pelebaran jurisdiksi laut nasional yang bisa melebihi wilayah Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). RUU setelah pengesahan menjadi Undang Undang (UU) akan mengatur tata ruang laut di atas 200 mil dari garis pantai, yang notabene wilayah ZEE. “Nantinya aktivitas di wilayah perairan sampai melewati 200 mil bisa relative permanen. Misalkan penempatan rig platform offshore(pengeboran minyak di lepas pantai), pemasangan pipa bawah laut dan lain sebagainya,” Dirjen KP3K (Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil) KKP Sudirman Saat mengatakan kepada Redaksi.
RUU Kelautan mengakomodasi pengaturan jurisdiksi laut nasional Indonesia sampai di atas ambang batas 200 mil yakni Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sementara negara tetangga, Singapura dan Malaysia sudah lebih dulu aktif pada pengaturan jurisdiksi laut nasionalnya, sampai di atas 300 mil. “Kita belum sampai sana (300 mil). Padahal mantan presidenInternational Seabed Authority pak Hasjim Djalal (pakar hukum laut internasional berkebangsaan Indonesia).”
Pengaturan tata ruang laut nantinya bisa menentukan potensi ekonomi yang lebih exact. Misalkan sektor perikanan tangkap, selama ini nilai ekonominya tidak exact. Ada yang menyebut nilainya mencapai Rp 3 ribu triliun, tapi setelah itu, angkanya berubah lagi. “Data angka (LSM/lembaga swadaya masyarakat) sah-sah saja, tapi kalau kami tanya (sumber) dari mana, dan (data) apa saja, mereka belum bisa jawab. Sehingga kami melihat, RUU Kelautan ini bisa efektif mengatur tata ruang laut untuk penentuan data angka yang lebih exact.”
RUU Kelautan memuat inventarisasi kekayaan laut dan tata cara pengelolaan. Misalkan cadangan minyak dari dasar laut yang selama ini tidak pernah diekspos. Dari data umum, pemerintah mencatat ada sekitar 60 cekungan minyak bumi. Tata ruang laut yang bisa menentukan lebih lanjut berapa prosentase cadangan minyak nasional dari berbagai cekungan tersebut. “Potensinya besar, tetapi pengaturan hanya se-level Danrem (Komandan Komando Resort Militer). Seharunya, pengaturan menyeluruh tidak partial hanya pada batas wilayah resort (kabupaten).”
Di tempat yang sama, Sekjen KKP Sjarief Widjaja mengibaratkan semua pengaturan tata ruang, baik laut, darat dengan black box (kotak hitam). Sehingga potensi ekonomi pada ranah kelautan termasuk minyak dan gas (migas) harus ditangani secara serius. “Pemerintah, DPR dan DPD sepakati perlunya tata ruang laut melalui rapat panitia kerja hari ini,” Sjarief mengatakan kepada Redaksi.
Black box tersebut nantinya bisa menjadi acuan dari pengelolaan ekonomi kelautan. Sekarang ini, masing-masing sektor berjalan sendiri-sendiri. Kalaupun ada usulan pembentukan Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman, Sjarief menilai, hal tersebut terutama nomenklatur (tata nama) fleksibel. Urusan kelautan dan perikanan bisa saja di bawah Kantor Menko Perekonomian, tapi bisa juga Menko Polhukham (Politik, hukum dan HAM). “Yang penting ada koordinasi urusan laut. Tidak ada lagi tumpang tindih, dan tidak ada tabrakan dengan Undang Undang lain.”
Sementara itu, Komisi IV DPR RI yang menangani masalah kelautan, perikanan, pertanian merasa perlu memberi masukan kepada presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya, Jusuf Kalla (JK) terkait dengan wacana peleburan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal tersebut juga terkait dengan wacana lain, yakni pembentukan Kantor Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman. “Pada akhirnya, semua tergantung pak Jokowi. Kami maunya, sekarang posisi (KKP) sudah cukup baik. Tidak perlu ada lembaga baru, dan optimalkan saja yang sudah ada,” Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo mengatakan kepada Redaksi (25/9)
Wacana-wacana tersebut sangat berpengaruh terhadap starting point akselerasi pembangunan pemerintahan Jokowi-JK. Kalau akselerasinya mau digembosi, wacara-wacana tersebut terus berdengung. “Kalau pak Jokowi mau start lari, langsung saja. Nggak perlu ubah ini itu. Waktunya lama terutama pengalihan aset, pemindahan personel dan lain sebagainya. Mungkin perlu waktu tiga tahun, baru selesai. Kami sudah punya pengalaman.”
Sebaliknya, Komisi IV melihat PR (pekerjaan rumah) Jokowi – JK terkait dengan pembangunan ekonomi kemaritiman ke depan bertumpuk-tumpuk. Salah satunya pembahasan RUU (Rancangan Undang Undang) Kelautan yang sudah pada tingkat Panja (panitia kerja). RUU sempat mengendap selama hampir sepuluh tahun. “Insya Allah, tanggal 29 September mendatang (RUU) sudah diundangkan. Pembahasan sudah sangat lama, sembilan sampai sepuluh tahun. Dulu, RUU sempat ditolak secara lintas sektoral. Tapi sekarang semua instansi setuju.”
Ada berbagai hal yang menginspirasi RUU Kelautan untuk pembangunan ekonomi kemaritiman. Salah satunya, lembaga Bakorkamla (Badan Koordinasi Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia) yang mungkin ‘ganti kulit’. Lembaga tersebut tetap ada, tetapi tidak terlalu intens mengatur koordinasi. “Bakorkamla dilebur menjadi Bakamla (tidak ada ‘kor’). Itu secara jelas diakomodasi dalam RUU Kelautan.”
UU kelautan menjadi penting karena potensi kelautan masih menjadi ‘harta terpendam’. Kelautan sempat dikelola secara lintas sektoral, yakni 14 instansi. Tetapi kondisi ini tidak kondusif untuk pengelolaan kelautan secara maksimal. Contoh yang paling sederhana, yakni masalah nelayan. Aktivitas keseharian nelayan berhadapan dengan berbagai persoalan. Di tengah laut, ada aparat pelabuhan, TNI AL, Kepolisian, aparat kementerian perhubungan, petugas pengawasan KKP yang membatasi ruang gerak nelayan. “Dalam UU Kelautan, ada kejelasan. Sehingga masalah-masalah seperti itu tidak mengurangi upaya pengelolaan laut kita.”
Hal esensial lainnya, batas wilayah operasional kapal-kapal ikan Indonesia tidak lagi mentok pada 200 mil. RUU Kelautan mengakomodasi kepentingan pelaku usaha sektor perikanan untuk menangkap ikan sampai pada batas 200 mil. “Ini bisa memberi nilai maksimal untuk pendapatan negara. Penangkapan ikan sekarang ini dilakukan di atas 200 mil. Kalau UU sudah disahkan, bisa mencapai di atas 200 mil. Tinggal nanti kesiapan pelaku usaha mengelola kelautan.”
DPR mengaku bahwa ada sedikit persoalan harmonisasi DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI. DPD sempat menarik kembali pembahasan RUU Kelautan. DPD sempat mengajukan permohonan Judicial Review (JR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga sempat ada hambatan progress, walaupun akhirnya dimulai lagi. “Karena awalnya pengajuan (RUU Kelautan) adalah inisiatif DPR. Sekarang, ada inisiatif DPD, walaupun pada awalnya mereka tidak hadir pada pembahasan.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *