Apabila pembaca belum akrab dengan istilah ilmu pergatukan tulisan saya ini akan membantu
untuk mengerti apa sebenarnya hal tersebut. Bagi pembaca yang pernah tinggal dan berinteraksi dengan
masyarakat berbahasa Jawa, kata ‘gatuk’ otomatis diasosiasikan dengan kata ‘pas’ dalam Bahasa
Indonesia, atau ‘fit’ dalam Bahasa Inggris. Jadi, kata pergatukan kalau diterjemahkan secara bebas ke
dalam Bahasa Indonesia maka akan menjadi kata ‘dipas-paskan’ atau dihubung-hubungkan secara paksa.
Salah satu contoh ilmu pergatukan adalah apa yang saya dengar dari seseorang (yang katanya
dengar dari orang lain juga) mengenai hubungan mistis antara Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dengan bencana alam. Orang itu mengatakan bahwa karena tanggal lahir SBY yang keramat maka
ia akan membawa bencana pada peristiwa-peristiwa kehidupannya. Contohnya, di tahun ia dilantik jadi
presiden tahun 2004, tsunami melanda Aceh yang mengakibatkan korban jiwa ratusan ribu orang.
Nah, di tahun 2014 ini dimana SBY akan turun dari jabatannya, belasan bencana alam tiba-tiba
bisa terjadi serentak di berbagai penjuru tanah air, mulai dari banjir di Jakarta, banjir bandang di Manado,
letusan gunung di Tanah Karo, tanah longsor di Garut dan Jombang, gempa bumi di Cilacap hingga banjir
parah di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) yang menyebabkan terputusnya jalur logistik, matinya ribuan
ternak dan gagal panen di ribuan hektar sawah.
Darimana asal pergatukan SBY dengan bencana alam ini? Sekilas bagi masyarakat Jawa kalangan
bawah pemikiran seperti ini bukanlah hal yang asing. Namun pergatukan ini juga bisa jadi digelindingkan
sebagai manuver strategi politik untuk menjatuhkan citra Partai Demokrat. Seperti yang saya tulis dalam
kolom ini mengenai politik stigma, ilmu pergatukan ini tidak dalam posisi yang terlalu jauh untuk
menghubungkan Partai Demokrat dengan konotasi sebagai partai bencana.
Apapun alasannya, pola pemikiran pergatukan ini memang ada di tengah masyarakat Indonesia.
Atau, kalau dari sudut pandang saya, pola pemikiran ini MASIH ada di tengah masyarakat Indonesia.
Dengan masih hidupnya pola pemikiran pergatukan ini menandakan bahwa pendidikan
modern di Indonesia belumlah berhasil mempengaruhi pemikiran mayoritas masyarakat. Mungkin
bahkan pendidikan formal belum berhasil meningkatkan pendidikan masyarakat Indonesia. Bukan
saja pendidikan yang melepaskan diri dari pola pemikiran mistis dalam menganalisa dan memecahkan
masalah yang ada, tapi juga pendidikan teknis untuk mengeksekusi solusi yang diwacanakan.
Ambil contoh masalah banjir di Pulau Jawa. Permasalahan ini bukanlah masalah baru yang
muncul di masa SBY saja, tapi juga telah pernah melanda Pulau Jawa puluhan hingga ratusan tahun
sebelumnya. Namun dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan reklamasi lahan menjadi
tempat tinggal menyebabkan tanah-tanah resapan dan daerah aliran sungai (DAS) menjadi semakin
terkikis keberadaannya. Sehingga bencana banjir yang terjadi menjadi semakin parah karena sungai dan
kali-kali semakin kecil debit air yang mampu ditampungnya dan semakin sempit lahan resapan yang bisa
mempercepat surutnya banjir.
Apa yang terjadi saat ini merupakan hasil dari kegagalan pemerintah Indonesia di masa lalu
untuk menangani dengan serius dan memecahkan masalah banjir ini. Di Jakarta misalnya, pemerintah
daerah terbukti selama belasan tahun menutup mata terhadap pengikisan DAS yang ditempati menjadi
lahan perumahan. Dengan semakin sempitnya DAS maka debit air hujan yang bisa dialirkan ke Ciliwung
semakin berkurang. Sementara, karena tinggal di area DAS, otomatis perumahan-perumahan ini menjadi
langganan genangan banjir.
Belum lagi terjadinya longsornya badan jalan Tol Cipularang (berulang kali), ambruknya
Jembatan Kutai Kertanegara (yang konon dijuluki Golden Gate-nya Indonesia), dan kebakaran
hutan tahunan yang tiap tahun secara rajin mengekspor asap ke negara-negara tetangga – semua ini
menimbulkan pertanyaan seputar kemampuan teknis orang-orang Indonesia untuk menata dirinya sendiri.
Apakah Indonesia tidak mampu membangun jalan tol yang tidak bakal longsor, membangun jembatan
yang tahan lama hingga ratusan tahun, atau mencegah kebakaran hutan yang telah terjadi secara regular
selama beberapa tahun terakhir?
[Type text]
Menjawab pertanyaan di atas tidak bisa menggunakan ilmu pergatukan. Ilmu pergatukan
hanya “bisa” digunakan untuk menjelaskan suatu bencana secara irasional, bukan untuk mencegah atau
menanggulanginya secara rasional. Oleh karenanya MASIH adanya pola pemikiran pergatukan ini di
jaman modern sangat disayangkan. Namun begitulah kenyataan di tanah air, bahwa masih banyak bagian
dalam masyarakat yang masih merujuk pada pemikiran irasional.
Kenyataan pemikiran irasional yang masih hidup subur di Indonesia menjadi sasaran empuk
bagi para politisi untuk memenangkan atau memuluskan jalannya merebut tampuk kekuasaan. Sehingga
tidaklah mencengangkan apabila ada pemilik suara yang memilih calon legislatif atau eksekutif
karena wajahnya yang tampan, suaranya yang bagus atau perawakannya yang seperti pahlawan dunia
pewayangan.
Kalau kebanyakan rakyat Indonesia masihlah berpikiran irasional dalam menentukan wakilnya
atau pemimpinnya dalam Pemilu 2014 nanti, maka bisa dipastikan masa depan Indonesia akan semakin
penuh bencana. Bukan bencana alam yang merontokkan negara ini, tapi bencana pergatukan – pemikiran
irasional – yang memilih para pemimpin negara dan wakil rakyat yang tidak berkualitas.
Bangsa Indonesia saat ini berada di persimpangan kritis, apakah menuju ke masa depan yang
lebih cerah atau justru terjerumus ke dalam situasi-kondisi yang labil dan menyeramkan seperti yang
terjadi di negara-negara Timur Tengah. Dengan sistem pemilu seperti saat ini, masyarakat mestinya tidak
terlalu terpaku pada partai merah, biru, kuning, hijau atau warna apapun. Kita mesti berpikir rasional dan
menentukan pemimpin negara dan wakil rakyat yang paling berkualitas untuk menuju masa depan yang
lebih cerah.(RO – Twitter: @iamwongkampung)
Ilmu pergatukan ini tidak bisa disemayatkan kepada Partai Demokrat dan Pak Sby (biar gimanapun dia presiden RI yang membawa beberapa prestasi bagus harus kita akui secara fair).
TETAPI Ilmu PERGATUKAN ini akan benar-benar menimpa salah satu capres koalisi yang DIGATUK-GATUKAN walaupun kita tau itu PERGATUKAN karena bagi-bagi kekuasaan…hmmm rame-rame pada ngeles dah, ngeles mulu kayak Bajaj 🙂
Jadi Illmu PERGATUKAN yang ditunjukkan salah satu pasangan Capres Cawapres akan menjadi PERGA”ku”TUKAN kalo mereka benar-benar terpilih, lihat aja nanti dan ingat komentar saya in ibaik-baik. Salam Demokrasi Damai