Belajar Cinta Bangsa dari Orang Rusia


Melihat perkembangan situasi negara disertai konflik-konflik yang cukup pelik dalam segala sektor, terutama dalam lingkaran pemerintahan, sulit untuk berbicara bersama tentang ideologi dasar serta cita-cita bangsa ini. Terutama dalam sebuah semangat persatuan, seperti yang dibawa para pemuda Indonesia 83 tahun yang lalu dalam Sumpah Pemuda.

Cukup memprihatinkan ketika generasi muda bangsa ini tidak lagi punya rasa peduli dan memiliki terhadap bangsa ini. Seperti yang tampak pada pagi hari ini, saat SH bertanya kepada seorang siswa SD (swasta), Zefa, dua siswa SMP (negeri dan swasta), Dion dan Cylvia, serta seorang siswa SMA (negeri), Elisa, di Jakarta Timur.

Keempat siswa ini sama-sama tidak hafal isi teks Sumpah Pemuda, hanya Cylvia yang mampu menyebutkan secara terbata-bata. Menyedihkan, ketika sejumlah anak-anak, bahkan balita, dengan mudah menyanyikan lagu-lagu grup band hingga lagu dangdut, yang tentunya makna lirik lagu tersebut tidak mereka pahami.

Jika bukan rakyat Indonesia sendiri, lalu siapa yang harus mencintai dan mengabdi kepada bangsa ini?

Sepertinya rakyat Indonesia justru perlu mendapat teladan orang asing. Mikhail Tsyganov, koresponden Kantor Berita Rusia Ria Novosti di Jakarta yang juga seorang fotografer, terang-terangan menunjukkan kecintaannya yang besar kepada Indonesia.

Ketika diwawancarai SH, Selasa (25/10) malam, dalam acara pameran foto persahabatan Indonesia-Rusia, Tsyganov yang mengenakan batik cokelat saat itu, mengatakan, “Saya suka negeri ini. Ini Tanah Air saya yang kedua.”

Dalam acara yang digelar sebagai bentuk perpisahannya dengan sejumlah rekannya di Jakarta, Tsyganov membacakan pidatonya dalam bahasa Indonesia, yang juga ditempel di dinding, tentang kedekatannya dengan Indonesia.

Bermula di tahun 1967, ketika berumur 7 tahun, ia pertama kali datang ke Indonesia dengan ayahnya, Vladilen Tsyganov, profesor dan ahli sejarah Indonesia dari Universitas Negeri Moskwa, yang kala itu bekerja di Indonesia.

”Saat itu saya sudah suka Indonesia, karena itu jadi ahli sejarah dan bahasa Indonesia. Saya tidak mau pulang ke Rusia, tapi pindah ke Bali,” tutur Tsyganov.

Ketertarikan dan kecintaan dia dan ayahnya akan Indonesia rupanya ikut tertanam dalam diri putri semata wayangnya, Anastasia Tsyganova, yang juga mempelajari Indonesia, dan pernah belajar di Universitas Mataram selama satu tahun.

Pameran foto yang digelarnya juga menunjukkan sejumlah momen kerja sama dan kekerabatan Indonesia-Rusia, yang terekam selama tujuh tahun masa kerja di Jakarta, sejak Januari 2004. Tsyganov begitu fasih memaparkan sejarah, budaya, serta rakyat Indonesia, yang menjadi ketertarikannya, bahkan menurutnya NTT menjadi wilayah yang paling alami di Indonesia.

“Indonesia dan Rusia memiliki lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dua-duanya sangat luas, ada ratusan suku bangsa di Indonesia, dan puluhan di Rusia, tetapi kerja sama semua bidang masih underpotensi. Negara kami harus berkawan dan mengembangkan persahabatan dengan Indonesia di semua bidang,” katanya.

Mengingat hubungan bilateral Indonesia-Rusia yang telah berjalan selama 50 tahun, yang dimulai oleh Soekarno, banyak hal dapat dipelajari Indonesia dalam membangun dan mempertahankan masa depan.

Indonesia bisa melihat bangkitnya Rusia sejak kejatuhan Uni Soviet. Putin, sosok yang dinilai sangat nasionalis, menjadi aktor penting di balik kemajuan Rusia. Sikap cinta akan bangsa ini juga yang harus dimiliki generasi muda Indonesia.

Kritik dan saran untuk Indonesia yang lebih baik juga disampaikan oleh Ahmad Sujai, dosen Linguistik Program Studi Rusia, yang kini sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Negeri Moskwa.

“Saat ini secara umum kaum muda Indonesia sudah terdesak dan teracuni oleh pengaruh generasi tua yang sedang memimpin. Generasi Tua memberikan contah yang kurang baik kepada generasi muda seperti melalukan pragmatisme dalam jabatan sesaat,” ujarnya saat ditanya SH.

Ia juga menambahkan generasi-generasi muda Indonesia yang kini berkuasa tidak sadar bahwa mereka memiliki pola pikir egosentris. Sebagai bukti konkret, kehidupan oligarki dalam partai-partai kita tidak dirancang untuk melahirkan pemimpin muda yang punya visi dan misi membawa pembaruan di Indonesia, baik mentalitas maupun hidup dengan budaya yang bersih dari korupsi.

Kesadaran cinta akan bangsa dan semangat persatuan seperti yang dicetuskan para pemuda Indonesia tahun 1928, serta dicita-citakan di dalam Pancasila, harus dimiliki setiap rakyat Indonesia. Kita tak perlu malu untuk sadar diri, meski perlu orang asing, untuk membangunkan rasa itu kembali.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *