Bukti Lemah dalam Kasus JIS Penyebab Putusan Pengadilan yang Berbeda


 

Mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ramelan menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan dua guru Jakarta Intercultural School (JIS), Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, menunjukkan bahwa bukti-bukti yang digunakan dalam putusan pengadilan tingkat pertama di PN Jakarta Selatan lemah dan cenderung dipaksakan.

Dikatakan Ramelan, Pengadilan Tinggi pasti telah mempertimbangkan seluruh proses persidangan di tingkat pertama, apakah telah dilakukan sesuai ketentuan atau tidak.

Dia menilai, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pasti telah memeriksa apakah bukti-bukti yang digunakan selama proses persidangan di pengadilan pertama telah ada dan didukung keterangan saksi dan keterangan ahli.

“Bila putusannya membebaskan terdakwa, hal itu menunjukan kalau pembuktian (di pengadilan pertama) tidak jelas, tidak sesuai ketentuan dan lemah,” kata Ramelan, saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (24/8/2015).

Ia melanjutkan, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sudah cukup tepat dengan menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus dua guru JIS karena pembuktiannya lemah dan kurang cermat.

Salah satu kelemahan lain di kasus tersebut, kata dia, adalah pengajuan tuduhan tanpa disertai saksi fakta yang melihat langsung kejadian. Padahal, kata dia, dalam hukum acara pidana, saksi yang melihat itu sangat penting.

Seperti diketahui, pada (14/8/2015) lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong dari vonis 10 tahun yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai putusan pengadilan PN Jaksel tidak cermat dan tidak matang dalam pembuktian.

Hal senada diungkapkan pengamat hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi. Ia menilai kesimpulan hakim di PN Jakarta Selatan yang memvonis terdakwa pidana kurungan 10 tahun, banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

“Saya sudah pelajari berkas putusan PN Jakarta Selatan, ada beberapa poin yang tidak sesuai. Misalnya, Hakim tidak menggunakan hasil medis rumah sakit Singapura dengan alasan tidak ada perjanjian bilateral. Ini kan aneh kalau hakim berpendapat seperti itu. Padahal keadilan itu universal. Yang namanya bukti dari negara lain untuk mendukung persidangan, ya boleh. Tidak ada ketentuan hukum yang melarang hal itu,” katanya.

Fahrizal mengaku heran dengan alasan hakim tentang kejadian sodomi terhadap MAK, DA dan AL hanya dari pengakuan anak tersebut. Padahal hakim harus merangkai bukti tambahan sehingga menjadi utuh.

Selain itu, kata dia, saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dianggap tidak kredibel. Ada ahli yang masih menggunakan teori lama, ada ahli yang juga melakukan konseling dengan salah satu anak sehingga tidak independen.

Majelis Hakim di PN Jakarta Selatan juga tidak memakai hasil rekam medis dari SOS Medika, RSCM, RSPI dan dari RS KK Women’ and Children’s Hospital Singapura, yang menyatakan kondisi lubang pelepas AL tetap normal dan tidak mengalami luka.

Pemeriksaan rumah sakit di singapura ini dilakukan secara lebih komprehensif dengan menggunakan metode anuskopi yang melibatkan dokter bedah, dokter anestesi dan dokter psikologi.( Kps / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *