dr. Chen Long Ji Bag.6


Jiwa yang Bergelimang Seni.

Mulai usia 52 tahun, begitu ada waktu senggang, ia mulai berlatih lagi menulis kaligrafi memakai kuas
Mao Bi. Yang dilatihnya adalah bentuk huruf aliran Liu Gongquan, dan hasilnya ia punya ciri gaya
tulisannya sendiri. Surat-suratnya semua ditulis pakai mao-bi.

Bila malam telah larut ketika semua sudah tidur, dia sering kali masih menulis, banyak yang berbentuk
puisi, syair gaya Tiongkok dan juga gaya Jepang, yang ia pelajari dari isterinya.

Keahlian seni sastranya membuat hasil tulisannya sering menghias gerbang gapura Pancoran Glodok
setiap tahunnya dalam menyambut ulang tahun Ratu Belanda Wihelmina, yang terakhir tercatat pada
August 31, 1941.

dr. Chen Longji sekalipun tidak bisa menggambar dan melukis lukisan klasik Tiongkok, namun ia sering
mengundang para pelukis seperti Liu Haili, Wang Jiyuan, Chen Tianxiao datang kerumah untuk santap
dan bercengkerama. Murid Liu yang bernama Ye Taihua dan Deng Kaijun pernah melukis satu lukisan
bertiga dengan gurunya. Yaitu Pohon Pinus dan Garuda. Setelah Jepang masuk, Liu masih di Batavia,
tidak jelas selanjutnya dia kemana, sedangkan Wang kabarnya menetap di AS.

Kiat Sehat sebagai pengidap kencing manis dan darah tinggi.


dr. Chen selalu berlatih thai ji , thai so, chi kung, dan senam pagi setiap pagi, kabarnya gaya hidupnya
dan disiplinnya yang selalu menkonsumsi beras merah membantunya bertahan hidup, kendati menderita
penyakit diabetes dan darah tingginya sejak muda awal 40 tahun. Menurutnya kalau belajar chi kung
sampai pada taraf yang tinggi bisa mengembangkan indera keenam untuk bisa melihat masa yang akan
datang seperti paranormal.

Surat-surat Hutang


Puterinya yang paling bungsu sering bermain diruang bacanya. Pada suatu hari puterinya menemukan
banyak potongan kertas seperti catatan yang disimpan didalam satu box. Puterinya menanyakan ,“ini
kertas-kertas apa ?“ . Ayahnya hanya tersenyum sambil menjawab,“Oh.. itu surat-surat hutang dari
kawan-kawan“. Rupanya dr. Chen sering meminjamkan uang kepada kawan-kawannya yang sedang
kesulitan, dan banyak dari mereka tidak melunaskan kembali.

Puteri bungsunya yang paling banyak mendapat kesempatan berdekatan dengan dr. Chen, pasalnya
saudaranya yang lain sudah lebih tua umurnya dan mereka sibuk diluar, sedangkan puteri bungsunya
masih sering dirumah dan menemaninya di ruang baca. Pada saat itulah puteri ini banyak mendapat
pengetahuan dari ayahnya. Dari pengetahuan medis, sejarah, sastra, sampai filosofi banyak di tularkan
ke si puteri bungsu ini. dr. Chen sering bilang kepadanya, bahwa; „Menjadi dokter adalah sesuatu yang
mulia, kami bisa bantu menyembuhkan orang, walaupun tidak punya harta benda untuk membantu
material kepada orang, tapi kami punya pengetahuan bisa menyembuhkan sakit orang. Ketika seseorang
sakit, dia menderita dan tersiksa, kalau kita bisa bantu menyembuhkan penyakitnya maka orang itu akan
sangat bahagia dan berterimakasih kepada kita. Untuk orang yang tak punya, kita bisa bantu dengan
pengobatan gratis, dan itu merupakan kepuasan tersendiri, kalau kita bisa bantu orang“, demikian
wejangannya.

Wejangan yang selalu diingat diberikan oleh dr. Chen kepada anak-anaknya adalah, „Kita harus
mengabdi kepada masyarakat dimana tempat kita hidup“, jadi seperti pepatah, „dimana kita berdiri disana
langit dijunjung“

Karena konsumsi falsafah hidup yang terus menerus didapatkan dari ayahnya, maka puteri bungsu ini
bertekad ingin menjadi dokter, namun disadarinya pada zaman itu sebagai wanita rasanya susah untuk
jadi dokter. Untuk itu dia bertekad harus bersuamikan seorang dokter. Terlebih lagi kakak tertuanya tidak
berhasil meneruskan studi kedokterannya, karena masalah kesehatan. dr. Chen Longji tidak kesampaian
mempunyai anak yang bisa meneruskan kariernya sebagai dokter seperti dia. Tapi dimasa mendatang ada
3 orang cucunya yang menjadi dokter.

Puteri bungsunya mengultimatum kepada pacarnya bahwa persyaratan nikah dengan dia adalah “dokter“,
dan itu adalah harga mati, tidak bisa ditawar. Apa daya suaminya Ie Weng Foek, akhirnya harus
menggondol titel dokter, yang kelak dikenal sebagai Dr. Puterasatia Irawan yang pernah menjabat
Direktur Palang Merah Indonesia Divisi IV, dan memperoleh bintang Satyalencana dari RI. Sedangkan
dia, Chen Ciu San (Sanita) harus berpuas lulus sebagai Bidan bersertifikat, dan saat ini masih praktek

sebagai Akupunkturis.

Semangat jiwa medis tetap konsisten di canangkan, itulah sebabnya tiga cucu dari dr. Chen menjadi

dokter diantaranya Dr. David Bintaro (nephrologist) cucunya dari anak tertua , Dr. Ibrahim Irawan, dan

 

dr. Idries Irawan yang sampai sekarang masih mengabdi kepada RI di Mabes POLRI.

 

Ditangkap dan masuk intenir.


8 Desember.1941 pesawat Jepang mengebom Pearl Harbour. Keesokan paginya ketika anak-anak

sudah berangkat sekolah, polisi Belanda datang kerumah menangkap dan membawa isterinya (yang
orang Jepang), sorenya dr. Chen Longji juga di tahan, ternyata PD II telah meletus dan Jepang mulai
menginvasi ke selatan. Maka Pemerintah Belanda menginternir semua warga Jepang dan Taiwan, dr.Chen
disangka sebagai orang Taiwan, maka ikut dibawa. Mereka dibawa dengan kereta api dari Gambir dan di

 internir di Garut, Sukabumi, selanjutnya dibawa ke Cilacap dan akhirnya di internir di Australia.
Pada waktu itu Konsul Jenderal Republik Tiongkok Ge Zhuguang dan isterinya juga mengungsi ke
Sydney Australia. dr. Chen menghubunginya dan Pemerintah Republik Tiongkok melalui Mr.Wu Tie
Cheng mengurusnya meninggalkan kamp dan memberinya AUSD.300.00. sebagai bekal. Sedangkan
isterinya yang orang Jepang tidak bisa ikut dibebaskan.
Di Sydney ia tinggal diasrama PT Wing On. Selama di sana ia memdapatkan dukungan dan bantuan dari
perantau Tionghoa, waktu itu ia telah berusia 65 tahun. Sedangkan harus mendekam di intenir sampai
6 tahun. Isterinya baru dibebaskan setelah PD II usai lalu dikirim ke Sydney. 

Selama itu dr.Chen sering
menulis artikel untuk koran lokal Australia. Dia juga membuat sosis dari usus dan jeroan, yang tidak
dimakan oleh orang Australia. Memang dalam hal urusan dapur boleh jadi dr.Chen lebih piawai dari pada

 isterinya, dia dikenal keahliannya menyembelih ayam tanpa ada suara (tanpa menyiksa). Sudah biasa
kalau ada pesta-pesta penting dr. Chen bertanggung jawab terhadap soal kuliner. Dr.Chen dengan setia
menunggu isterinya sampai dibebaskan dari intenir Australia.
Nasib anak-anak yang ditinggalkan.
Rumah di Gang Jago, Jakarta Kota, diambil alih oleh Weskamer, dan anak-anaknya mengungsi ke Bogor.
Mereka terpaksa harus berhenti sekolah dan mencari mata pencaharian sendiri sebagai guru , mengajar
di sekolah untuk hidup mereka. Sampai puteri bungsunya yang baru berusia 16 tahun ketika itu harus
bekerja sebagai guru untuk membantu menyambung hidup.

1942 Jepang menginvasi ke Indonesia, tentara-tentara Jepang mendarat di pantai selatan pulau Jawa
dan menggunakan sepeda kayu masuk menguasai Jawa dari tangan Belanda. Mengapa menggunakan
sepeda kayu ? Karena saat itu Jepang kekurangan metal yang banyak digunakan untuk membangun
mesin perangnya. Tapi mobilisasi tentara Jepang sangat cepat, kareana pasukan Jepang langsung
menginventarisasi mobil-mobil penduduk, termasuk mobil kepunyaan dr. Chen.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *