CINTA SEJATI


Airmukanya selalu masam. Cemberut bagaikan pintu

kamar terkunci, tidak pernah terbuka sepanjang tahun. Hampir

tidak pernah melihat ia tersenyum, apa lagi tertawa. Cepat

merasa tersinggung, sukar menebak apa yang membuatnya

tersinggung dan marah. Bicara dengannya harus hati hati, agar

tidak terpijak ranjau darat terbenam di benaknya. Ini lah

kesanku terhadap orang ini ketika baru berkenalan. Setelah itu,

saya selalu berusaha mengambil jarak menjauhinya.

Kami adalah anggota sebuah perhimpunan volunteer

melayani pasien lanjut usia di rumah sakit special untuk

merawat orang sakit dementia. Rumah sakit ini didirikan atas

beaya swasta, tapi juga mendapat bantuan dari pemerintah.

Sebulan sekali, kegiatan kami mengunjungi rumah sakit itu dan

membawa para pasien keluar jalan jalan naik chartered bus,

dan bersantap di restoran atas beaya kami bersama.

Pernah sekali saya bertanya kepada seorang teman lain

yang sudah lama kenal dengannya, mengapa tabiat orang ini

demikian tertutup dan tidak bersahabat. Pertanyaan bernada

mengeluh dan mengeritik, dengan harapan ia sepandangan

dengan saya. Tidak tersangka teman ini sebaliknya menjawab,

“Ooh, maksudmu Mrs. Lim? Dulunya ia tidak begitu. Dulu ia

cerah dan gemar bergurau. Kalau kamu kenal baik dengannya

dan mengetahui latar hidupnya, kamu tidak akan berkata

demikian.” Jawaban teman ini membuat saya merasa tidak

nyaman, seakan saya yang dituduh bersalah. Ia tidak

menceritakan selanjutnya situasi latar hidup orang ini, saya

juga tidak bertanya seterusnya. Sudah lah, saya pun telah

mengambil keputusan menjauhi diri demi menghindar

terjadinya geseran yang tidak perlu.

Lalu, entah kenapa, ia menghilang dari peredaran kami.

Bertahun panjang tidak pernah datang mengunjungi pasien

rumah sakit, juga tidak hadir dalam pertemuan pertemuan

selanjutnya. Ketidakhadirannya tidak banyak menarik

perhatian, tidak ada yang menanyakan keadaannya, seakan ia

tidak pernah berada diantara kami.

Pada suatu hari saya bersama dengan seorang teman

datang ke Ulu Pandan Community Centre berdekatan dengan

tempat kami tinggal untuk mendaftar ikut kelas Chinese

calligraphy. Community Centre terdapat diseluruh constituency

di Singapura, berfungsi sebagai layanan bagi masyarakat

setempat berkumpul dan mengikuti program kesenangan

masing masing. Disitu terdapat berbagai macam fasilitas bagi

grup aktivitas, termasuk program pendidikan, study group,

kesehatan, olah raga, kesenian, nyanyi, tari tarian, ballroom

dancing, public speaking, kerajinan tangan, kuliner dll.

Pada hari pertama mengikuti kelas calligraphy, sangat

kebetulan kami berpapasan dengan Mrs. Lim yang sudah

bertahun tidak pernah jumpa. Rupanya ia juga turut belajar

sekelas dengan kami. Pada akhir kelas ia menghampiri kami,

mengajak makan siang bersama. Sungguh tidak disangka

orang yang tadinya selalu membungkam seperti kerang rebus

dan uring uringan tanpa alasan, datang menyapa dengan

wajah tersenyum manis. Dengan perasaan setengah terkejut,

separuh kurang yakin, bahkan sedikit was was kami terima

tawarannya.

Di seberang jalan dari gedung Community Centre

terdapat sebuah restoran. Sambil menunggu tibanya hidangan

yang baru dipesan, tanpa diminta, ia mulai bercerita panjang

lebar mengenai dirinya.

Rupanya ia menikah dengan seorang pria yang tidak

disenangi oleh orangtuanya, dengan alasan pria itu dari

keluarga miskin, tidak berpendidikan tinggi, dan tidak

mempunyai pekerjaan stabil. Tiga alasan yang sudah cukup

mengikat. Ibunya pernah bertanya, “Apa yang kamu lihat pada

diri orang itu?” Jawabnya, “Kami saling bercinta.” “Cinta?

Berapa nilai harga cinta sekilo?” Jawabnya, “Cinta sejati tidak

ternilai dengan materiel.” Akhirnya mereka menikah tanpa

persetujuan orangtuanya, berpegang pada semboyan Cinta

Sejati tidak ternilai harganya.

Setelah hidup bersama, ia baru sadar bahwa suaminya

ternyata seorang pecandu judi. Uang gajinya tidak mencukupi

untuk bermain judi. Pada permulaan, sebagai seorang isteri

setia ia selalu menasehati suaminya agar melepaskan

kebiasaan buruk yang sangat merugikan kehidupan mereka

bersama. Tapi, sebagaimana umumnya orang ketagihan,

suaminya tidak dapat menjauhkan diri dari kebiasaannya. Apa

lagi dengan dibukanya casino di Singapura, tidak perlu jauh

jauh ke Genting untuk berjudi.

Untuk membeayai ketagihan berjudi, suaminya mulai

meminjam uang dari Ah Long, organisasi illegal yang memberi

pinjaman uang dengan laba sangat tinggi; 40% per bulan. Jika

ingin meminjam $1,000, yang diterima hanya $600, dan

setelah itu, saban bulan harus membayar $400. Dalam situasi

demikian, keuangan suaminya semakin memburuk, dan

kehidupan rumah tangga kacau balau. Seringkali karena

terlambat atau tidak mampu membayar pada waktunya, pintu

rumah di coret cat hitam dengan tulisan O$P$, (artinya owe

money pay money) sebagai ancaman dan perlakuan teror

memaksa orang membayar hutang. Dalam keadaan cabaran

berat sedemikian, ia merasa seakan hidup di alam neraka.

Berkali kali ia ingin meninggalkan suaminya, namun teringat

oleh janji Cinta Sejati yang pernah diberikan pada permulaan

hidup bersama, ia tidak sampai hati mengambil keputusan

drastic. Bukan karena cinta, tapi karena takut merasa bersalah.

Lalu pada suatu hari suaminya jatuh di kamar mandi.

Setelah dibawa ke hospital, menurut dokter, ia kena stroke.

Melihat suaminya baring di ranjang rumah sakit, lunglai tak

berdaya, kedua matanya terbuka, tapi otot muka mengeras,

tidak ada tanda bahwa ia mengenal isterinya. Melihat keadaan

suaminya, sejenak teringat dengan beberapa pasien dementia

di rumah sakit yang dulu sering ia datangi bersama teman

teman anggota volunteer. Banyak yang berbaring di ranjang,

tidak dapat bergerak sendiri, makan, minum dan buang air

perlu dibantu. Ada sebagian tidak lagi mengenal sanak

keluarga yang datang menjenguk. Perasaan suka duka dan

ingatan sudah menghilang, hanya tinggal sebuah sosok

kosong yang menunggu putusnya jalur pernapasan.

Berhadapan dengan sinario demikian, tanpa sadar ia merintih

dalam hati, mengharap suaminya cepat putus napasnya. Kalau

harus pergi, perilah cepat dan selamat dalam perjalanan.

Entah karena rintihan hatinya, atau karena memang

sudah parah penyakitnya, keesokan harinya suaminya

meninggal. Ia sempat merasa depressed beberapa waktu

setelah suaminya meninggal. Tapi akhirnya ia berhasil keluar

dari depresi, mulai menikmati kehidupan baru, tanpa belenggu

janji Cinta Sejati, sebuah konsep yang dimuliakan oleh penyair

sepanjang masa.

Cinta Sejati tidak seharusnya bergantung pada sebuah

janji bagaikan kontrak perbudakan yang mengikat seumur

hidup, melainkan pada komitmen dan tanggungjawab

bersama. Tidak sepihak.

Mungkin setelah mengalami bermacam rintangan hidup,

Mrs. Lim berhasil menemui kekuatan pada dirinya sendiri.

Kekuatan yang membuahkan kepercayaan diri, membuatnya

lebih bersahabat dan menyenangkan. Makan bersama hari itu

terasa sebagai perayaan indahnya persahabatan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *