Jatropha Tidak Bernilai Ekonomis, Ditutup pada RSB di Malaysia tahun 2011


Jatropha Tidak Bernilai Ekonomis, Ditutup pada RSB di Malaysia tahun 2011

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 21 Juni 2021/Indonesia Media – Outreach International Bioenergy tidak lagi fokus pada pengembangan jatropha atau tumbuhan liar yang tergolong tanaman perdu, karena nilai ekonomisnya sangat minim serta merugikan petani. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Jepang APEX bekerjasama dengan Yayasan Dian Desa sempat menggeluti budidaya jatropha, tapi akhirnya tutup juga. “Yayasan dapat dana Rp 5 miliar untuk lima tahun. Tapi tahun 2011, (kegiatan budidaya) tutup karena tidak bernilai ekonomis, seperti yang mereka harapkan pada awalnya,” kata Elias Tana Moning dari Outreach International Bioenergy.

 

Jatropha memiliki daun tunggal menjari antara 7 – 9, berdiameter 10-40 cm, biasanya terdapat di hutan, tanah kosong, hingga ke daerah pantai. Beberapa tahun yang lalu, petani membudidaya sebagai komoditas perkebunan. Tahun 2011, semua jatropha dalam proses tutup. Pada saat yang sama, Outreach merupakan salah satu anggota delegasi The Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB). Jatropha masuk dalam kategori RSB, yang berpusat di Jenewa. “Teman saya yang organize kegiatan RSB di Malaysia. Waktu itu kami masih membuat assessment apakah jatropa punya masa depan. Pada seminar tersebut, tidak ada kesimpulan tertulis bhw jatropa tidak bermasa depan. Tapi semua member RSB tidak ada yang menunjukkan bahwa jatropa bermasa depan baik,” kata Elias Tana Moning yang berkantor di kawasan industri Jababeka Cikarang.

Dari sudut ekonomi, jatropha tidak lagi dianggap sustainable. Artinya kalau petani menanam jatropha, dan berharap keuntungan, (harapan) tidak akan terealisasi. Awal kerjasama APEX dengan Yayasan Dian Desa, mereka menyediakan 5 tank yang isinya 5000 liter. Mereka berharap dalam satu kali panen, lima tank penuh. Tapi kenyataannya, satu tank pun tidak ada yang penuh. “Hasilnya memang tidak seperti yang digembar-gemborkan banyak orang, termasuk data dari ahli asal India, Mr. Satish Lele. Dia menjelaskan dan menyebarkan pengolahan data. Itu proyeknya Satish Lele, sehingga banyak orang tanam jatropha. Tapi pada saatnya, biaya untuk mengumpulkan buah jadi mahal, untuk panen. Siapa yang mau mengumpulkan biji jatropha kalau hanya Rp 1000/kilo, tidak ekonomis,” kata Elias Tana Moning.

Untuk bibit, ada yang beli sampai Rp 200 ribu per kilo. Hal itu terjadi tidak lama, ketika pertama kali ada perusahaan Scandinavian Oil mengunjungi kebun jatropha di Weetebula Sumba Barat Daya, Prov. Nusa Tenggara Timur. Tapi Scandinavian Oil sesungguhnya bertujuan dan berniat buruk. Mereka bukan bermaksud mengembangkan jatropha melainkan hanya untuk mendongkrak saham mereka. Scandinavian oil ini kan perusahaan minyak fossil fuel, memberi perhatian kepada jatropha. “Direkturnya (Scandinavian Oil) mendarat di Weetebula dengan membawa rombongan media, termasuk the New  York Times. Mereka mendarat, seperti fishing ground,” kata Elias Tana Moning. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *