“Indonesia Raya” Pun Sayup-sayup..


Di lapangan rumput yang tak rata, 76 murid, seorang guru tetap, dan seorang guru sukarelawan mengerek Sang Dwiwarna, Selasa (16/8), memperingati Hari Kemerdekaan Ke-66 Republik Indonesia. Upacara itu maju sehari sebab, tepat tanggal 17 Agustus, dua guru yang tersisa akan mengikuti upacara di Werba, pusat Distrik Fakfak Barat, Provinsi Papua Barat.

Semua murid, laki dan perempuan, sudah mengenakan seragam sekolahnya. Namun, sebagian hanya memakai sandal jepit, bahkan ada yang bertelanjang kaki, termasuk Agda (12), murid kelas VI, yang pagi itu mendadak ditugasi membacakan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Percik semangat kemerdekaan terdengar di sela-sela keheningan Kampung Siboru, Distrik Fakfak Barat, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Rabu pagi. Lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan oleh murid-murid SD Yayasan Pendidikan Kristen Siboru bergema sampai ujung kampung yang sunyi itu.

Apa boleh buat, upacara bendera berjalan tidak mulus. Ada saja kesalahan terjadi. ”Maklum, sudah lama sekolah di Siboru tidak melakukan upacara,” ujar Lewi Samori, guru kelas V dan VI.

Namun, kemerdekaan tepercik hangat seusai upacara. Murid-murid antusias sekali mengikuti lomba yang diadakan guru mereka. Sorak-sorai bergemuruh selama murid kelas I mengikuti lomba makan kerupuk, kelas II lomba lari kelereng, dan kelas III ikut lomba memasukkan paku ke dalam botol. Suasana kian ramai saat murid-murid kelas IV-VI bertanding sepak bola joget.

Bendera Merah Putih dari bahan plastik yang disematkan di batang lidi mereka kibar-kibarkan untuk menyemangati perlombaan. ”Anak Indonesia… Merdeka… Merdeka…! Anak Indonesia… Merdeka… Merdeka…!” kata bocah-bocah tersebut tanpa komando.

Kampung Siboru hanya 90 kilometer dari pusat kota Kabupaten Fakfak, arah barat. Jika lewat jalur darat, butuh waktu dua jam. Ditempuh dengan long boat, lamanya 45 menit. Namun, walau tak terlalu jauh, kampung itu ibarat jauh panggang dari api sebab fasilitas publik, seperti sekolah, fasilitas kesehatan, dan sarana air bersih, belum baik.

Oleh karena itu, peringatan kemerdekaan ke-66 tahun sejatinya belum dinikmati rakyat Indonesia. Gedung sekolah memang sudah ada, tetapi tenaga pengajar tak tersedia. Tidak lengkap tepatnya. Dari enam guru yang ditetapkan, hanya dua atau tiga guru yang aktif mengajar. Akibatnya, satu guru bisa mengajar tiga kelas.

Andreas Humbore, anggota DPRD Fakfak dan warga Siboru, mengakui problem pendidikan ini sudah lama berlangsung, malah hampir merata di Fakfak serta sejumlah kabupaten yang jauh dan sulit dijangkau. Banyak guru mangkir karena tempat tugas mereka begitu jauh dan terpencil. ”Seharusnya ada semacam rolling, pergantian antarguru. Saling tukar tempat tugas,” ujarnya.

Sail Wakatobi-Belitong

Di kawasan wisata Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pengibaran bendera Merah Putih di bawah Laut Sombu, Kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, mengundang gempita tamu dan undangan, tetapi nyaris tak terdengar oleh penduduk sekitar tempat upacara.

Meski dikaitkan dengan Sail Wakatobi-Belitong 2011, gempita peringatan kemerdekaan itu terasa ”hambar” di kalangan penduduk suku Bajo–suku laut–di Wakatobi. Kalangan nelayan setempat umumnya memang belum sejahtera.

Dilatari bongkahan terumbu karang beraneka warna dan beragam ikan karang, penancapan Sang Saka Merah Putih yang dipimpin Direktur Bela Negara Kementerian Pertahanan Laksamana TNI Ken Chaidian berlangsung khidmat. Upacara diikuti sekitar 100 penyelam, di antaranya turis Australia, Inggris, dan Kanada.

Di Desa Mola Selatan, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, tempat bermukim suku Bajo, sebagian besar warga tak mengetahui perayaan itu. ”Kami tidak diberi tahu,” tutur Aliyono (53), warga suku Bajo di Desa Mola Selatan, berkomentar.

Kondisi serupa berlangsung di Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Ani (37) mengaku tidak mengetahui acara tersebut. ”Rasanya masih belum merdeka. Kehidupan nelayan masih susah, harga bahan-bahan pokok makin mahal, sedangkan tangkapan ikan tidak pernah pasti,” tutur ibu satu anak itu. Harga beras saat ini Rp 6.500 per kilogram dan harga minyak goreng Rp 8.000 per kilogram. Sebagian besar bahan kebutuhan pokok di Mola Timur masih mengandalkan pasokan dari wilayah lain.

Veteran mengeluh

Alam kesadaran warga negara Indonesia di sejumlah daerah rupanya nyaris sinkron. Di Jakarta, bahkan beberapa veteran perang kemerdekaan mengeluhkan kondisi bangsa Indonesia saat ini. ”Kami selalu bersyukur tiap kali bisa memperingati kemerdekaan Indonesia. Namun, kami juga sakit hati, ternyata negara yang dulu kami perjuangkan bersama dengan taruhan nyawa itu sekarang digerogoti korupsi,” kata Jong Soemadijo (81), veteran perang kemerdekaan Indonesia.

Bersama sejumlah teman seperjuangan yang masih hidup, lelaki tersebut mengikuti peringatan detik-detik Proklamasi 1945 di Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu pagi. Tubuhnya masih gagah dalam seragam coklat-coklat dan baret biru. Ia mengenakan seragam eks Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), yang kemudian menjadi TNI Detasemen II Brigade 17, dan bermarkas di Solo.

Kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta di Jakarta, 17 Agustus 1945, itu, kata Soemadijo, dibela mati-matian oleh seluruh rakyat. Mereka bahu-membahu menghimpun diri dalam berbagai bentuk Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI. Soemadijo bergabung dalam TRIP di Solo.

Para veteran perang kemerdekaan itu mengaku bahagia setiap kali mengikuti upacara bendera 17 Agustus. Negara yang dulu dibela mati-matian ternyata masih tegak berdiri hingga usia 66 tahun. Apalagi, mereka dikaruniai panjang umur dan kesehatan untuk menyaksikan pertumbuhan negeri ini.

”Setiap kali mendengar lagu ’Indonesia Raya’, saya masih merinding. Terbayang masa perjuangan dulu,” kata Abdul Madjid (87), veteran asal Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Dia khusus datang ke Jakarta mengikuti upacara peringatan 17 Agustus di Istana Negara, Jakarta.

Di Gunung Sibayak, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, ratusan anak muda membentuk setengah lingkaran menyaksikan Merah Putih berkibar. Mereka berdiri khidmat tatkala Merah Putih makin tinggi. Mereka pun serentak menghormat, seiring aba-aba. Lagu ”Indonesia Raya” berganti lagu ”Hari Merdeka” mereka nyanyikan sepenuh hati.

Itulah sepenggal adegan upacara 17 Agustus 2011 oleh 150-an mahasiswa pencinta alam se-Sumatera Utara di puncak Gunung Sibayak, Rabu. Sebagian mahasiswa dari 32 kampus menginap pada malam sebelumnya dan sebagian mendaki gunung pada dini hari.

Para mahasiswa tersebut ramai-ramai mendaki Gunung Sibayak (2.050 meter di atas permukaan laut). Kata mereka, inilah bentuk refleksi bahwa untuk mencapai segala hal, butuh perjuangan keras

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *