Dokter Lo, Dokter Tanpa Tarif dari Solo


Dia juga akan memberikan obat secara gratis bila pasiennya tak mampu.

Nama Lo Siauw Ging mungkin tidak begitu dikenal oleh masyarakat Solo, tapi bila nama panggilannya disebut, yakni dokter Loe, dipastikan sebagian besar warga yang tinggal di Solo bagian timur akan mengenalnya. Dokter Lo dikenal sangat dermawan karena dia gratiskan biaya periksa kepada para pasiennya.

Setiap hari tempat kliniknya yang menjadi satu dengan tempat tinggalnya di Jalan Yap Tjwan Bing 27, Purwodiningratan, Jagalan, Solo, selalu dipenuhi pasien, khususnya saat jam buka praktik antara pukul 06.00 hingga 09.00 WIB dan pukul 16.00 hingga 20.00 WIB.

Di depan rumahnya tidak ada papan nama klinik. Setiap hari, kecuali hari libur, dia membuka praktik. Para pasien tidak hanya berasal dari Solom namun juga daerah lain seperti Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri hingga Pacitan, Jawa Timur.

Banyak dari mereka yang datang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Saat sore sejak pukul 16.00 WIB, para pasien mulai antre untuk diperiksa dokter Lo. Mereka datang dengan berjalan kaki, naik becak dan yang naik kendaraan roda dua dan empat juga terlihat ikut mengantre.

“Dari jumlah sekitar 60 pasien setiap harinya, sekitar 70 pasien memang tidak membayar, sedangkan sisanya sekitar 30 persen adalah pasien yang membayar. Prinsip saya memang untuk menolong. Kalau yang punya mau bayar ya silahkan, kalau nggak ya ngak apa-apa karena saya tidak pasang tarif,” kata dia ketika ditemui di kediamannya, Jumat, 29 Nopember 2013.

Dari jumlah pasien yang digratiskan itu, dia menyebutkan bahwa setiap harinya ada sekitar 40 pasien yang gratis tidak membayar biaya pemeriksaan. Dia tak mau menghitung-hitung jumlah biaya periksa yang harus ditanggung karena banyak pasien yang digratiskan. Sebab dirinya memang tidak pernah memasang tarif.

“Semisal tarif periksa sekitar Rp10 ribu per pasien, jadi dari jumlah total pasien yang periksa setiap harinya, kira-kira ada 70 persen atau sekitar 40 pasien yang tidak membayar. Kalau dengan hitungan tarif sebesar itu maka setiap hari saya mendonasikan biaya periksa sekitar Rp400 ribu. Tetapi saya tidak mempersoalkan itu karena saya ikhlas,” kata pria yang lahir di Magelang, 16 Agustus 1934.

Selain membebaskan biaya periksa, dia juga akan memberikan obat secara gratis. Bila obat itu tidak tersedia di kliniknya, pasien akan diberi resep untuk membeli di apotik yang sudah ditunjuk oleh dokter Lo.

Bila pasiennya tidak mampu untuk membeli resep obat di apotik, dokter Lo akan memberikan cap khusus di lembar resepnya. Dengan cap itu maka pihak apotik tidak akan menarik biaya pembelian obat kepada pasien. Semua tagihan dibebankan kepada dokter Lo.

“Saya yang aktif menanyai pasien, ada uang tidak untuk membeli obat. Kalau tidak punya, biar nanti apotik menagih ke saya untuk biaya pembelian obat pasien tersebut,” ucapnya.

Selanjutnya, dia pun menyebutkan bila setiap bulannya uang yang haruh dikeluarkan untuk membayar tagihan obat itu sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta. Meski demikian, dokter Lo mengaku selain uang pribadinya, ternyata dia mendapatkan sumbangan dari para donatur. Hanya saja berapa kisaran jumlah sumbangan yang masuk, ia tidak mau menyebutkannya.

“Maksimal tagihan pembelian obat dari apotik dan rumah sakit per bulan bisa mencapai Rp10 juta. Tetapi ada juga donatur yang ikut membantu menyumbang, namun pastinya saya masih sering nombok untuk membayar tagihan itu,” kata suami dari Gan May Kwee.

Ketika didesak mengenai siapa para donatur itu, ia pun sedikit membocorkan bahwa diantaranya adalah bekas pasien yang pernah ditolongnya. Lantas ia pun menceritakan ketika masih usia anak-anak, pasien yang saat ini menjadi donatur itu beberapa kali dibawa ibunya untuk diperiksa.

Karena untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sulit, ia pun membebaskan biaya periksa dan obatnya.

“Dulu kondisi ekonomi orang tuanya miskin total, tidak punya apa-apa. Tetapi kini, pasien itu telah menjadi orang di Amerika. Mantan pasien itu saat ini menjadi donatur,” kata dia yang merupakan anak nomor tiga dari lima bersaudara.

Sifat sosial dan dermawan yang ditunjukkan oleh dokter Lo tidak lepas dari pesan yang pernah disampaikan almarhum ayahnya sesaat memutuskan masuk Jurusan Kedokteran, Universitas Airlangga. Dalam pesannya itu, sang ayah berkata jika ingin menjadi dokter, jangan menjadi pedagang. Sedangkan jika ingin mencari duit, jadilah seorang pedagang.

“Wejangan itu diberikan kepada saya setelah saya memilih jurusan kedokteran. Dari pesan almarhum bapak itu jelas artinya, pokoknya jangan sampai cari duit dari dokter. Dokter itu bertugas untuk menolong,” papar dia yang lulus dari fakultas kedokteran Universitas Airlangga pada Februari 1962.

Selain dari sang ayah, sikap dokter Lo juga terinspirasi sifat sosialnyua dari almarhum dokter Oen yang merupakan dokter terkenal di Solo pada saat itu. dia ikut dr Oen di RS Panti Kosala yang kini berganti nama menjadi RS Dr Oen, dari tahun 1965 sampai dengan 1981.

Selama 15 tahun bersama dr Oen, ia pun mengetahui benar sifat dr Oen yang sangat sederhana dan berjiwa sosial. Tak hanya itu, sikap murah hati dokter Lo juga terinspirasi oleh pengalamannya saat divonis terkena penyakit kuning kronis. Saat itu dirinya terserang penyakit itu saat bertugas menjadi dokter di Gunung Kidul.

Setelah itu saya dilarikan ke Rumah Sakit Tentara (RST) di Magelang dan mondok hingga satu bulan lamanya. Selama opname di rumah sakitu itu, ia ditangani oleh dokter Supanji.

“Saya sakit kuning. Kondisinya saat itu saya sudah gawat sekali. Nah, setelah mengalami penyakit parah sekali dan tertolong, maka kita harus berbalas budi kepada Tuhan, caranya ya membantu seperti ini dengan ikhlas,” kata dokter Lo yang kini berjalannya harus dibantu dengan tongkat.

Berkat sifat kedermawanan dan sosial yang ditunjukkan oleh dokter Lo, para tetangganya pun mengakui bahwa dokter itu sangat baik di kalangan masyarakat. Seperti disebutkan oleh nyonya Herwin bahwa dokter Lo di mata tetangganya adalah seorang dokter yang hidup sederhana, ramah, serta murah hati.

Pengakuan serupa juga diungkapkan oleh tetangga lainnya yang bernama Turiman. Ia menceritakan saat terjadi kerusuhan 1998, para warga sekitar, khususnya yang laki-laki menjaga kediaman dokter Lo. Mereka menjaga rumah tersebut dari amukan massa, mengingat sejumlah rumah dan toko milik warga keturunan Tionghoa dibakar habis.

“Ya, saat kerusuhan terjadi, rumah dokter Lo aman-aman saja. Kita semua berjaga-jaga di depan dan atap rumah dokter Lo,” katanya.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *