Biografi dr. Chen Longji


Pengantar dari Penulis.

“Tidak ada manfaatnya kalau sejarah tidak ditulis, dan tidak dibaca orang, sebab dari sejarahlah manusia
akan mendapat inspirasi untuk mengembangkan hasil yang lebih baik dikemudian hari”
Tulisan ini merupakan rangkuman dari catatan biografi dari salah satu tokoh Tionghoa di Indonesia
pada zamannya, yang menekuni bidang medis, sastrawan, dan industrialis, yang dipercaya telah banyak
memberi sumbangsihnya kepada masyarakat. Ini adalah kali pertama profilnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Sebelumnya sudah ada beberapa buku yang memuat tentang biografi beliau yang diterbitkan
oleh Provinsi Guang Dong yang memuat para Hwa Kiau yang berjasa di Asia Tenggara. Sebenarnya
justru literature dalam bahasa Indonesia adalah jauh lebih berguna ketimbang dalam bahasa Mandarin.
Pasalnya tokoh ini menghabiskan sebagian besar usianya di Indonesia. Walaupun agak terlambat ditulis
dalam bahasa Indonesia, namun lebih baik terlambat daripada tidak ada sama sekali.

Bila saja tulisan ini di keluarkan lebih dini, maka akan banyak sekali tanggapan dan masukan lagi yang
diperoleh dari pembaca yang pernah berinteraksi, atau pernah dengar dari cerita orang tuanya tentang

beliau. Sampai saat ini masih banyak catatan, surat, dan tulisan sastranya yang belum di terjemahkan,
karena saat ini tidak banyak orang yang mengerti kesusastraan Tiongkok kuno yang ditulisnya.

Berhubung keterbatasan halaman di majalah ini , maka tulisan ini akan disajikan secara berseri. Selamat
menikmati semoga membawa inspirasi yang berguna.

Semasa Kecil.
dr. Chen Longji (1877-1961), beliau dilahirkan pada tahun ke-3 Kaisar Guang Xu Dinasti, Manchu.
Semasa kecil nama panggilannya dirumah adalah Rudong, disekolah dipanggil Renliang, dengan julukan
Longji, di Batavia / Jakarta mungkin lebih dikenal dengan nama Tan (Chen) Lung Kit. Daerah asalnya
adalah Desa Meixi, kelurahan Songkou, Kabupaten Meixian, Propinsi Guangdong, Tiongkok. Dia
merupakan anak ke 4 (bungsu), mempunyai tiga kakak laki-laki, abang yang tertua telah meninggal pada
usia 9 tahun ketika bermain di sungai, Long Ji juga mempunyai seorang kakak perempuan.

Longji sejak kecil dikenal sebagai anak cerdas, dan sangat disayang oleh segenap keluarga. Disamping itu
dia juga sangat berbakti pada orang tua. Tradisi Tiongkok waktu itu yang feodal, ditambah tradisi kaum
Hakka, membuat Longji sejak kecil telah dijodohkan dan ditetapkan calon isterinya, yang usianya 3 tahun
lebih besar dari dirinya. Berangkat dari rasa bakti pada orang tua, maka ia harus menerima pilihan itu.
Padahal banyak pria muda yang menolak pilihan seperti ini. Waktu itu perjodohan tunjuk perut masih
lazim, demikian pula polygamy bukan hal yang tabu.

Karena kecerdasan dan keahliannya berpidato maka pada usia 13 tahun dia telah mewakili keluarganya
untuk membawakan sambutan belasungkawa di desa tetangga.

Lulus Ujian Xiu Cai.
Ayah Chen Longji adalah seorang sinshe (tabib) ternama, Chen Qiongling, berpraktek di kabupaten
Dapu. Pada usia 14 tahun dia telah mengikuti ayahnya belajar ilmu sinshe, dan pada usia 17 – 18 tahun
telah lulus Xiu Cai (yaitu lulusan semacam sarjana tingkat pertama Ujian Negara). Untuk itu didesanya
ia sangat dihormati, bersama tokoh terkenal Kang Youwei yang akan diceritakan kemudian, juga lulusan
Xiu Cai.

Selanjutnya ia membuka sekolah privat didesanya, satu muridnya bernama Chiu Yingfu. (yang nantinya
akan bertemu bersamanya di Jepang, serta bersama sama menjadi anggota Tong Meng Hui yang didirikan
oleh dr. Sun Yat Sen.)

Masa Berkabung.
Suatu hari, ibunya terkena infeksi tetanus pada waktu mencuci kuali besi, dan meninggal. Tragisnya pada
tahun yang sama, ayahnya juga turut meninggal. Adalah merupakan petaka yang tidak ringan, kehilangan
kedua orang tuanya dalam waktu hampir bersamaan.

Menurut tradisi Tiongkok, kalau ayah meninggal, maka sebagai anak harus berkabung selama 3 tahun,
dan termasuk pula harus menunda ikut ujian negara tingkat selanjutnya yang bisa membawa dia masuk
bekerja sebagai pamong di forbidden city, ibu kota Tiongkok.

Longji menyesali dirinya, andaikan dia mengerti ilmu kedokteran barat, maka tetanus ibunya dapat
diobatinya, dan tidak seharusnya ibunya sampai meninggal. Karena inilah ia bertekad untuk mempelajari
ilmu kedokteran barat, saat itu sekolah kedokteran barat hanya ada di Jepang. Maka dia mempunyai
angan-angan untuk menempuh ilmu kedokteran barat disuatu hari.

Merantau ke Asia Tenggara.
Pada usia 24 tahun, ia berangkat ke-Nanyang (South East Asia) dan mendarat dipulau Jawa, dimana
kedua kakaknya sudah terlebih dahulu datang dan berniaga di Batavia. Tidak lama setibanya disana, dia
berangkat ke Pontianak, Borneo (sekarang Kalimantan) untuk menjadi guru selama 2 tahun. Ketika itu
memang sudah banyak orang Tionghoa yang merantau, banyak suku Hakka sudah lama bermukim disana,
saat itu masih ada sisa sisa pengikut Republik Lan Fang di Borneo Barat. (Republik Lan Fang adalah
sebuah negara berbentuk republic yang didirikan pada tahun 1777 oleh presiden pertamanya , Lao Fong
Pak yang bertahan selama 108 tahun dengan pergantian presiden selama 10 kali secara pemilu.).

Kembali Ke Batavia.
Seiring dengan perkembangan THHK di Batavia mendapat sambutan hangat banyak orang maka
dibutuhkan lebih banyak tenaga pendidik. LongJi dipanggil kembali ke Batavia untuk menjadi salah
satu Kepala Bagian Pendidikan THHK (Tionghoa Hwe Kwan) Batavia di Jl. Patekoan selama 1 tahun. (
Sekolah ini kelak bernama “Pah Hoa” , dan kemudian menjadi JPP /jajasan Pendidikan dan Pengajaran,
dan pada zaman ORBA diganti menjadi Sekolah SD Perniagaan, SMPN 63, SMAN 19 ). THHK
berkembang terus kedaerah, lalu ia di minta untuk menjadi Kepala Sekolah THHK Cirebon yang baru
didirikan fasilitasnya saat itu. Ia bertugas selama 4 tahun di THHK Cirebon.
Di Cirebon ia mengenal seorang saudagar Jepang dan belajar bahasa Jepang kepadanya. Sudagar itu
sangat menyarankan LongJi untuk pergi ke Jepang menuntut ilmu kedokteran disana, karena ilmu
tabibnya yang diturunkan oleh orang tuanya akan mubazir kalau tidak diamalkan. Berkenaan dengan itu
menguatkan kembali hasratnya untuk menuntut ilmu kedokteran Barat di Jepang.

Bertemu dr. Sun Yat Sen ……..sambungannya ikuti di terbitan mendatang

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *