Lebih dari 100 orang berkerumun di sekitar ruang rapat pleno, lantai tiga Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/3) menjelang pukul 17.00 WIB. Suasana sangat gerah di luar ruang rapat yang disulap menjadi bioskop dadakan.
Pusat perhatian kerumunan adalah layar proyektor di sisi kanan ruangan. Semua orang yang hadir sore itu ingin menyaksikan pemutaran perdana film dokumenter ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ besutan sutradara Rahung Nasution.
Penonton meluber, puluhan orang tak tertampung ruangan kendati pemutaran ini sebetulnya diniatkan untuk kalangan terbatas. Lebih dari separuh pengunjung yang beruntung masuk lokasi pemutaran terpaksa berdiri karena bangku tidak mencukupi.
Beberapa orang memaksakan diri melongok dari kaca pintu, berharap bisa mencuri lihat suasana pemutaran. Akhirnya panitia mengumumkan agar calon penonton tidak memaksakan diri berjubel, sebab pemutaran ‘Pulau Buru’ digelar dua kali, pukul 17.00 dan 19.30.
Ruangan Komnas HAM diakui panitia tidak layak untuk acara kebudayaan seperti ini. Tim produksi film ‘Pulau Buru’ terpaksa memindah pemutaran perdana secara mendadak. Enam jam sebelumnya, rencana pemutaran film dokumenter ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ memancing kemarahan organisasi massa beratribut agama. Salah satu ormas yang menebarkan ancaman pembubaran paksa adalah Front Pembela Islam.
Suasana sebelum pemutaran film Pulau Buru di Komnas HAM (c) 2016 Merdeka.com/Anisyah
Panitia awalnya mengantongi izin menggelar pemutaran di Goethe Institute, lembaga kebudayaan berafiliasi dengan pemerintah Jerman, yang bertempat di Jalan Sam Ratulangi, Menteng. Namun, Kapolres Jakarta Pusat menilai perizinan tim ‘Pulau Buru’ harus dikaji ulang karena cuma diajukan ke Polsek Menteng.
“Di situ kan bilangnya nonton film mengundang 300 orang. Siapa yang diundang kan kita belum mengkaji itu,” kata Komisaris Besar Hendro Pandowo, Kapolres Jakarta Pusat.
Polisi mengakui menghubungi pihak Goethe agar menunda atau membatalkan sekalian acara itu. Alasan aparat hukum, penolakan ormas bisa berujung pada kericuhan yang ujungnya merugikan Goethe dan panitia pemutaran film.
“Kami mengamankan mereka juga kan, jangan sampai terjadi apa-apa,” imbuh Hendro.
Whisnu Yonar selaku produser film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ menjamin pihaknya telah tuntas mengurus perizinan. Saat ditemui di Komnas HAM, dia mengatakan timnya memperoleh lampu hijau dari Polsek Menteng dalam bentuk izin keramaian. Cerita dokumenter ini juga dijabarkan kepada aparat.
“Izin sudah diajukan sejak dua minggu sebelum pemutaran hari ini. Kalau acaranya dianggap bermasalah, mereka pasti menolak dong sejak awal,” ujarnya.
Ormas-ormas yang marah itu kabarnya memperoleh pasokan informasi kegiatan pemutaran film dari intel Kodam Jaya. Setelah pemutaran di Goethe batal pukul 15.00 WIB, di beberapa grup whatsapp, beredar keterangan pers yang menuding tim pembuat film ‘Pulau Buru’ sebagai penyebar ideologi komunisme gaya baru.
Kisah para tahanan politik orde Baru bertahan hidup di kamp konsentrasi Buru, walau tidak terbukti melakukan kesalahan – apalagi terlibat upaya kudeta 1965 – dianggap Intel Kodam sebagai propaganda menyudutkan pemerintah.
“Kita berupaya kegiatan ini agar tidak dilaksanakan, karena jika dilaksanakan akan memancing reaksi dari Ormas yang selama ini menentang Komunis di Indonesia,” seperti dikutip dari pesan berantai mengatasnamakan Danden Intel Kodam Jaya.
Rahung, ditemui selepas pemutaran perdana, menyatakan bukan kebebasan ekspresinya saja yang dirampas akibat larangan pemutaran sepihak kepolisian dengan dalih tekanan ormas.
Sutradara film ‘Pulau Buru’ Rahung Nasution di Komnas HAM (c) 2016 Merdeka.com/Anisyah
Menurut sineas dengan ciri khas tubuh penuh tato itu, yang turut diberangus oleh polisi adalah kesempatan masyarakat mendapatkan informasi pembanding atas peristiwa 1965. Demikian pula kesaksian mengenai pembantaian massal yang menyusul kudeta itu, serta pelanggaran HAM masif oleh pemerintah Indonesia dalam bentuk kamp konsentrasi Buru, di Provinsi Maluku.
Rahung menambahkan, eks-Tapol seperti Hersri Setiawan yang menjadi tokoh sentral film dokumenter ‘Pulau Buru’, mulai diakui negara berkontribusi positif bagi bangsa Indonesia.
Buktinya, ada apresiasi berupa bedah buku ‘Memoar Pulau Buru’ karya Hesri oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 12 Maret lalu. Hersri adalah alumnus UGM jurusan Sosiologi, sebelum menempuh karir sebagai pegiat kesenian di Lekra.
“Aku pikir ini ironi luar biasa. Di satu sisi ada usaha-usaha negara walaupun tidak langsung, mengakui Bung Hesri melalui lembaga kayak UGM yang memberi dia anugerah. Tiba-tiba hari ini kita dipaksa untuk membatalkan screening,” kata Rahung.
Batalnya pemutaran ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ menyusul nasib beberapa kegiatan kebudayaan serupa di Ibu Kota yang dijegal kepolisian dengan dalih ancaman pembubaran oleh ormas. Awal Februari lalu, Festival Belok Kiri juga tersandung masalah. Awalnya panitia hendak menggelar acara di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Kegiatan diskusi, kelas menggambar, serta pemutaran film tentang sejarah gerakan kiri Indonesia itu terpaksa pindah ke Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta karena izin tak diberikan Polsek Menteng.
Whisnu mengaku segera mencari lokasi pemutaran alternatif hari itu juga, setelah Goethe tak berani meneruskan pemutaran ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ sesuai jadwal. LBH Jakarta, Komnas HAM, dan FIB Universitas Indonesia, bersedia menampung.
“Tapi kami memilih Komnas HAM untuk pemutaran perdana sebagai representasi negara,” ujarnya.
Tapol menanti permintaan maaf pemerintah
Pemutaran dokumenter berdurasi 58 menit itu berlangsung khidmat dan lancar. Ancaman ormas membubarkan paksa acara rupanya hanya berlaku untuk pemutaran di Goethe, bukan di Komnas HAM.
Penonton sesekali tertawa karena celetukan para eks-tapol yang reuni di Pulau Buru sepanjang film. Tokoh sentral film ini adalah Hersri Setiawan, penyair sekaligus deklamator yang sebelum 1965 bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dia ditahan di Buru sampai 1979 tanpa pernah diadili dan dijelaskan apa kesalahannya.
Hersri, ditemani putri kandungnya Ita, menziarahi setiap sudut pulau yang memberinya penghinaan serta nestapa selama bertahun-tahun. Mulai dari Pelabuhan Namlea sampai Waepo.
Hersri bertemu sobat-sobat lama seperti Diro Utomo ataupun Tedjabayu Sudjojono, mengenang kegiatan mereka menebas sagu, bercocok tanam, atau sesekali berkesenian.
Di desa Savana Jaya, yang banyak disoroti dalam film Rahung, dulunya berdiri tefaat IV, lokasi terpadat kamp konsentrasi. Sampai sekarang di sana puluhan keluarga eks-tapol hidup berdampingan dengan transmigran petani yang rata-rata berasal dari Pulau Jawa.
Hersri sekaligus mencari makam kawannya, Heru, yang menjadi teman satu ranjangnya sejak ditangkap hingga ditahan di Buru. Heru meninggal sebelum dibebaskan dalam usia 37.
Eks-Tapol Hersri Setiawan yang dijebloskan ke Pulau Buru (c) 2016 Merdeka.com/Anisyah
Dalam film dokumenter ini, Hesri menggugat pemerintah lantaran sampai sekarang mengabaikan nasib para penghuni Kamp Konsentrasi Buru. “Ada kesan pemerintah membutatulikan apa yang terjadi di Buru,” ujarnya.
Rahung menegaskan filmnya sepenuhnya memberi ruang pada tapol seperti Hersri untuk menyampaikan uneg-uneg yang selama puluhan tahun dipendam. Dia mengaku tak banyak mengarahkan tokoh-tokoh dalam dokumenternya sepanjang 10 hari pengambilan gambar.
“Kita memang mengangkat karakter (Hersri). Kami tidak melakukan directing, kecuali menyuarakan apa yang dia pikirkan, waktu berbicara kepada istrinya, kepada anaknya, atau kepada temannya di Buru,” tandasnya.
Whisnu, selaku produser, meyakini topik kamp konsentrasi Buru belum pernah diangkat sineas Indonesia sebelumnya. Karena itu dia berupaya agar film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ bisa diputar lebih lanjut di kampus-kampus kota besar, seperti Yogyakarta, Surabaya, atau Bandung.
Arsip foto tapol di Pulau Buru mengikuti kerja paksa (c) 2015People’s Empowerment Consortium
Kamp konsentrasi Buru merupakan pelanggaran HAM paling benderang dari rangkaian insiden selepas kudeta 1965. Sekurang-kurangnya 11.600 orang, baik anggota PKI, anggota organisasi underbouw PKI, atau siapapun yang mencurigakan, dikirim ke pulau terisolir itu sepanjang kurun 1969-1970.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mengatakan sebagian tapol yang dibuang ke Buru tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Beberapa hanyalah mahasiswa atau tokoh masyarakat yang kritis, dikhawatirkan bisa mempengaruhi agenda Orde Baru menjelang pemilu 1971.
Kamp Konsentrasi Buru akhirnya ditutup pada 1979. Pemerintah Indonesia ditekan oleh negara-negara Barat yang menilai pembuangan tapol sangat tidak manusiawi.
Hersri mengikhlaskan penahanannya tanpa pengadilan. Namun dia mengaku masih menahan amarah karena selepas Orde Baru tumbang – empat presiden berganti selepas Soeharto – tak ada indikasi rezim reformasi akan mengakui apa yang terjadi di Pulau Buru sebagai pelanggaran hak asasi. Presiden Joko Widodo yang pernah berjanji menuntaskan pelanggaran HAM 1965, tak juga menunjukkan itikad baik di mata eks-tapol sepertinya.
Dalam salah satu adegan film dokumenter itu, Hersri lempang menggugat pemerintah.
“Saya hanya ingin pemerintah meminta maaf. Saya tidak butuh kompensasi, saya tidak butuh uang.”( Mdk / IM )
pak Jokowi Tidak Perlu merasa Dibayang-bayangi Dosa Pelnggaran HAM Pulau Buru ini akan tetapi sebaiknya pak Jokowi menjadikan Kenyataan Penegakkan Hukum bagi para Pelanggaran HAM Berat dilakukan dengan Tegas spt sewaktu Kampanye lalu, rakyat Indonesia menunggu hal ini agar Keadilan dpt dijalankan dgn baik di Indonesia, begitu juga perlunya Permintaan Maaf Pemerintah kepada Rakyatnya sendiri