Jalan-jalan di Glodok, Tertambat pada Lapak Kaset Kuno


Jalan-jalan di Glodok, Tertambat pada Lapak Kaset Kuno

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 3 Maret 2021/Indonesia Media – Menyusuri jalan-jalan sempit, padat di kawasan pecinan Glodok, Kota, saya masih merasakan, melihat kekhasan dan sensasi ke-Tionghoa-an Indonesia termasuk deretan rumah beserta toko yang mungkin dibangun lebih dari 100 tahun yang lalu. Rumah menyatu dengan toko, dimana penghuninya mungkin merupakan keturunan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Silsilah darah Tionghoa para pedagang Glodok mungkin beda dengan (darah) yang mengalir dalam tubuh mantan presiden ke-IV Republik Indonesia, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Para pedagang, penghuni pecinan Glodok mungkin jauh dari suasana Kesultanan atau kerajaan seperti yang ada pada Gus Dur. Ada beberapa pasar tradisional di Glodok yang tetap exist sejak zaman kolonial Belanda, misalkan Pasar Asem, Pasar Petak Sembilan dan lain sebagainya. Kondisi pasarnya sedari dulu sampai sekarang masih tetap becek, semi permanen, tidak beraturan. Saat menyusuri salah satu gang sempit, saya pun menghentikan langkah saya di satu kios lapak. Saya melihat barang dagangannya yang menurut saya sudah sepantasnya masuk museum, yakni kaset rekaman berbagai jenis lagu. Seketika, si pedagang yang bernama Fajar (48) langsung menawarkan saya kaset-kaset yang digelar di atas lapaknya. Saya berterus terang, bahwa saya bukan mau dengar lagunya, tapi cari barang langka. “Masih banyak yang cari (kaset rekaman) lagu mandarin, pop Indonesia, dangdut. Bahkan ada juga yang cari lagu rohani. Mereka masih menggunakan tape deck,” katanya.

Ia mengaku sudah gelar lapak di gang-gang sempit di Glodok sejak tahun 1996. Ia juga sadar bahwa berbagai produk, peralatan elektronik semakin canggih dan berteknologi tinggi termasuk audio, computer, handphone dan lain sebagainya. Selain, teknologi informasi dan aplikasi social media termasuk YouTube berkembang pesat. “Saya pasti mengikuti perkembangan zaman. Toko-toko kaset di pasar mulai beralih jual CD (compact disc) sejak awal tahun 1980 an. Setelah itu, CD (compact disc) juga (tutup) karena masyarakat bisa dengan mudah main YouTube. Tapi orang-orang lama, terutama yang sudah uzur masih ada yang cari kaset. Mereka tentunya punya (cassette) tape deck komplit dengan amplifier, speaker, atau tape compo,” kata Fajar.

Saya memperhatikan beberapa kaset di lapaknya, mulai dari lagu dangdut sampai rock seperti Beatles. Lagu pop Indonesia juga, mulai dari group music tahun 1960 – 1970 an seperti Koes Plus, The Mercy’s dan lain sebagainya. Dari tumpukan (di lapak) yang mungkin jumlahnya lebih dari 100 kaset, saya hanya menemukan tiga kaset lagu mandarin yang sudah sangat kuno. Selebihnya, koleksi lagu mandarin tahun 1990 an. Menurutnya, lagu-lagu di kaset yang saya temukan populer tahun 1960 – 1970 an. Harga per kaset dijual rata-rata Rp 20 – 25 ribu. Lapak milik Fajar juga buka setiap hari, mulai pagi sekitar jam 8 sampai menjelang Maghrib. Ia bersama para pedagang lainnya mulai merapihkan lapak-lapaknya sekitar jam 17.30. Karena setelah itu, Glodok relatif sepi. “Kalau dampak pandemi covid seperti sekarang ini, nggak terlalu besar. Saya masih bisa dapat untung. Karena saya juga nggak ada pesaing. Yang jual kaset-kaset kuno di Glodok hanya saya,” katanya. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *