Dilema Impor Garam Diatasi dengan Berpikir Linear


Dilema Impor Garam Diatasi dengan Berpikir Linear

dilaporkan: Setiawan Liu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bogor, 20 September 2019/Indonesia Media – Dilema pemenuhan kebutuhan garam nasional dengan impor bisa teratasi ketika masing-masing kementerian tidak terjerumus pada ego sektoral, sebaliknya semua pihak juga berpikir linear. Permasalahan yang ada di depan mata, misalkan garam impor yang bocor di pasar, sudah jelas merupakan ranah pengawasan. “Kita seharusnya berpikir linear. Dari garam, kita menghasilkan produk yang digunakan sehari-hari seperti sabun, makanan, tekstil, sepatu, dan lain sebagainya,” Wakil Dekan SKP Sekolah Bisnis IPB Bogor, Nimmi Zulbainarni mengatakan kepada Redaksi.

Dilema kedaulatan dan keberlanjutan usaha juga hanya masalah pilihan. Dari sisi industri, ketika kebutuhan garam tidak terpenuhi, akan terjadi high cost economy. Berbagai produk terutama yang menggunakan bahan baku CAP (industri kimia) tidak tersedia, harga jual akan melonjak. Lalu ada ribut-ribut, banyak orang mengatakan bahwa garam impor bocor di pasaran. “Hal ini terjadi karena tidak ada pengawasan. Tapi ketika produksi garam rakyat naik, lalu ada impor garam, berarti (produk) semakin banyak. Menurut hukum ekonomi, kalau pasokan melimpah, berarti harga menjadi murah. Kita kan bukan price maker, tapi hukum ekonomi yang berlaku,” tegas Nimmi di sela acara the 7th Strategic Talks di kampus IPB Bogor.

Permasalahan pada sektor hulu pergaraman nasional antara lain ketersediaan lahan, keterbatasan teknologi, ketergantungan sinar matahari, data dan informasi tentang kapasitas produksi dan lain sebagainya. Ketika kebutuhan garam tidak terpenuhi, maka rekomendasi impor sebagai solusi.  Kebutuhan garam nasional sekitar 4 juta ton per tahun. Dari angka tersebut, 1,5 juta ton garam untuk konsumsi dan 2,5 juta untuk industri. Produksi nasional hanya 146.000 ton. “Kalau impor dilarang, industri terutama yang menggunakan bahan kimianya garam kena dampaknya. PT Asahimas (produsen kaca) saja punya 400 jenis industri turunan yang menggunakan bahan kimia. Kalau tidak boleh impor, ini hanya dua pilihan, pengangguran atau penciptaan devisa negara. Total nilai impor CAP 70 juta US Dolar. Kalau kita impor, dan bisa menghasilkan produk untuk ekspor, nilainya mencapai 1,5 milyar US Dolar. Pilihannya? Mau menciptakan lapangan pekerjaan, masyarakat sejahtera atau menciptakan pengangguran?,” tegas Nimmi.

Melihat angka produksi yang hanya 146.000 ton/tahun, berarti untuk pemenuhan garam konsumsi saja tidak cukup. Selama ini teknologi geo membran bisa meningkatkan produksi garam rakyat sampai 20 – 30 persen. Tetapi ada permasalahan lain, cuaca (hujan) juga mengganggu sampai pada kualitas garam yang rendah. Pengolahan garam krosok yang tidak terintegrasi juga berakibat pada kualitas garam yang tidak seragam. Sistem pemanenan garam yang sederhana menyebabkan produktivitas rendah. “Tapi kembali lagi, niat baik semua sektor (kementerian) bergandengan tangan. Apalagi industri 4.0, untuk peningkatan daya saing, jelas kita harus kolaborasi. Kita teriak-teriak (bahwa) ‘kita kaya, nggak usah impor.’ Tapi kita tidak melakukan apa-apa, bagaimana mungkin kita bisa meningkatkan produksi, bagaimana mungkin meraih teknologi untuk terapan sektor hulu pergaraman nasional,” tegas Nimmi. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Dilema Impor Garam Diatasi dengan Berpikir Linear

  1. Perselingkuhan Intelek
    September 22, 2019 at 10:42 pm

    lucunya persoalan Garam Nasional, napa bukan lebih digalakkan Industri Garam Nasional dibanding Impor dari Luar Negeri ? Negara Indonesia memproduksi Beras tapi masih Impor juga ? kalah dengan Negara Tetangga Kecil lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *